"Dear hati ...
Mengapa kau begitu buta? Padahal kau tahu dia sudah berkeluarga. Mengapa masih menaruh harapan besar kepadanya?"
Hati tak bisa memilih, pada siapa ia akan berlabuh.
Harapan untuk mencintai pria yang juga bisa membalas cintanya harus pupus begitu ia mengetahui pria itu telah berkeluarga.
Hatinya tak lagi bisa berpaling, tak bisa dialihkan. Cintanya telah bercokol terlalu dalam.
Haruskah ia merelakan cinta terlarang itu atau justru memperjuangkan, namun sebagai orang ketiga?
~Secretly Loving You~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ErKa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 6 - Hari-hariku Bersama Pak Kaku
Entah bagaimana ceritanya, Pak Kaku turut andil dalam pencairan kosan. Tiba-tiba pencarian kosan, berubah menjadi pencarian kontrakan. Alasan yang diajukan oleh Pak Kaku adalah agar orang tuaku lebih mudah bila ingin menginap. Alasan itu begitu mudah diterima orangtuaku, sehingga menuruti saran Pak Kaku.
Sepulang kerja, Pak Kaku mengantar kami ke rumah-rumah yang dikontrakan. Rumah itu terletak tak jauh dari kantor. Hanya dengan berjalan kaki, sudah bisa mencapainya.
Dia bagaikan broker yang menemani customernya melihat rumah yang cocok. Melihat tampilannya yang seperti itu, membuatku ingin tertawa.
Di kantor dia sangat kaku dan SOP banget. (SOP : Standart Operating Procedure). Semua pekerjaan harus sesuai dengan kaidah yang ditetapkan oleh perusahaan. Tidak boleh ada sedikit pun pelanggaran. Namun, melihatnya berbicara dengan sopan terhadap orangtuaku dan menemani kami mencari kontrakan, sosoknya terlihat berbeda. Dia lebih hangat dari yang aku duga.
Setelah mendatangi tiga rumah, kami pun memutuskan untuk mengambil rumah yang hanya terdiri dari dua kamar. Satu kamar buatku, sementara kamar yang lain buat orangtuaku kalau datang menginap.
Mengingat masih hari Rabu, jadi keputusan untuk pindahan dilakukan pada hari Sabtu dan Minggu. Untuk sementara aku masih diantar jemput orangtuaku.
***
"Kemarin kita sudah mempelajari teori, sekarang prakteknya." Pak Kaku berbicara di sampingku. Posisi kami sangat dekat.
Aku sedang duduk di kursi, menatap monitor, sementara beliau di sampingku dengan posisi tubuh yang condong ke arahku. Posisi kepalanya tak kurang dari tujuh senti dari kepalaku. Jujur saja, tubuhku menjadi seperti dia, kaku. Bahkan hembusan napasnya bisa kurasakan. Napasnya berbau mint. Tanganku mulai berkeringat. Jantungku berdebar dengan sangat cepat. Aku sangat gugup. Otakku serasa kosong.
"Ini sistem kredit. Di sini tertera banyak informasi debitur. Dari identitas, jumlah plafond, outstanding, jumlah payment hingga tunggakan. Kamu pelajari istilah ini satu per satu. Setelahnya, aku akan mengajarimu cara menghitung bunga kredit dan denda tunggakan." Beliau masih berbicara banyak hal. Aku hanya bisa mengangguk-anggukan kepala tanpa mengerti perkataannya.
"Setelah kamu menguasai sistem kredit, aku akan mengajarimu sistem back office, kliring dan SLIK." (SLIK \= Sistem Layanan Informasi Keuangan, awalnya BI Checking)
Aku benar-benar tidak memahami ucapannya. Kenapa dia harus berbicara sedekat ini? Bisakah dia memberi jarak? Sepertinya oksigen di sekitarku mulai habis. Aku kesulitan untuk sekedar menarik napas.
"Ada yang belum kamu mengerti?" tanyanya begitu tiba-tiba, tepat di telingaku. Hembusan napasnya begitu menggelitik, membuatku secara spontan langsung memalingkan wajah. Dia pun melakukan hal yang sama. Mata kami saling bertemu pandang.
Mungkin ini salah satu momen yang paling membuatku berdebar, nervous, tercekat, speechless setengah mati.
"Ada yang belum kamu mengerti, Arsha?" Ekspresi Pak Kaku terlihat datar. Dia menatap dengan bosan. Sepertinya, hanya aku yang merasakan debaran ini.
"Arsha?!"
"Ah, ya. Eh, tidak Pak. Saya sudah mengerti." Aku cepat-cepat memalingkan wajah dan membuat jarak. Ini sangat memalukan. Semoga wajahku tidak memerah. Semoga Pak Kaku tidak menyadari debaran jantungku tadi. Dasar jantung tidak bisa diajak kompromi!! Kenapa harus berdebar untuk pria seperti itu sih?!
"Oke. Kamu sudah paham 'kan. Kalau begitu, tarik data debitur yang jatuh tempo hari ini. Kirimkan ke emailku, segera." Selepas berkata seperti itu, Pak Kaku beranjak dan berjalan ke ruangannya.
Huft!! Hampir saja aku kehabisan napas!! Selama di sampingnya, aku sebisa mungkin menahan napas. Takut bau napasku nggak enak dan bikin illfeel.
Duh mikir apa sih aku ini? Memang kenapa kalau dia illfeel? Dia juga bukan siapa-siapa. Hanya sebatas atasan kaku.
Oh ya, tadi Pak Kaku menyuruhku untuk melakukan apa? Tarik data debitur? Caranya bagaimana ya? Duh ....
