NovelToon NovelToon
Midnight Professor

Midnight Professor

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / CEO / Beda Usia / Kaya Raya / Romansa / Sugar daddy
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author:

Siang hari, dia adalah dosen yang berkarisma. Malam hari, dia menjelma sebagai bos bar tersembunyi dengan dunia yang jauh dari kata bersih.

Selina, mahasiswinya yang keras kepala, tak sengaja masuk terlalu dalam ke sisi gelap sang dosen. Langkahnya harus hati-hati, karena bisa menjadi boomerang bagi mereka.

Keduanya terjebak dalam permainan yang mereka buat sendiri—antara rahasia, larangan, dan perasaan yang seharusnya tidak tumbuh.

Bab 24: Penyusup

Setelah pertemuan barusan bubar dengan Selina pergi mempersiapkan diri untuk jam buka bar sambil ngedumel sendiri, Leonhard juga ikut pergi dari kerumunan. Dia berjalan menuju satu ruangan khusus miliknya.

Leonhard berdiri beberapa detik di depan bingkai lukisan besar gambar macan tutul, celingukan mengawasi keadaan. Tangannya mendorong bagian bawah bingkai, terdengar bunyi klik halus, lalu panel dinding tergeser secara otomatis memperlihatkan ruangan tersembunyi di baliknya.

Ruangan itu jauh dari kesan glamor bar. Dinding bata dibiarkan tanpa dipoles semen dan cat, rak arsip berderet di sudut ruangan, dan satu meja kayu besar penuh dokumen dan map. Lampu putih menerangi ruangan itu.

“Leon.”

Sebelum dia menutup kembali pintu, seseorang memanggil namanya. Sempat kaget, karena dia pikir orang lain, ternyata hanya Prima. Dia membuka pintu sedikit lebih lebar untuk Prima masuk.

Prima masuk menyusul, menutup pintu dinding dengan hati-hati. “Gua rasa… udah saatnya lo jujur sama Selina,” katanya pelan.

Leonhard mengitari meja kayu itu sebelum duduk di kurai sambil menghela nafas berat.

“Jujur apa? That I have twins?,” jawab Leonhard sambil tertawa kecil.

Prima berdecak, menghanpiri Leonhard dan duduk di kursi hadapannya.

“Gua serius,” ujar Prima.

Leonhard menyandarkan siku di sandaran kursi, tawa kecil menghilang. “Gua juga serius. Waktunya belum tepat. Biarin dia mikir gua punya kembaran. It’s for the best… at lest right now.”

“Apanya yang belum tepat sih? Dia udah sejauh ini, Leon?”

Leonhard tidak menjawab, dia malah membuka laptopnya dan mengutak-atik folder dokumen di dalamnya. Prima menatap Leonhard dengan tatapan penasaran dan nenggantung.

“What are you doing? Jawab dulu pertanyaa—”

Kalimat Prima terputus saat Leonhard membalikkan laptopnya ke hadapan Prima. Layar itu menunjukkan sebuat video rekaman CCTV di area sekitar bar.

“Liat ini,” ujar Leonhard datar, jarinya memencet tombol play.

Prima mencondongkan tubuhnya kedepan, matanya terkunci pada layar. Rekaman CCTV itu menampilkan sudut gelap di sisi belakang bar—tempat yang jarang di lewati pengunjung biasa. Kualitas gambarnya tidak sempurna, tapi cukup menangkap siluet seseorang yang bergerak dengan sangat hati-hati dan waspada.

“Ini diambil dua minggu lalu,” jelas Leonhard. Dia menggeser timeline video, menunjuk satu frame yang menunjukkan seorang penyusup itu. Jaket hitam, hoodie ditarik menutupi kepala, dan masker menutup sebagian wajah.

“Liat tangannya,” kata Leonhard sambil memperbesar gambar. Dalam frame berikutnya, orang itu menyelipkan benda kecil ke celah antara panel kayu dan rak. “Dia bukan datang sekali. Ini yang pertama.”

Leonhard menggeser lagi. Video kedua. Rekaman CCTV di dekat pintu samping. Sosok yang sama. Dia masuk lewat pintu service yang hanya dibuka ketika tukan service datang. Dia menyamar sebagi tukang service itu, mengendap dan memeriksa sekeliling seperti sudah hafal medannya.

Prima membuka mulutnya setengah. “Dia tau titik buta kita.”

Leonhard mengangguk pelan. “Dan ini…” ujarnya sambil membuka rekaman ketiga.

