NovelToon NovelToon
Kesempatan Kedua Sang Duchess

Kesempatan Kedua Sang Duchess

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Mengubah Takdir / Romansa
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: KazSil

Elena Ivor Carwyn hidup sebagai Duchess yang dibenci, dihina, dan dijadikan pion dalam permainan politik kaum bangsawan. Namun ketika hidupnya direnggut secara tragis, takdir memberinya kesempatan kedua kembali satu tahun sebelum kematiannya. Kali ini, Elena bukan lagi wanita naif yang mudah dipermainkan. Ia bertekad membalikkan keadaan, mengungkap pengkhianat di sekitarnya, dan melindungi masa depan yang pernah dirampas darinya.

Namun di balik senyuman manis para bangsawan, intrik yang lebih mematikan menanti. Elena harus berhadapan dengan konspirasi kerajaan, perang kekuasaan, dan rahasia besar yang mengancam rumah tangganya dengan Duke Marvyn Dieter Carwyn pria dingin yang menyimpan luka dan cinta yang tak pernah terucap. Di antara cinta, dendam, dan darah, Elena akan membuktikan bahwa Duchess Carwyn bukan lagi pion melainkan ratu di papan permainannya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KazSil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kecurigaan

Debu masih berputar di udara, membuat pandangan kabur. Suara panik para pekerja bercampur dengan hentakan langkah tergesa.

“Elena!” Mervyn berlutut di sisinya, tangannya langsung meraih bahu istrinya. Sorot matanya tajam, penuh kecemasan yang jarang sekali ia tunjukkan di depan siapa pun.

Elena meringis, jemarinya menggenggam erat lengan yang terasa nyeri. “Aku… tidak apa-apa,” ucapnya dengan suara lemah, meski jelas terlihat ia berusaha menahan sakit.

“Diam.” Suara Mervyn terdengar dingin, tapi bergetar samar, seperti ada amarah yang ditahan. “Jangan paksa bicara.” Ia menoleh cepat pada Rowen. “Panggil tabib. Sekarang juga!”

Rowen mengangguk dan segera berlari.

Myra buru-buru mendekat, wajahnya pucat pasi. “Duchess!” Ia berjongkok, ingin menyentuh Elena, namun terhenti ketika melihat tatapan Mervyn gelap, menahan murka.

Sementara itu, beberapa pekerja yang tadi nyaris tertimpa ikut berkerumun, wajah mereka penuh rasa bersalah. “Kami… kami tidak tahu kenapa balok bisa patah, Tuan… itu seharusnya tidak mungkin…” salah seorang berusaha menjelaskan, suaranya gemetar.

Mervyn menoleh perlahan. Tatapannya menusuk, membuat semua yang ada di sana menunduk ketakutan. “Tidak mungkin?” suaranya rendah, berbahaya. “Atau ada yang membuatnya menjadi mungkin?”

Elena mengangkat tangannya dengan susah payah, jemarinya menyentuh lengan Mervyn. “Aku… tidak apa-apa,” bisiknya pelan, meski jelas nada suaranya bergetar menahan sakit.

Tatapannya lalu beralih pada Myra, yang berdiri tak jauh dengan wajah pucat pasi dan tubuh bergetar hebat. “Myra!” panggilan Elena terdengar tegas, meski lirih, seolah menyadarkannya dari keterkejutan.

Mata Myra melebar, napasnya tersengal. Namun dalam sekejap, ia menangkap isyarat yang Elena sampaikan lewat sorot matanya. Seakan tersentak dari keterpakuan, tubuhnya kembali tegak, gemetar itu mereda.

Dengan cepat ia menunduk hormat, lalu berbalik menuju pintu gudang. Langkahnya ringan tapi sigap, jelas bahwa ia kini mengerti tugasnya bukan hanya berada di sisi Elena, melainkan juga mengawasi situasi di luar.

