NovelToon NovelToon
Whispers Of A Broken Heart

Whispers Of A Broken Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta setelah menikah / Pengantin Pengganti / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Ibu Mertua Kejam
Popularitas:673
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Kisah dewasa (mohon berhati-hati dalam membaca)

Rianti bekerja di perusahaan milik Bramantya, mantan suami adiknya. Menjelang pernikahannya dengan Prabu, ia mengalami tragedi ketika Bramantya yang mabuk dan memperkosanya. Saat Rianti terluka dan hendak melanjutkan hidup, ia justru dikhianati Prabu yang menikah dengan mantan kekasihnya. Di tengah kehancuran itu, Bramantya muncul dan menikahi Rianti, membuat sang adik marah besar. Pernikahan penuh luka dan rahasia pun tak terhindarkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24

Bram dan Rianti akhirnya selesai bercanda di kolam. Mereka mengeringkan tubuh dan bersiap-siap untuk jalan-jalan menjelajahi pulau.

“Ganti baju dulu ah,” ujar Rianti sambil mengambil tas anyaman kecilnya.

“Aku mau pakai sunscreen di kamar mandi dulu.”

“Oke. Jangan lama-lama.” Bram menyampirkan kemeja linen ke bahunya sambil memasang kaca mata hitam.

Rianti masuk ke kamar mandi villa sambil bersenandung kecil.

Bram duduk di sofa outdoor sambil membuka ponselnya, mengecek beberapa email kerja yang tak bisa ia tinggalkan meski sedang bulan madu. Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas.

Bram menoleh ke arah pintu kamar mandi.

“Ri?” panggilnya.

Tidak ada jawaban.

Bram bangkit, mendekat.

“Sayang, kamu ketiduran ya?” godanya sambil mengetuk pintu.

Sunyi.

Dahinya berkerut. “Rianti…?”

Sudah dua puluh menit.

Akhirnya ia mendorong pintu perlahan — tidak dikunci.

Ceklek.

“Ri—I?”

Bram masuk, tapi kamar mandi kosong.

Handuknya masih di tempat, alat makeup-nya masih berserakan di meja rias.

Gaun santai yang tadi dipakai Rianti juga masih tergantung rapi di gantungan.

Tapi tidak ada Rianti.

Bram mulai panik.

“Sayang? Rianti? Jangan bercanda…” suaranya meninggi sedikit.

Ia memeriksa ke belakang bathtub. Tidak ada.

Ia membuka pintu kaca menuju balkon kamar mandi—juga tidak ada.

Tatapan Bram mulai tajam. Napasnya berubah berat.

Ia keluar kamar mandi dan berkeliling villa dengan langkah cepat.

“Rianti?!”

Tidak ada sahutan.

Bram meraih ponselnya dan menekan nomor Rianti.

Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi.

Untuk pertama kalinya sejak mereka bulan madu, raut Bramantya berubah serius.

Dari kejauhan, kamera CCTV villa yang mengarah ke pintu belakang menampilkan sosok perempuan bergaun putih yang berjalan pelan lalu menghilang di tikungan koridor luar.

Namun satu hal membuat darah Bram mendidih.

Rianti tidak pernah memakai, gelang hitam yang terlihat di pergelangan tangan sosok itu.

Bram berdiri membeku beberapa detik sebelum akhirnya bergerak cepat.

Ia menuju ke panel kontrol villa yang tersambung langsung dengan CCTV keamanan.

Tangannya gemetar saat mempercepat rekaman beberapa menit ke belakang.

Dan saat itulah napasnya tercekat.

Rekaman menunjukkan Rianti berjalan santai keluar kamar mandi.

Ia mengenakan dress putih tipis yang sama seperti sebelumnya, rambutnya masih basah.

Namun dari arah koridor belakang muncul seorang wanita memakai hoodie putih dan masker, wajahnya tidak terlihat jelas.

Wanita itu pura-pura menunduk sambil membawa handuk.

Rianti sempat menyapanya sopan.

“Apa kamu staf—”

TES!

Wanita itu menempelkan sesuatu ke leher Rianti. Seperti kain dengan cairan bius.

Rianti sempat melawan, tapi tubuhnya langsung limbung.

Wanita itu menangkapnya, menggendongnya ke arah pintu belakang villa, lalu menghilang dari sudut kamera.

Namun tepat sebelum mengangkat tubuh Riant.

Pergelangan tangannya terlihat gelang hitam.

Gelang yang Bram kenal.

Gelang milik LINDA.

BRAK!

Meja di depan Bram hampir terpental saat tangannya menghantam permukaan kayu.

Nafasnya membara. Rahangnya mengeras sampai urat di pelipisnya menegang.

Dengan tangan bergetar menahan amarah, ia menghubungi seseorang melalui ponselnya.

“Ini Bramantya. Saya butuh bantuan sekarang juga. Istri saya diculik. Hubungkan saya ke kepolisian Maladewa. SEKARANG.”

Suara dari seberang terdengar gugup. “S-sir, tenang—”

“SAYA TIDAK TENANG. JIKA DALAM 10 MENIT POLISI TIDAK SAMPAI KE VILLA INI, SAYA AKAN GUNAKAN CARA SAYA SENDIRI.”

Klik.

Ia memutus telepon, matanya menyala marah.

Bram menatap layar CCTV sekali lagi.

“Linda…” gumamnya lirih tapi penuh ancaman.

Tangannya mengepal hingga buku-bukunya memutih.

“Kalau kau menyentuh satu helai rambut istriku… aku tidak akan melaporkanmu ke penjara. Aku sendiri yang akan menguburmu hidup-hidup.”

