Nayla dan Dante berjanji untuk selalu bersama, namun janji itu pudar ketika Nayla mendapatkan pekerjaan impiannya. Sikap Nayla berubah dingin dan akhirnya Dante menemukan Nayla berpegangan tangan dengan pria lain. Hatinya hancur, tetapi sebuah kecelakaan kecil membawanya bertemu dengan Gema, kecerdasan buatan yang menjanjikan Dante kekayaan dan kekuasaan. Dengan bantuan Gema, Dante, yang sebelumnya sering ditolak kerja, kini memiliki kemampuan luar biasa. Ia lalu melamar ke perusahaan tempat Nayla bekerja untuk membuktikan dirinya. Dante melangkah penuh percaya diri, siap menghadapi wawancara dengan segala informasi yang diberikan Gema.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tantangan dari calon mertua
[Dante, biarkan aku mengendalikan tanganmu. Kita akan meretas semua informasi Lucas.] Tiba-tiba suara Gema terdengar jelas di kepalanya. Dante tidak menjawab, tapi ia membiarkan Gema mengendalikan tangannya. Perlahan, tangannya bergerak sendiri, dan ia mengambil laptop Dimas yang ada di meja.
Dimas dan Kania yang melihat hal itu, hanya bisa terdiam. Mereka tahu bahwa Dante sedang meretas sesuatu. Dimas terkejut, ia tidak menyangka bahwa Dante bisa secepat itu. Dante memasukkan kata sandi ke laptop Dimas, lalu membuka sebuah program peretas. Gema mengendalikan jarinya untuk mengetik dengan cepat.
[Mengakses data pribadi Lucas.] Terdengar suara Gema yang robotis di kepalanya. Mata Dante berkedip, memproses semua informasi yang masuk. Dimas hanya bisa menatap Dante dengan takjub, melihat betapa cepat tangan Dante bergerak.
Setelah beberapa saat, tangan Dante berhenti bergerak. Ia menoleh ke Dimas dan Kania. "Sudah," kata Dante. "Semua data Lucas ada di sini. Dan aku sudah tahu kenapa dia ingin aku celaka."
Dimas dan Kania saling berpandangan, mereka tahu ada sesuatu yang lebih besar dari itu. "Dia memang seorang pejabat," kata Dante. "Seorang pejabat penting di sini. Dan ia mencoba menyingkirkan semua orang yang bisa menghalanginya."
Dimas mengangguk. "Itu benar, Dante. Aku sudah punya firasat itu. Aku juga sudah bertemu hacker, jadi aku sewa hacker yang aku temui. Dia bilang kalau Lucas adalah pejabat di sana."
"Jadi," kata Dante. "Aku tidak hanya berurusan dengan Bram, tapi juga dengan Lucas. Dan sekarang, aku punya semua data-datanya. Kita akan membuat dia jera. Kita akan membalas dendam."
Dante tersenyum, senyum yang dingin, tanpa emosi, dan penuh tekad. Freya, Dimas, dan Kania yang melihat itu, tahu bahwa Dante telah berubah.
Tiba-tiba ponsel Freya berdering, ia melihat nama ayahnya tertera di layar. "Ayah?" kata Freya. "Ada apa?"
Ia mendengarkan dengan seksama, dan matanya melebar. "Besok?" kata Freya. "Kau bilang besok?"
Ia mengakhiri panggilan dan menoleh ke Dante dengan wajah terkejut. "Dante... Ayahku menelepon. Katanya aku berangkat besok."
Dante tersenyum, senyum yang hangat, tapi matanya masih memancarkan tekad. "Aku akan merindukanmu," kata Dante.
Freya tersenyum, tapi matanya terlihat sedih. "Aku tidak tahu berapa lama aku di sana," katanya.
"Tidak apa-apa," kata Dante, memegang tangannya. "Jika kau lama di sana, maka setelah Gemagroup menjadi lebih maju dan besar, aku akan menyusulmu."
Freya menatap Dante. "Maaf, aku tidak bisa membantumu kali ini," bisik Freya.
Dante tersenyum, lalu memeluknya dengan erat. "Tidak apa-apa, Freya. Kau sudah banyak membantuku," katanya.
Kania juga ikut memeluk Freya. "Aku juga akan merindukanmu, Freya," kata Kania, suaranya sedikit serak.
Dimas menepuk bahu Freya dengan lembut. "Jaga dirimu di sana," kata Dimas. "Dan tetaplah setia pada Dante."
Setelah itu, Dante mengantarkan Freya pulang ke rumahnya. Di depan pintu, George sudah menunggu. Berbeda dari sebelumnya, George memberikan isyarat agar Dante masuk. Dante yang terkejut tapi juga senang, mengikuti Freya masuk ke dalam rumah.
George menatap Dante dengan tajam. "Duduk," katanya, menunjuk sofa di ruang tamu.
Dante mengangguk dan duduk. Freya duduk di sampingnya, dengan tangan memegang erat tangan Dante. "Ayah," kata Freya. "Kau tidak perlu melakukan ini."
"Aku hanya ingin berbicara dengannya, Freya," kata George. "Ini bukan tes."