Debu masih menggantung di udara, membuat cahaya matahari yang menembus jendela gudang terlihat samar. Suara langkah tergesa dan bisikan panik memenuhi ruangan. Mervyn tetap berlutut di sisi Elena, seolah enggan beranjak bahkan sejengkal pun.

Tak lama kemudian, Rowen kembali bersama seorang tabib tua berambut perak. Napas Rowen terengah, jelas ia berlari secepat mungkin untuk memenuhi perintah. “Tuan, saya sudah membawanya.”

Tabib itu segera mendekat, menunduk hormat singkat pada Mervyn lalu berlutut di samping Elena. Tangannya cekatan membuka tas kecil berisi ramuan dan perban. “Izinkan saya memeriksa, Yang Mulia.”

Mervyn menggeser sedikit tubuhnya, tapi tatapannya tetap terpaku pada Elena, penuh kecemasan yang sulit disembunyikan. “Lakukan cepat. Ia kesakitan.”

Tabib mengangguk. Dengan lembut, ia menyentuh lengan Elena yang terkilir. Elena meringis, tubuhnya menegang menahan sakit. “Jangan tegang, Duchess,” ujar tabib pelan, suaranya menenangkan. “Saya hanya akan memeriksa tulang dan ototnya.”

Elena mengangguk lemah, bibirnya menipis menahan rasa nyeri ketika tabib meraba perlahan sepanjang lengannya.

“Tidak ada patah,” gumam tabib setelah beberapa saat, “hanya terkilir cukup parah dan sedikit memar. Jika segera diobati, tidak akan meninggalkan dampak serius.”

Mervyn menarik napas dalam, sedikit lega, meski sorot matanya masih gelap. Ia menatap Rowen yang berdiri tegang di dekat mereka. “Pastikan tidak ada yang masuk ke gudang ini tanpa izin. Siapa pun yang bertanggung jawab atas kelalaian ini… aku akan menemukannya.”

Rowen menunduk dalam-dalam. “Ya, Tuan.”

Tabib kemudian mengambil ramuan cair dari botol kecil dan mengoleskannya perlahan pada lengan Elena. Aroma herbal menyengat tercium di udara. “Saya akan membalutnya untuk sementara. Beliau harus beristirahat, jangan gunakan lengan ini terlalu banyak.”

Mervyn kembali berlutut lebih dekat, matanya menelusuri wajah Elena. “Dengar itu. Kau harus beristirahat.” Nadanya rendah, namun mengandung perintah tak terbantahkan.

Elena menatapnya sebentar, lalu mengalihkan pandang ke tabib. “Terima kasih…” bisiknya, meski matanya sempat menangkap ketegangan di rahang Mervyn yang jelas menahan sesuatu lebih dari sekadar kekhawatiran.

....

Di luar gudang, Myra berdiri dengan dada naik-turun menahan detak jantung yang masih berpacu cepat. Udara sore membawa aroma debu dan kayu, namun ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang. Tatapannya menyapu sekeliling halaman, mencari hal yang tidak beres.

Saat itu ia melihatnya sebuah bayangan bergerak cepat di balik tumpukan karung gandum di sudut halaman. Terlalu cepat untuk seorang pekerja biasa, terlalu sigap untuk hanya kebetulan. Myra menajamkan pandangan, namun bayangan itu lenyap begitu saja.

Ia melangkah hati-hati, mendekat ke arah karung. Tidak ada siapa pun di sana. Hanya jejak sepatu tipis di tanah berdebu, mengarah ke pagar belakang gudang. Jantung Myra berdentum. Itu bukan jejak pekerja yang biasanya menggunakan sepatu bot tebal. Seseorang telah masuk. Seseorang yang tidak seharusnya berada di sana.

Sebuah firasat buruk menusuk dadanya. Ia segera berbalik, hendak kembali ke gudang.

Di dalam, tabib telah selesai membalut lengan Elena. Mervyn berdiri, tubuhnya menjulang, sorot mata tajam menatap istrinya. “Kita kembali ke Duchy. Kau butuh istirahat. Aku tidak akan ambil risiko lagi.”

