Sekar tak pernah menyangka, pertengkaran di hutan demi meneliti tanaman langka berakhir petaka. Ia terpeleset dan kepala belakangnya terbentur batu, tubuhnya terperosok jatuh ke dalam sumur tua yang gelap dan berlumut. Saat membuka mata, ia bukan lagi berada di zamannya—melainkan di tengah era kolonial Belanda. Namun, nasibnya jauh dari kata baik. Sekar justru terbangun sebagai Nyai—gundik seorang petinggi Belanda kejam—yang memiliki nama sama persis dengan dirinya di dunia nyata. Dalam novel yang pernah ia baca, tokoh ini hanya punya satu takdir: disiksa, dipermalukan, dan akhirnya dibunuh oleh istri sah. Panik dan ketakutan mencekik pikirannya. Setiap detik terasa seperti hitungan mundur menuju kematian. Bagaimana caranya Sekar mengubah alur cerita? Apakah ia akan selamat dari kematian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhanvi Hrieya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23. MENGIKUTI ALUR
Suara pintu berderit membuat pergerakan Sekar menyisir rambutnya berhenti, Johan masuk ke dalam kamar menutup kembali pintu kamar. Ia melangkahkan lebar mendekati meja rias, berdiri di belakang tubuh Sekar. Sorot mata biru dinginnya melirik Sekar dari pantulan di cermin, pencahayaan dari lilin memantulkan bayang keduanya.
"Bukankah apa yang aku sampaikan saat makan malam membuat Nyai terharu." Johan meraih sisir kayu di tangan Sekar.
Tangannya terlihat mulai bergerak menyisir helaian rambut hitam legam panjang milik gundiknya, tatapan matanya masih menatap lurus ke cermin.
"Apa yang Jendral inginkan?" tanya Sekar langsung tanpa harus berbasa-basi.
Pergerakan tangan Johan berhenti, ia menunduk mensejajarkan wajah mereka berdua. Semburat hangat napas Johan menerbangkan helaian rambut di sisi kanan wajah Sekar, jari jemari lentik Sekar di atas pahanya terlihat saling bertautan dan mengerat.
"Apakah Nyai masih tidak paham apa yang aku inginkan, hm?" tanya balik Johan, "Nyai jelas tau apa yang sangat aku inginkan dari Nyai. Menyempurnakan pernikahan ini, memiliki anakku sendiri. Aku tau Nyai masih enggan menyerahkan diri seutuhnya padaku, meskipun Nyai terlihat jauh lebih tenang belakang ini."
Sekar menahan napas untuk beberapa detik, tatapan mata dingin Johan menatapnya seakan menenggelamkan dirinya di dalam lautan tanpa dasar. Sekar tahu tidak mungkin jabatan yang sekarang Johan pegang tanpa alasan, pria di belakangnya ini memiliki taktik dan trik untuk sampai di puncak kekuasaan. Selain latar belakang yang mumpuni, di usianya yang sangat muda ia digambarkan sebagai pria berdarah dingin.
Bahkan Johan menjadi protagonis pria yang setara dengan Samudra—protagonis pria, keduanya memiliki kelebihan dalam kekuasaan dan taktik. Sekar mengigit bibir bawahnya, di saat jari jemari panjang dingin Johan menarik helain rambutnya ke samping. Ujung hidung Johan bersentuhan dengan leher jenjang Sekar, jari jemari kaki Sekar ditekuk menahan rasa takut.
"Aku menginginkannya hadiahku malam ini, Nyai!" seru Johan dengan suara serak.
Sekar menjerit tertahan di saat tubuhnya melayang di udara, kedua tangannya melingkar di leher Johan secara spontan. Manik mata Sekar bergerak liar, di saat tubuhnya direbahkan secara perlahan di atas ranjang.
"Jen—jendral," panggil Sekar tergagap, tangannya bergerak menahan dada bidang Johan.
Johan meraih tangan kanan Sekar, membawanya ke sisi atas kepala Sekar. Seringai terbit di bibir Johan saat tangan kirinya menarik tali kelambu, manik mata biru Johan menatap wajah panik sang gundik dengan saksama.
"Tidak ada ramuan apapun malam ini, Nyai. Aku tidak meminum apapun yang Ratna buat. Dupa yang sudah Nyai siapkan secara spesial pun sudah aku singkirkan, aku tau apa yang Nyai lakukan di belakangku. Dan aku memberikan toleransi dengan segala trik licik Nyai, kali ini dan seterusnya. Aku tidak akan berpura-pura terjebak," beber deep voice Johan mengalun pelan dan mematikan, "aku akan menyingkir pria yang Nyai cintai, siapa pun dia. Jadi, Nyai harus berhati-hati ke depannya. Jika tidak ingin membuatku marah, Nyai paham 'kan?"
GLEK!
Air liur yang Sekar teguk terasa mengganjal di kerongkongan, degup jantungnya bertalu-talu. Tubuhnya membeku, melawan pria di atasnya ini begitu sulit tanpa bantuan orang lain. Apakah pada akhir Sekar harus tetap menerima keadaan, menghabiskan malam dengan melayani Johan. Satu sisi ia merasa tidak terima, akan tetapi di sisi lain ia tak berdaya.