Freya menghela napas, ia tahu ayahnya berbohong. Ia menoleh ke Dante, dan Dante tersenyum padanya, seolah berkata "Aku baik-baik saja."
"Jadi," kata George. "Aku dengar kau baru saja koma. Kau baik-baik saja?"
"Ya, Ayah," jawab Dante. "Aku baik-baik saja."
"Jangan bohongi aku, Dante," kata George. "Aku tahu kau tidak baik-baik saja. Apa yang terjadi?"
Dante menatap mata George. "Aku kecelakaan," kata Dante. "Tapi sekarang aku sudah pulih. Aku baik-baik saja."
"Bagaimana aku bisa tahu kau tidak akan membahayakan putriku lagi?" kata George.
Dante menelan ludah. "Ayah, aku akan melindunginya. Aku berjanji," kata Dante. "Aku tidak akan membiarkan apapun terjadi padanya."
George menatap Dante lekat-lekat, menilai kejujurannya. "Kau tahu, aku pernah di posisimu," kata George, suaranya melembut. "Aku juga pernah berjanji pada ayah mertuaku bahwa aku akan melindungi putrinya."
Dante terdiam, mendengarkan.
"Kau terlihat seperti pria yang memiliki tekad," kata George. "Aku tidak peduli kau koma atau tidak. Yang penting, kau punya keberanian untuk bangkit. Aku bisa melihat itu."
Dante tersenyum tipis. "Terima kasih, Ayah," katanya.
George mengangguk. "Kau sudah membuktikan padaku bahwa kau adalah pria yang bertanggung jawab, yang tidak akan pernah lari dari masalah," katanya. "Aku percaya padamu."
George menoleh ke Freya. "Aku merestui hubungan kalian," katanya, lalu tersenyum. "Kau adalah pria yang baik, Dante. Aku bangga padamu."
George menepuk bahu Dante. "Freya bilang kau sudah punya perusahaan sendiri," katanya. "Dan kau membangunnya sendiri."
Dante mengangguk. "Ya, Ayah," jawabnya. "Aku... aku mendirikan Gemagroup."
George tersenyum. "Kau tahu," katanya. "Aku sangat bangga padamu. Kau adalah pria yang hebat. Aku percaya kau bisa menjadi pria yang jauh lebih baik."
"Terima kasih," kata Dante.
"Aku akan memberimu tawaran," kata George. "Ikutlah kami ke Amerika. Kau bisa belajar dari sana, dan kau bisa membawa Gemagroup ke level yang lebih tinggi."
Dante menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa, Ayah," jawabnya. "Aku tidak bisa meninggalkan Gemagroup di sini. Aku akan menyusulmu nanti."
George tersenyum. "Baiklah, jika itu keputusanmu," katanya. "Tapi aku punya tantangan untukmu."
Dante menatapnya. "Tantangan apa, Ayah?"
"Jika kau gagal menyusul kami ke Amerika, dan kami keburu pulang, maka aku tidak akan merestui lagi hubungan kalian," kata George. "Tapi... jika kau berhasil, dan kau datang ke Amerika untuk Freya, maka apapun yang kau inginkan, aku akan dukung sepenuh hati."
"Aku janji, Ayah," kata Dante, matanya menyala. "Aku tidak akan mengecewakanmu."
Freya yang sedari tadi terdiam, tersenyum lebar. Ia memeluk Dante erat, di hadapan ayahnya. "Aku tahu kau tidak akan pernah mengecewakan Ayah," bisik Freya. Lalu, ia menoleh ke ayahnya, dan menjulurkan lidahnya. "Dasar Ayah. Pura-pura galak," ejeknya. George hanya bisa tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
George menatap Dante, lalu tertawa kecil. "Kau tahu, Dante," katanya. "Apakah kau percaya putriku ini adalah seorang CEO?"
Dante mengerutkan dahinya, bingung.
"Sikapnya sangat jauh dengan kebanyakan CEO pada umumnya," lanjut George, sambil tertawa.
Freya melepaskan pelukan dari Dante dan menoleh ke ayahnya, dengan wajah merajuk. "Ayah! Aku ini CEO!" protesnya. George dan Dante hanya bisa tertawa melihat tingkah Freya.
George menepuk kepala Freya, lalu tersenyum hangat. "Iya, iya, CEO kecil Ayah," katanya, seolah sedang berbicara dengan anak kecil. Freya merajuk, tapi ia juga tersenyum.
Tiba-tiba, Rani datang dari dapur dengan membawa nampan berisi teh dan kue. Ia menatap George dengan wajah marah. "George!" serunya. "Kenapa kau tidak bilang kalau calon menantu kita ada di sini?"
George hanya tertawa. "Aku lupa, Sayang," jawabnya.
Rani menoleh ke Dante dengan senyum hangat. "Dante, sayang," katanya. "Maafkan suamiku. Dia memang sering lupa."
Dante tersenyum dan berkata, "Tidak apa-apa, Tante." Gema dalam kepalanya berbisik, [Ternyata orang tua Freya tak semengerikan yang aku bayangkan.]
"Jangan panggil Tante," protes Rani, wajahnya berubah cemberut. "Panggil aku Ibu."