Cinta seharusnya menyembuhkan, bukan mengurung. Namun bagi seorang bos mafia ini, cinta berarti memiliki sepenuhnya— tanpa ruang untuk lari, tanpa jeda untuk bernapas.
Dalam genggaman bos mafia yang berkuasa, obsesi berubah menjadi candu, dan cinta menjadi kutukan yang manis.
Ketika dunia gelap bersinggungan dengan rasa yang tak semestinya, batas antara cinta dan penjara pun mengabur.
Ia menginginkan segalanya— termasuk hati yang bukan miliknya. Dan bagi pria sepertinya, kehilangan bukan pilihan. Hanya ada dua kemungkinan dalam prinsip hidupnya yaitu menjadi miliknya atau mati.
_Obsesi Bos Mafia_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 : Kecemburuan
Marchel yang sedang asyik melihat beberapa laporan dari Louis, dikagetkan dengan suara ketukan pintu kamarnya. Ia mematikan tablet dan menuju pintu, terkagum melihat Hulya sudah siap untuk pergi, mengenakan gaun dan perhiasan yang dia beli tadi.
Wajah Hulya tetap dingin tak tersentuh, dia sama sekali tidak menampakkan ekspresi apapun pada Marchel.
"Ayo, aku tidak ingin lama-lama di pesta itu," ujar Hulya datar, dia lalu berjalan lebih dulu dari Marchel.
Di dalam mobil, tidak ada pembicaraan apapun yang terjadi karena Hulya sama sekali tidak menggubris perkataan Marchel. Baru saja sampai di tempat pesta, Marchel turun dan tanpa menunggu pintu mobil di buka, Hulya telah keluar lebih dulu.
Hulya memasang wajah cerianya, lalu menggandeng lengan Marchel dengan mesra untuk menutupi ketegangan di antara mereka agar tidak diketahui oleh siapa pun. Mereka memasuki lokasi pesta layaknya pasangan harmonis, Marchel merangkul pinggang Hulya dengan mesra.
"Aku pikir kau tidak akan datang, Marchel," sapa Wilton, mereka saling bersalaman, begitu pula dengan Hulya.
"Aku tidak mungkin akan melewatkan pesta besar ini," jawab Marchel dengan senyum ramah di wajahnya.
"Nikmatilah pesta ini bersama istri cantikmu ini, Marchel." Mereka saling tertawa, perpisahan Marchel dan Hulya memang tidak diketahui banyak orang, mereka juga tidak bercerai secara resmi jadi tidak ada yang tahu kecuali orang-orang tertentu.
Setelah menikmati pesta selama beberapa jam, Hulya mulai bosan dan jengah, karena semua orang di sana tidak ada yang dia kenal.
"Aku ke toilet dulu," pamit Hulya pada Marchel, dengan posesif, Marchel memegang tangan Hulya.
"Jangan berpikir untuk kabur dari sini, ingat, orang-orangku tersebar di mana-mana, mengerti," tegas Marchel, Hulya memutar bola matanya dengan malas, seakan bosan mendengar hal itu dari Marchel.
"Ya sudah, kalau begitu kau ikut saja denganku ke toilet, menyebalkan," gerutu Hulya, melihat mood Hulya yang buruk, Marchel mulai melunak.
Hulya sendiri tidak memiliki niat untuk kabur saat ini karena memang dia belum ingin. Hulya ke toilet dengan perasaan kesal, mengatur napas lalu berjalan dengan elegan.
"Hulya," sapa Dexter, Hulya menoleh dan tersenyum.
"Dexter, kau di sini juga?" Mata Hulya berbinar saat melihat pria itu.
"Ya ini pesta besar, kamu sendiri? Apa datang bersama Marchel?" Hulya mengangguk.
"Aku bersama Marchel, kamu apa kabar, lumayan lama juga kita tidak bertemu dan kau juga tidak pernah mengabari aku lagi, Dexter." Pria itu terkekeh.
"Kau yang memblokir nomorku, aku selalu mengirimkan pesan dan menghubungimu tapi kau tidak bisa dihubungi." Hulya mengerutkan keningnya, dia langsung merogoh tas kecil yang dia sandang lalu mengambil ponselnya.
"Maaf Dexter, mungkin Marchel yang memblokir nomormu," ucap Hulya, Dexter tersenyum semar dan mengusap pelan pipi Hulya.
"Ya, aku sudah menduga hal itu," balas Dexter. "Apa kalian sudah kembali bersama?" tanya Dexter lagi.
"Tidak, ya ... dia memaksaku untuk ikut dengannya, sampai saat ini kami masih belum rujuk," jawab Hulya dengan nada sendu, dia memang tidak ingin kembali lagi pada Marchel.
...***...
"Hulya!" Teriakan Marchel membuat Dexter dan Hulya kaget, mereka menoleh pada Marchel yang berdiri tak jauh dari mereka.
"Jadi ini toilet yang kamu maksud?" sengit Marchel lalu menggenggam tangan Hulya dengan kuat, Dexter yang melihat hal itu jadi tidak nyaman, apalagi Hulya sampai meringis.
"Santai saja, kami hanya ngobrol biasa Marchel, tidak lebih. Jangan begini, Hulya kesakitan kau tidak lihat?" tegur Dexter.
Marchel semakin menggenggam kuat lengan Hulya sehingga urat di tangan wanita itu terlihat lalu menatap tajam Dexter.