...***...
Ketukan di daun pintu terdengar keras, disertai panggilan dari balik pintu. Erangan samar dari wanita di atas ranjang mengalun, pintu di dorong dari luar. Ratna tertegun saat memasuki ruangan yang hanya diterangi oleh pencahayaan yang masuk melalui celah-celah ventilasi, aroma kurang sedap memasuki indera penciuman Ratna. Kedua tungkai kakinya bergerak menuju jendela, saat jendela dibuka sepenuhnya pencahayaan menyerbu menerangi seluruh ruangan kamar.
Sekar merintih, mengeluh dalam diam saat merasakan seluruh tubuhnya terasa sakit. Hawa panas dan angin sejuk memasuki kamar secara bersamaan, Ratna berdiri di samping ranjang yang tertutup kelambu.
"Nyai," panggil Ratna terdengar ragu.
Sekar membuka mata, ia mendengus setengah kesal dengan apa yang terjadi tadi malam. Ia menoleh ke samping, sisi ranjang kosong.
"Maaf, Nyai. Aku..., sepertinya Jendral tau dan menolak untuk meminum herbal yang Nyai racik tadi malam," sambung Ratna dengan ekspresi wajah merasa bersalah.
Sekar bangkit dari posisi tidurnya, berdecak kecil saat telapak tangannya menyentuh pinggangnya. Tangan kanannya menahan sehelai kain jarik yang menutupi tubuhnya, rambut hitam legamnya tampak kusut.
"Sudahlah, apa yang terjadi tidak bisa diubah," jawab Sekar serak, kerongkongan terasa kering. "Siapkan air mandi untukku, dan minta orang membersihkan ranjang."
Sekar memberikan perintah, Ratna mengangguk dan melangkah keluar dari ruangan kamar.
"Mbak!" seruan di luar ruangan menyentak lamunan Sekar.
Sekar melilit kain jarik di tubuhnya, beringsut keluar dari dalam kelambu. Ketika telapak kakinya menginjak lantai, ia kembali mendengar suara adiknya.
"Tunggu sebentar Lasmi!" seru Sekar menaikan intonasi nada suaranya.
"Iya, Mbak."
Sekar meringis saat berdiri, meraih pakaian yang berada di atas lantai. Memakai cepat, dan keluar dari dalam kamar tanpa mengingat rambutnya. Lasmi berdiri di depan pintu dengan ekspresi gelisah, ia terlihat mengerutkan dahi saat atensinya tertuju pada ruam merah di perpotongan leher jenjang sang kakak. Sontak saja kedua sisi pipinya bersemu, ia membuang muka.
"Apa ada yang kamu butuhkan?" tanya Sekar melirik adiknya yang menunduk menatap lantai.
"Mbak, ak—aku ingin meminjam uang dari Mbak. Tidak perlu banyak, sedikit saja sudah cukup. Aku ingin mencari pekerjaan di luar sana, nanti setelah aku menghasilkan uang. Aku akan mengembalikan uang yang Mbak kasih, dan aku juga akan tinggal di luar sana." Lasmi tergagap mengungkapkan keinginannya.
Satu malam ia habiskan untuk menyusun rencana, setelah ia tahu sang ayah dan pria yang menikahinya telah mati. Lasmi tidak lagi punya belagu di hatinya, rasa takut akan ditangkap dan diseret kembali ke desa kini telah musnah. Lasmi bukan perempuan manja, ia berkerja membatu kebun di desa. Lasmi juga bisa membaca dan menulis, ia termasuk wanita yang tekun dalam pendidikan. Meskipun tidak secantik kakak perempuannya, ia memiliki keyakinan untuk bisa hidup mandiri.
"Berapa yang kamu inginkan?" tanya Sekar lembut.
Sontak saja kepala Lasmi yang tertunduk terangkat menatap sang kakak dengan ekspresi tak percaya, Sekar adalah penyelamat Lasmi. Saat ia menyerah untuk hidup, kakaknya ini yang membuat ia kembali bangkit.
"Lima gulden saja sudah sangat cukup Mbak," sahut Lasmi lirih.
Sekar mengangguk paham, ia kembali masuk ke dalam kamar. Tak butuh waktu lama, Sekar membawa kantong uang dan meletakkan ke tangan Lasmi. Mata Lasmi terbelalak saat merasa bobot dari kantong uang, dan menatap Sekar dengan pupil mata melebar.
"Lima puluh gulden," kata Sekar lembut, "Mbak dengar kamu adalah siswa yang pintar, kamu harus meneruskan sekolahmu. Lupakan semua hal yang terjadi, mulailah kembali menata masa depanmu. Tidak perlu bekerja sekarang, cukup kamu belajar dan mencari skill yang bisa kamu gunakan untuk masa depan. Dan uang itu, Mbak pinjaman. Kembalikan saat kamu nanti sudah memiliki pekerjaan yang bagus."
Bulir bening terjatuh di pipi Lasmi, Sekar memeluk Lasmi mengusap lembut punggung belakang sang adik. Setidaknya, ia bisa menyelamatkan Lasmi. Ada harga yang harus ia bayar.
Bersambung....