Aku berusaha membuka-buka catatan, namun tidak ada hal yang bisa kujadikan contekan. Kutatap sistem yang berisi istilah-istilah asing itu. Berusaha memahami maksudnya, namun tetap saja aku tidak paham.
"Arsha." Terdengar suara pria bernada rendah namun ramah. Kualihkan pandangan dan bertatapan dengan kepala lending, Pak Haidar.
"Ah, iya Pak." Aku segera berdiri dan membungkukan tubuh. Menunjukkan rasa hormat.
"Lagi apa? Kok serius banget?"
"Oh ini Pak, sedang berusaha memahami sistem ...."
"Ada yang tidak kamu pahami? Yang mana?" Tanpa menunggu jawaban, Pak Haidar memasuki ruanganku yang sempit dan bergerak ke sampingku. Tatapannya langsung terarah ke monitor.
"Yang mana yang tidak paham?"
"Ah, tidak apa-apa Pak. S-saya bisa belajar sendiri ...."
"Selagi aku bisa bantu. Apa salahnya? Bagian mana yang tidak paham?" Pak Haidar bersikukuh untuk mengajari. Tatapan matanya tak bisa ditolak. Pada akhirnya, aku menerima bantuannya.
"Jadi, kalau kamu mau tarik data debitur yang jatuh tempo hari ini, kamu tinggal klik menu outstanding ini. Terus kamu sort tanggalnya berdasarkan tanggal hari ini. Kalau diminta data bulanan, tinggal atur tanggalnya saja. Terus, kalau yang diminta data termination, kamu tinggal klik menu ini ...." Penjelasan Pak Haidar terjeda begitu telepon di mejaku tiba-tiba berbunyi.
Di monitor tertera angka 201. Di note tertulis, angka 201 artinya nomor head of operation yang sedang menghubungi, dan itu artinya Pak Armand yang sedang menghubungiku.
Cepat-cepat aku mengangkat gagang telepon sebelum berdering untuk kedua kalinya.
"Dengan Arsha ...."
"Greetingmu salah."
"Ah, em, a-assalamu'alaikum, selamat pagi, bank J**** dengan Arsha, bagian back office ada yang bisa dibantu?"
"Masih gugup. Ulangi lagi." Aku mengulangi greeting itu sampai empat kali.
"Sudah kamu kirim datanya?!" Suara Pak Kaku meskipun bernada rendah, tapi terdengar sangat ketus.
"Em, iya Pak. Ini masih tarik data ...."
"Ke ruanganku. Sekarang!"
"I-iya Pak ....."
***
Bisa ditebak apa yang terjadi di ruangan itu. Pak Kaku mulai menginterogasi.
"Apa yang kamu lakukan tadi?"
"S-saya sedang mencoba tarik data ...."
"Oh ya?" Pak Kaku bersender. Tangannya terlipat di dada. Tatapannya terasa menelanjangi.
"Iya Pak ...." Aku menunduk. Tidak berani memandang matanya.
"Aku tidak melihat hal itu. Yang kulihat kamu tengah bermain-main. Bercanda ria dengan pria. Bukankah sudah kukatakan aturan di kantor ini?"
"I-iya, sudah Pak .... Tapi saya tidak sedang bermain-main, tadi ...."
"Tidak bermain-main? Tapi kamu membiarkan pria memasuki ruanganmu? Bercanda ria di jam kerja? Apa namanya kalau buka bermain-main?" Entah apa hanya perasaanku, tapi nada suara beliau sangat dingin.
"Saya benar-benar tidak bermain-main Pak. Tadi Pak Haidar membantu saya tarik data yang Bapak minta ...."
"Kenapa meminta bantuan dia?"
"K-karena saya kurang pa-paham dengan perintah Bapak ...."
"Kenapa kamu bertanya ke dia? Kenapa tidak bertanya padaku? Siapa atasanmu di sini? Aku atau dia?"
"Ma-maaf Pak ....."
"Jangan merendahkan harga diriku. Dengan bertanya ke dia, itu sama artinya dengan meremahkanku. Menganggapku tidak mampu mengajarimu. Kalau kamu begitu ingin menjadi bawahannya, aku bisa memindahkanmu sekarang juga." Suara itu begitu rendah, tenang, dingin, namun sangat menusuk. Perkataan itu sangat menyentil hatiku. Membuatku ketakutan.
Menjadi anak buah Pak Haidar, sama saja dengan menjadikanku seorang marketing lending. Yang bertugas mencari kredit dengan target yang harus terpenuhi setiap bulannya. Kemampuan bicaraku yang ala kadarnya dan lebih suka bekerja di balik layar, tidak akan mendukung posisi itu. Mungkin baru sebulan dipindah ke bagian itu, aku akan segera dipecat karena tidak target.
"Ti-tidak Pak. Saya suka dengan pekerjaan ini. Saya tidak ingin dipindahkan ke bagian manapun. To-tolong jangan pindahkan saya Pak ...." Aku benci mendengar suaraku yang sangat putus asa. Tapi apa mau dikata, aku benar-benar tidak ingin dipindahkan ke bagian lain. Bekerja di balik layar sudah menjadi cita-citaku sedari dulu. Aku tidak ingin pekerjaan itu diambil dariku.
Mataku pasti sudah berkaca-kaca. Pria di depanku ini pasti bisa melihat keputusasaan di wajahku.
Dia menatapku. Seperti biasa, dengan tatapan menilai. Terlihat menimbang-nimbang.
"Kembali ke ruanganmu," putusnya kemudian.
***
Happy Reading 🤗
NB : Kepoin akun igku @erka_1502 dan fb-ku ErKa untuk info updatenya ya. Terima kasih 😚😚