Dengan langkah besar dan tatapan penuh amarah membara, Bramantya keluar dari villa, bersiap memburu istrinya.

Di Dalam Mobil – Rianti Masih Tak Sadarkan Diri

Prabu duduk di kursi belakang, memangku tubuh Rianti yang lemas.

Napanya berat. Matanya menatap wajah Rianti lama... ada rasa bersalah, tapi juga obsesi.

“Maaf, Ri… Aku cuma mau kamu sadar lagi kalau aku tempatmu pulang…” gumamnya pelan sambil menyentuh pipi Rianti.

Linda yang duduk di depan menoleh.

“Jangan sentuh dia sembarangan. Ingat, kita cuma mau pisahkan mereka. Bukan—”

“Diam, Linda,” potong Prabu dingin. “Kau ambil bagianmu. Sekarang bagianku.”

Prabu menyalakan mesin mobil dan melajukan ke arah hotel yang sudah ia pesan.

Di Kamar Hotel Linda –

BRAK!!!

Pintu kamar terbanting terbuka begitu keras hingga hampir copot dari engselnya.

Linda yang baru saja masuk terlonjak ketakutan.

Bramantya berdiri di ambang pintu napasnya berat, rahangnya mengeras, urat di lehernya menegang.

Matanya merah.entah karena amarah atau panik.

“DIMANA RIANTI?!!” suaranya menggelegar hingga membuat lampu gantung bergetar.

Linda mundur spontan.

“A-aku… aku nggak tau Bram…”

Bram melangkah maju. Dalam sekejap ia mencengkram kerah Linda dan mendorongnya ke dinding.

“Kalau kamu tidak bicara sekarang, aku seret kamu ke dermaga, dan aku pribadi cek apakah hiu di Maladewa makan manusia dengan cepat atau lambat.”

Linda gemetar.

“B-bram, aku cuma mau dia sadar kalau kamu itu—”

“JAWAB!!!”

“Ri… Rianti sama Prabu! Dia yang bawa! Aku nggak ikut!”

Bram melepaskan cengkeramannya lalu langsung berbalik menuju pintu.

“Hotel mana?” suaranya dingin.

“T-The Blue Coral Suite… nomor 708….”

Bram tidak menoleh lagi.

Ia berlari keluar, menekan speed dial ponselnya sambil turun ke lobi.

Sementara itu, di dalam hotel yang disebut Linda…

Prabu membawa Rianti masuk ke kamar. Ia meletakkannya di atas ranjang perlahan.

Rianti mulai menggeliat… tanda-tanda sadar.

Prabu duduk di sampingnya. Menatap… penuh luka.

“Jangan takut kalau kamu bangun dan lihat aku duluan ya… Aku cuma mau kamu dengar aku sekali saja.”

Tangannya menyentuh tangan Rianti pelan.

“Aku akan lakukan apapun untuk buat kamu lihat aku lagi…”

BRAKKKKK!!!!

Pintu kamar mendadak hancur ditendang dari luar.

Prabu sontak berdiri, terkejut.

Bramantya berdiri di ambang pintu…

Matanya seperti singa yang baru kehilangan anaknya.

“SENTUH DIA SEKALI LAGI — AKU KUBUR KAU HIDUP-HIDUP DI PULAU INI.”

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Bram langsung maju menghampiri ranjang, mengangkat tubuh Rianti dari dekapan Prabu.

Prabu mencoba maju.

“BRAM! Aku cuma—”

Bugh!

Bram menghantamkan satu pukulan keras tepat ke rahang Prabu hingga pria itu tersungkur ke lantai.

“Jika kau sentuh dia lagi… AKU HABISI.”

Bram tidak menunggu balasan. Ia membopong Rianti bridal style, menahan tubuhnya erat seolah takut istrinya menghilang lagi.

Prabu hanya bisa terdiam, darah menetes dari sudut bibirnya tapi amarah di mata Bram terlalu mengerikan untuk dilawan.

Di dalam mobil, Rianti masih pingsan, kepalanya bersandar di dada Bram. Jemarinya yang dingin digenggam erat oleh Bram sepanjang perjalanan.

Bram menyetir hanya dengan satu tangan, yang satunya tetap menggenggam tangan Rianti.

Suaranya pelan, namun penuh ketakutan yang ia coba sembunyikan.

“Sayang, aku di sini. Maafkan aku yang datang terlambat dan tidak menjagamu."

Sesampainya di Hotel

Bram membuka pintu kamarnya dengan cepat.

Ia menurunkan Rianti ke atas ranjang dengan sangat hati-hati, seolah tubuh istrinya terbuat dari kaca yang bisa pecah kapan saja.

Ia menarik selimut dan menyelimuti tubuh Rianti, memastikan tidak ada sedikitpun yang membuatnya kedinginan.

Kemudian Bram duduk di tepi ranjang, tangannya mengusap rambut Rianti pelan.

Wajahnya yang biasanya penuh percaya diri kini tampak kacau matanya memerah.

"Bangun ya, Ri. Aku nggak bisa lihat kamu diam kayak gini…”

Ia menunduk, mencium kening Rianti lama-lama.

Dadanya naik turun cepat sesak menahan emosi.

Tak lama kemudian, Bram bangkit dan membuka kotak P3K, membersihkan sedikit memar di lengan Rianti akibat seretan saat diculik.

Mereka sudah sentuh kamu sekali. Aku nggak akan biarkan lagi…”

Ia menggenggam tangan Rianti.

“Ayo bangun, Sayang. Biar aku bisa peluk kamu lagi dalam keadaan sadar…”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!