"Ngobrol biasa apanya? Kalian berduaan di sini dan kalian juga terlihat mesra, ayo pulang!" Marchel menarik kuat Hulya.
Dexter menahan mereka dan tidak bisa terima perlakuan Marchel seperti itu.
"Kau ini sudah tidak waras ya? Kau mau mendera dia lagi? Kau tidak bisa bedakan mana yang terlihat biasa dan saling bermesraan? Apa kau itu buta?" sengit Dexter yang semakin membuat Marchel emosi.
"Bukan urusanmu dan jangan pernah menghinaku," tekan Marchel.
"Jelas urusanku, kau menyakiti dia di depanku."
"Dia istriku dan kau tidak berhak ikut campur."
"Istri? Kau amnesia? Mantan istri, itu yang tepat."
"Kau..."
"Sudah cukup, jangan ribut, malu dilihat orang," kata Hulya mencoba untuk melerai.
Marchel kembali menarik Hulya keluar dari gedung itu dan menghempaskan dengan kuat tangan Hulya lalu berkata dengan penuh emosi, "Kau benar-benar membuat kesabaranku hilang, apa tidak bisa kau menjaga jarak dari pria lain hah?"
"Aku tidak memiliki hubungan apapun dengan Dexter. Kau saja yang berlebihan, apa tidak bisa kau lihat mana orang yang bermesraan dengan yang biasa saja? Kau terlalu cemburuan dan aku benar-benar tidak nyaman dengan sikapmu yang seperti ini," balas Hulya yang tak kalah emosi.
"Aakhh," geram Marchel lalu mencengkeram rahang Hulya dengan kuat, tubuh ramping itu tersandar ke sisi mobil.
"Kau tau kalau aku sangat mencintaimu, aku sangat takut kehilanganmu dan aku tidak mau kau berpaling dariku. Aku benci ketika kau dekat dengan pria lain selain aku, Hulya." Tatapan Marchel penuh dengan luka mendalam, Hulya tak mau lagi menantangnya karena merasa bahwa kali ini Marchel tidak bisa dibantah.
"Kau terlalu berlebihan, kau terlalu memaksakan kehendak padaku, aku juga benci itu. Kenapa hanya kau saja yang harus dimengerti? Sedangkan kau tidak mau mengerti aku, cinta macam apa yang kau punya untukku?" tukas Hulya dengan nada rendah dan dengan perlahan, Marchel melepaskan cengkeramannya lalu membuka pintu mobil.
"Masuk!" titahnya dengan nada tegas, Hulya memasuki mobil itu dan duduk dengan tenang, menetralisir rasa takut yang kini bersarang di hatinya.
Marchel mengendarai mobil dengan hati yang masih kesal, sesampainya di mansion, dia memarkirkan mobil, Hulya yang akan turun jadi heran karena mobil masih terkunci.
"Buka pintunya, Marchel."
"Aku tidak mau." Hulya menatap Marchel dengan heran, lalu menarik tengkuk Hulya dan menciumi bibir Hulya penuh nafsu.
Hulya memukul bahu Marchel tapi tidak diindahkan.
"Aku menginginkanmu Hulya, sekarang! Anggap saja ini hukuman atas kemesraanmu dengan Dexter tadi." Hulya membulatkan matanya, dia mengerti ke mana arah permintaan Marchel.
"Jangan gila kamu, aku baru saja keguguran."
"Kau yang membuat aku gila, persetan dengan kondisimu." Marchel merendahkan sandaran kursi yang membuat Hulya tertidur, dengan penuh nafsu, Marchel mencumbu Hulya dan melepas paksa pakaian Hulya sehingga dia lebih leluasa menggerayangi tubuh wanitanya.
Marchel melepaskan hasratnya pada Hulya di dalam mobil, tak ada reaksi apapun dari Hulya selama dihujam oleh Marchel, dia tidak menolak dan juga tidak menikmati. Bagi Hulya, berontak pun dia, tidak akan berpengaruh bagi Marchel, ujung-ujungnya dia akan tetap diperkosa.
Selesai melepaskan hasratnya, Hulya memalingkan wajahnya dari Marchel, menangis dalam diam tanpa ekspresi apapun. Marchel kembali mengenakan pakaiannya lalu berkata pelan, "Ayo masuk, mungkin aku akan melakukannya lagi sampai pagi, anggap saja sebagai hukuman nikmat untukmu, mengingatkan dirimu bahwa kau adalah milikku."
Marchel keluar dari mobilnya, Hulya terisak dan merutuki nasib dirinya di tangan Marchel saat ini.
"Aku tidak mau seperti ini terus, sampai kapan dia akan melakukan ini padaku?" tangis Hulya, dia bangun lalu mengenakan pakaian dengan baik dan keluar dari mobil.
Dengan langkah gontai, Hulya memasuki kamarnya, kepalanya terasa begitu pusing. Setelah mandi dan berpakaian, Hulya langsung tidur dengan rambut yang masih basah.
Marchel yang sedang mabuk, memasuki kamar Hulya kembali dan melakukan hal terlarang itu. Kali ini dia sangat kasar dan brutal sehingga Hulya tidak tahan dengan hujaman Marchel di tubuhnya.
"Berhenti Marchel, kau menyakitiku, cukup," jerit Hulya, Marchel yang memang sedang mabuk, tak mempedulikan hal itu, yang dia perlukan hanyalah pelepasan.