Elena mengangkat wajah, pucat tapi matanya bersinar tegas. “Tidak, Mervyn. Aku tidak akan kembali hanya karena ini. Masih ada yang harus kita selesaikan.”

Mervyn mendengus pelan, suaranya seperti baja yang ditekan kuat. “Kau nyaris tertimpa balok. Itu bukan sesuatu yang bisa diabaikan. Aku tidak akan biarkan kau membahayakan dirimu lagi.”

“Tapi jika aku mundur sekarang, mereka akan menganggapku lemah,” jawab Elena lirih.

Untuk beberapa detik, keheningan menekan. Rahang Mervyn mengeras, sorot matanya berkilat marah sekaligus putus asa. Ia jarang, bahkan hampir tak pernah, menghadapi perlawanan seteguh ini dari Elena.

Akhirnya ia menarik napas panjang, menunduk sedikit hingga wajahnya sejajar dengan istrinya. Suaranya turun menjadi bisikan penuh tekad. “Baik. Kita lanjutkan perjalanan. Tapi dengan satu syarat kau tidak turun dari kereta. Kau duduk diam di dalam. Kau mengerti?”

Elena sempat ingin membantah, tapi tatapan Mervyn tak memberinya ruang. Ia akhirnya mengangguk perlahan. “Baik. Aku akan tetap di dalam.”

Mervyn tak puas, tapi setidaknya itu kompromi yang bisa diterima. Ia memberi aba-aba pada Rowen untuk menyiapkan kereta.

Perjalanan kembali dimulai dengan meninggalkan beberaoa kesatria untuk menyelidiki. Roda kereta berderit di jalan berbatu, sementara di luar, suara kuda berderap mantap. Elena duduk bersandar, wajahnya pucat namun matanya awas menatap keluar jendela kecil.

Mervyn hanya diam, tapi tatapannya jelas memperhatikan setiap gerak-gerik Elena. Sorot matanya dalam, seolah membaca lebih jauh dari apa yang istrinya ucapkan.

Kereta kuda akhirnya sampai di tujuan berikutnya. Sesuai syarat yang telah ditetapkan Mervyn, Elena tetap berdiam di dalam, ditemani Myra, sementara para kesatria berjaga ketat di luar.

Sebelum turun, Mervyn menoleh sekilas ke arah Myra. Isyarat singkat, namun tegas, melintas lewat sorot matanya jangan lengah... lindungi Elena.

“Kalau begitu, aku pergi dulu.” Suaranya rendah tapi berat. Ia menatap Elena sejenak, tatapan yang terlalu sulit ditebak maknanya, sebelum akhirnya berbalik dan melangkah pergi.

Keheningan menyelimuti kereta. Di dalam hanya ada Elena dan Myra, sementara suara derap langkah para kesatria di luar terdengar samar.

Myra duduk berhadapan dengan Elena, tampak gelisah. Jemarinya meremas gaun pelayannya hingga kusut. Akhirnya, ia memberanikan diri angkat bicara. “Yang Mulia…” suaranya hampir berbisik, “ada sesuatu yang ingin saya sampaikan.”

Elena mengangkat alis, menoleh penuh perhatian. “Apa itu, Myra?”

Myra menelan ludah, matanya bergetar. “Di luar gudang tadi… saya melihat seseorang. Ia bersembunyi di balik karung. Bukan pekerja, karena jejak kakinya ringan… berbeda. Gerakannya cepat, seperti sedang mengawasi. Dan ketika saya mendekat… dia menghilang begitu saja.”

Hening. Hanya bunyi roda kereta yang berderit pelan di luar. Elena terdiam, pikirannya berputar cepat. Bayangan kecurigaan yang sejak tadi berputar di kepalanya semakin menebal.

“Kau yakin?” tanyanya perlahan, nadanya menekan.

Myra mengangguk, wajahnya pucat. “Saya tidak salah lihat. Dan…” ia menunduk, suara melemah, “…saya rasa, kecelakaan tadi… bukan kebetulan.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!