Momen itu bikin tenggorokan Prima kering. Kamera bar bagian lounge—malam saat Selina hampir pingsan. Dalam rekaman itu, tampak Selina ngobrol dengan beberapa tamu, lalu meninggalkan gelasnya sebentar untuk membantu Prima di sisi lain bar. Dalam selang waktu tak sampai tiga puluh detik, sosok ber-hoodie itu muncul di pinggir frame. Tangan kirinya dengan cepat menjatuhkan bubuk putih ke dalam gelas Selina, lalu menghilang ke kerumunan.

Kemudian Leonhard menaruh bungkus kecil berisi bubuk putih di atas meja. Totalnya ada lima bungkus.

“Ini yang gua temuin di selipan panel kayu sama rak,” kata Leonhard lagi sambil menatap tajam Prima.

Prima membeku. “Holy shit… drugs?!” gumamnya.

“Ini bukan barang ecek-ecek. Dari packaging sama kualitasnya, gua yakin dia bukan amatiran. Dia tau persis celah sistem keamanan bar,” jelas Leonhard sambil bersandar di kursi, kedua tangannya mengusap wajahnya.

Prima mengambil salah satu bungkus itu, membolak balik plastiknya.

“Lo yakin bukan salah satu kru di sini yang ngelakuin ini?”

“Gua udah cross-check shift list, CCTV, dan semua transaksi. Gak ada yang aneh dari orang dalam. Ini kerjaan orang luar, tapi kita kebobolan sampe mereka tau pola, tau timing, sama tau tempat.”

Prima meletakkan kembali bungkus itu di atas meja. “Udah cari tau siapa orang ini?”

Leonhard mengangguk. “Gua udah tarik footage dari kamera luar. Plat motor ketangkep samar, tapi masih bisa gua trace. Gua yakin ini pasti kerjaan… Nikko. Dia datang hampir sepuluh kali dalam sebulan ini dan timingnya selalu pas Selina ada di bar.”

Prima menegakkan punggungnya, terpanggil saat Leonhard menyebutkan satu nama.

“Sebentar… you said Nikko? Nikko… adek lo?”tanya Prima.

Leonhard memutar bola matanya. “Half brother. Yes.” Nadanya seperti tidak suka ketika menyebutkan hubungan mereka—half-brother, Ayahnya Leonhard menikah lagi saat Ibunya meninggal karena kecelakaan dan lahirlah Nikko.

“Oke. Half-brother… lo yakin? Ini semua kerjannya Nikko?” tanya Prima lagi.

“Sejauh ini… rival kita cuma Nikko.” Leonhard memutar layar laptop kembali ke hadapannya. “Gua udah minta orang untuk lacak plat motornya, memang bukan atas nama dia. Tapi platnya pernah terdaftar di arena. I’m pretty damn sure it’s Nikko.”

“Gua kira dia cuma mau rebutun warisan perusahaan suku cadang bapak lo doang. Nyatanya dia ikut ngerusak di wilayah lo juga…” Prima menyadarkan tubuhnya ke kursi.

“Dari dulu dia selalu iri dan nyoba ngerusak apapun yang gua bangun. I don’t give a fuck about that stupid warisan. He can have it, tapi kalau sampe nyentuh teritorial gua… gua pastikan dia bayar sama darahnya.”

Prima menegang mendengar penjelasan Leonhard. Ini perang saudara. Dia sudah sering melihat Leonhard dan Nikko adu jotos sampai banak belur, dan sekarang dia gak yakin kalau mereka bakal perang sebatas jotosan di muka.

Prima bisa melihat jelas kilatan emosi di mata Leonhard—bukan cuma marah, tapi kecewa, bercampur jijik. “Lo pikir Nikko sendiri yang naro barang-barang ini, atau dia nyuruh orang?”

“Dia nggak sebodoh itu buat turun tangan langsung,” jawab Leonhard dingin. “Tapi pola geraknya terlalu rapi buat sekadar anak buah. Dia pasti ngarahin.”

Prima mencondongkan tubuh, nada suaranya lebih serius. “Berarti Selina… bisa jadi target selanjutnya. Kalau Nikko tahu dia udah ngendus identitas lo, dia bisa manfaatin Selina buat nyerang balik.”

Leonhard menatap lurus ke layar, lalu menutup laptop dengan suara “klik” yang tegas.

“Exactly. Nikko udah masuk terlalu jauh. Dan Selina… tanpa sadar udah berdiri di tengah medan perang.”

Prima menatap Leonhard dengan ekspresi setengah khawatir, setengah tidak percaya. “Lo yakin mau libatin dia buat jebakan ini?”

“I don’t have a choice. Cewek itu sendiri yang loncat ke lubang kita,” jawab Leonhard, rahangnya mengeras. “Nikko ngincer titik terlemah… which is Selina.”

Prima mengangkat satu alisnya, kepalanya sedikit miring. “Titik terlemah? Selina?”

