Di tahun 2032, keluarga Wiratama mengikuti program wisata luar angkasa perdana ke Mars—simbol harapan manusia akan masa depan antarplanet. Namun harapan itu berubah menjadi mimpi buruk, ketika sebuah entitas kosmik raksasa bernama Galactara menabrak jalur pesawat mereka.
Semua penumpang tewas.
Semua… kecuali mereka berempat.
Dikubur dalam reruntuhan logam di orbit Mars, keluarga ini tersentuh oleh sisa kekuatan bintang purba yang ditinggalkan Galactara—pecahan cahaya dari era pertama semesta. Saat kembali ke Bumi, mereka tak lagi sama.
Rohim, sang Suami, mampu mengendalikan cahaya dan panas matahari—melindungi dengan tangan api.
Fitriani, sang Istri, membentuk ilusi bulan dan mengendalikan emosi jiwa.
Shalih anak pertama, bocah penuh rasa ingin tahu, bisa melontarkan energi bintang dan menciptakan gravitasi mikro.
Humairah anak kedua, si kecil yang lembut, menyimpan kekuatan galaksi dalam tubuh mungilnya.
Bagaimana kisah sebuah keluarga ini ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gerhana Matahari
Suasana di ruang komando utama The Vaultsebuah ruangan melingkar yang canggih dengan layar-layar holografik mengambang terasa tegang. Pukul menunjukkan tengah malam, tetapi aktivitas di Vanguard Tower tidak pernah mereda.
Rivani, Komandan Divisi 5 Batara Raya, berdiri di tengah ruangan. Bodysuit hitamnya tampak kotor karena debu dan aspal. Ia baru tiba setelah penerbangan brutal dari Batara Raya, melaporkan kegagalannya.
Di hadapannya, Dira (Closer Cipher) dan Bagas (Closer Jolt) memimpin sesi evaluasi. Dira, sang analis taktis, duduk di kursi pusat komando, matanya yang tajam menatap data yang disajikan secara holografik. Bagas, teknisi utama dan inovator, berdiri di samping konsol, tangannya bersilang.
"Laporan kalian sudah kami terima, Rivani," ujar Dira, suaranya tenang namun penuh otoritas. "Jet T-57 Vanguard Hawk dicuri. Ini kerugian operasional yang signifikan. Namun, kami juga harus menimbang konteksnya."
"Konteksnya, Dira," potong Rivani dengan nada frustrasi, "adalah mereka menyerang tim saya dan mencuri aset vital! Mereka adalah Ancaman Ekstrem yang dicap oleh ISTC!"
Bagas menoleh, senyum tipisnya meremehkan. "Tunggu dulu, Rivani. Mereka melarikan diri, bukan menyerang. Rohim Wiratama itu seorang insinyur, bukan tentara bayaran. Dan 'serangan' yang kalian alami itu hanyalah ledakan panas dan cahaya bintang tak terarah, mirip reaksi panik."
Dira mengangguk, menyetujui Bagas. "Kami setuju dengan Bagas. Kekuatan Keluarga Wiratama memang luar biasa, tetapi data kami menunjukkan niat mereka adalah perlindungan diri. Sejauh ini, ancaman yang lebih besar justru datang dari pihak yang paling vokal mengklaim mereka berbahaya."
Dira menggeser tampilan holografik. Muncul foto dingin Miss Armstrong yang sedang berpidato. "Kami mengalihkan fokus kami ke Miss Armstrong dan ISTC. Kenapa seorang pejabat CIA begitu ngotot untuk menangkap keluarga sipil dengan kecepatan seperti ini? Ini melanggar semua Protokol Internasional, bahkan yang melibatkan mutan tingkat tinggi. Ini bukan tentang keamanan, ini tentang kepemilikan."
Rivani terdiam. Ia tahu Dira dan Bagas memiliki akses ke intel yang jauh lebih luas.
Bagas mengambil alih. "Kami tahu Rohim terinspirasi oleh ideologi The Closer—yaitu keadilan dan teknologi untuk masyarakat. Mencuri jet kami itu bodoh, tapi itu bukan motif jahat. Kami harus tahu apa yang sebenarnya dicari Miss Armstrong dari keluarga Wiratama."
"The Closer sendiri sedang tidak ada," tambah Dira, merujuk pada pimpinan mereka, Taqi Dirgantara, yang sedang mengatasi ancaman di luar negeri. "Jadi, kami tidak bertindak dulu. Kami menahan Rivani dan unitnya, dan kami tidak akan mengirim tim Vanguard untuk memburu mereka."
Bagas mengetik cepat di konsolnya. "Kami akan mengirim Agen Tia Paramitha (Closer Amo) dan tim investigasi jurnalisnya untuk memantau situasi di Indonesia. Kami juga mengaktifkan Agen Liana di Amerika untuk menyusup ke fasilitas ISTC dan mengetahui apa yang disembunyikan Miss Armstrong."
Keputusan telah dibuat. Keluarga Wiratama kini berada di bawah pengawasan tidak langsung The Vault, yang kini menjadi faksi ketiga yang memata-matai musuh mereka, Miss Armstrong.
Di rumah Joglo tua yang terpencil itu, suara mesin diesel kecil meraung-raung. Rohim mengenakan kaus kotor, matanya fokus, penuh semangat.
Ruangan tengah rumah itu telah berubah menjadi bengkel darurat. Alex dan Raisa telah kembali dari kota membawa haul peralatan yang luar biasa: baterai mobil bekas, kabel tembaga, laptop tua, alat ukur voltase, dan microwave yang dimodifikasi.