Leonhard hanya menatapnya diam, tidak bergerak dan tidak bersuara.

“Sejak kapan Selina jadi titik terlemah lo?” tanya Prima lagi.

Leonhard membuang nafasnya. “Jangan bahas itu sekarang.” Dia membuang pandangannya ke rak arsip terdekat. Kemudian dia ingat sesuatu, mengampil ponselnya di saki celana. Dia mencari sesuatu di galerinya.

“Gua punya yang lain,” kata Leonhard menyodorkan ponselnya kepada Prima.

Layar ponselnya menunjukkan foto Selina dan temannya di area kampus, kemdian di belakang dekat batang pohon besar, ada sosok yang berdiri seperti sedang menguntit. Tidak hanya satu kejadian, tapi Leonhard punya tiga foto sosok yang sama berada di dekat Selina di area kampus.

“Ini apa…?”

“Gua gak yakin ini masih berhubungan sama penyusup di bar atau beda orang, but I think it’s… a stalker,” jelas Leonhard, mengambil ponselnya kembali.

“Stalker? Maksud lo, ada yang nguntit Selina?”

Leonhard mengangguk pelan. “Seems like it. Gua gak sengaja beberapa kali ngeliat sosok itu ngikutin Selina kemana-mana. Kalau masih berkaitan sama Nikko… ini bukan masalah kecil lagi, Prima.

“When did this… become so messy…” gumam Prima menyisir rambutnya dengan tangan.

“Dia gak pernah nyentuh atau nyamperin langsung, tapi selalu ada di radius dekat. Gua khawatir cepat atau lambat akan ada gebrakan yang lebih dari mereka,” pungkas Leonhard. Matanya seketika melembut saat melihat fotonya Selina. Prima bisa menangkap cahaya matanya itu, tapi waktunya tidak cocok intuk menggoda saat ini.

Prima berdehem. “Menurut gua… Selina harus tau tentang ini. Jadi, dia bisa waspada juga karena lo… gak akan mungkin bisa jagain dia 24/7, iya kan?”

Leonhard menggigit lidahnya. Sebenarnya dia mau menangani ini sendiri, tapi apa yang dikatan Prima ada benarnya. Dia tidak ada dalam kehidupan Selina selain di kampus dan bar dan dia tidak bisa telepotasi ketika ada bahaya yang datang tiba-tiba.

“Lo bener. Gua gak mungkin jagain dia dua puluh empat jam.”

Prima mengangkt alis, menunggu lanjutannya.

“I have a plan,” ujarnya pelan.

“What is it?”

Leonhard berdiri, siap beranjak dari ruangan itu. “Kalau gua gak bisa ngawasin dia, gua bakal hire bodyguard untuk Selina.”

Prima terkesiap. “Lo serius mau hire bodyguard buat Selina?” Nada suaranya setengah tak percaya, setengah nahan ketawa. “Bro… kita ngomongin Selina. Dia itu bakal ngamuk begitu tahu lo nempelin pengawas pribadi 24/7.”

Leonhard menatap Prima datar. “Gua nggak bilang dia harus tahu.”

“Wait—jadi lo mau nyusupin bodyguard ke hidupnya tanpa bilang?” Prima menyilangkan tangan di dada. “Lo pikir dia nggak bakal sadar? Ini Selina. Dia bisa nyium kecurigaan kayak anjing pelacak.”

Leonhard menarik napas dalam. “Gua nggak peduli dia sadar atau nggak. Selama orang itu bisa ngejaga dia… itu cukup.”

“Gila… lo mulai main ‘overprotective boss’ sekarang?” goda Prima, tapi wajahnya masih tegang.

“Gua nggak bisa tinggal diam kalau Nikko atau stalker itu nyerang lagi.” Leonhard menoleh, ekspresinya kembali ke mode serius penuh kalkulasi. “Gua ada kenalan, dia bakal awasin Selina dari jarak jauh tapi masih aman kalau ada terjadi sesuatu.”

Prima mengangkat alis tinggi. “Lo bener-bener udah mikirin ini jauh ya.”

Leonhard tidak menjawab. Dia hanya menatap kosong ke jendela, pikirannya sudah melangkah lebih jauh dari sekadar rencana pengawasan.

Dan untuk pertama kalinya, Prima benar-benar sadar—ini bukan cuma urusan bisnis atau keamanan. Leonhard invested. Dalam arti yang lebih personal daripada yang pernah ia lihat sebelumnya.

1
Acap Amir
Keren abis
Seraphina: terima kasih kak🥺
total 1 replies
Desi Natalia
Jalan ceritanya bikin penasaran
Seraphina: terima kasih❤️ pantentung terus ya kak🥺
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!