Alex, kini mengenakan kaus bergambar Closer Jolt (entah dari mana ia mendapatkannya), bekerja keras memasang kabel. "Selesai, Pak Rohim! Sistem konversi baterai sudah terpasang. Sekarang tinggal Bapak salurkan energi panas Bapak ke kumparan ini. Kita akan lihat seberapa banyak Voltase yang bisa Bapak hasilkan."
Rohim mengangguk, tangannya memegang dua kabel tembaga yang disambungkan ke kumparan. Ia memejamkan mata, memanggil Energi Matahari-nya. Perlahan, cahaya oranye samar mulai memancar dari kulitnya, merambat ke kabel tembaga. Listrik statis memenuhi udara.
"Voltase naik! 100V! 220V! 380V!" teriak Alex, tangannya sigap mencatat data di laptop. Ia terlihat sangat histeris, jauh lebih antusias daripada saat ia masih menjadi security analyst. "Gila, Pak! Bapak adalah PLTA berjalan!"
Raisa duduk di sudut, fokus pada laptopnya, memfilter berita dan intel tentang pengejaran global. Ia juga mengurus kebutuhan logistik keluarga, termasuk memastikan Humairah punya cukup bubur.
"Berita masih menyebut kita Ancaman Ekstrem, Pak," lapor Raisa, tanpa menoleh. "Tapi ada kabar militer Indonesia bergerak. Sepertinya mereka akan segera tahu lokasi kita di Jawa Tengah. Kita harus cepat."
Di samping Raisa, Fitriani dengan tenang merawat Shalih yang sedang tidur siang. Kekuatan Lunavera miliknya kini ia fokuskan pada penyembuhan emosional. Ia memancarkan cahaya perak lembut yang menenangkan, menghilangkan rasa takut dan lelah Shalih. Ia juga menggunakan energi itu untuk membersihkan rumah dan mencuci pakaian, menjadikan tugas rumah tangga sebagai latihan kekuatan.
Mereka semua kini memiliki peran. Rohim: Peneliti dan Sumber Energi. Fitriani: Penyembuh dan Penstabil Emosi. Alex: Insinyur Gadget dan Analis Taktis. Raisa: Logistik dan Intelijen. Keluarga Langit kini menjadi sebuah tim operasional.
"Kita akan lebih cepat dari mereka, Raisa," ujar Rohim, kini ia berhasil menstabilkan output energinya di 500V. "Begitu aku menemukan cara menyalurkan energi ini secara nirkabel, kita bisa pindah ke fase implementasi Tesla Nova."
Jauh dari kesibukan riset mereka, di sebuah penthouse mewah di Jakarta, Miss Armstrong duduk di depan laptop canggihnya. Di layarnya, terlihat hasil scan yang diambil dari fasilitas ISTC: grafik anomali Shalih Wiradipa—Sang Bintang Kejora. Grafiknya menunjukkan energi kosmik yang sangat murni dan belum terikat, potensi tertinggi.
"Menarik," gumam Miss Armstrong, senyum tipis yang dingin melengkung di wajahnya. Ini bukan lagi tentang keamanan global. Ini adalah tentang kekuatan pribadi. Dia menginginkan kekuatan Bintang Shalih.
Ia membuka komunikasi secure ke sebuah layar kecil, menampilkan wajah Dokter Aris yang kini berada di sel isolasi yang gelap.
"Bagaimana, Aris?" tanya Miss Armstrong, suaranya kini dipenuhi nafsu. "Data Shalih. Apakah genetikanya bisa dipindahkan? Apakah ada cara untuk mengambil kekuatan Bintang itu dan mentransfernya ke inang lain... ke aku?"
Wajah Dr. Aris di layar tampak ngeri, namun ia menjawab dengan suara lemah. "Amelia, itu tidak mungkin. Energi kosmik bukan darah. Itu adalah... takdir. Itu akan membunuh inang lain."
"Jangan membantahku!" bentak Miss Armstrong, tangannya membanting meja. "Kau tahu segala hal tentang anomali. Kau mengirimkan data itu ke Rohim. Katakan yang sebenarnya! Ada satu hal yang bisa meningkatkan anomali energi kosmik hingga meledak dan bisa dipanen, kan?"
Dr. Aris memejamkan mata, wajahnya pasrah. "Hanya satu, Amelia. Gerhana Matahari total. Fenomena itu menarik energi kosmik dari alam semesta. Tapi itu akan menghancurkan inang dan siapa pun di sekitarnya."
Miss Armstrong tersenyum lebar, senyum yang menunjukkan kegilaan yang mengerikan. "Kapan gerhana matahari total berikutnya, Aris?"
"Tiga minggu lagi, Amelia. Itu tidak cukup waktu untuk persiapan! Jangan lakukan ini!" pinta Dr. Aris, panik.
Miss Armstrong mematikan sambungan itu tanpa kata. Ia kembali menatap layar yang menampilkan grafik energi Bintang Shalih. Ia menghitung, tiga minggu cukup waktu untuk memburu Keluarga Langit dan memaksa mereka terlibat dalam ritual kosmiknya.
Ia mengambil walkie-talkie militernya. "Jenderal Wirayudha, saya ingin Anda mempercepat perburuan. Tiga minggu dari sekarang, kita akan adakan penangkapan final. Saya ingin target berada di Jawa Tengah, dekat dengan garis Gerhana."