Menjadi istri tapi sama sekali tak di anggap? Bahkan dijual untuk mempermudah karir suaminya? Awalnya Aiza berusaha patuh, namun ketidakadilan yang ia dapatkan dari suaminya—Bachtiar membuat Aiza memutuskan kabur dari pernikahannya. Tapi sepertinya hal itu tidak mudah, Bachtiar tak semudah itu melepaskannya. Bachtiar seperti sosok yang berbeda. Perawakan lembut, santun, manis, serta penuh kasih sayang yang dulu terpancar dari wajahnya, mendadak berubah penuh kebencian. Aiza tak mengerti, namun yang pasti sikap Bachtiar membuat Aiza menyerah.
Akankah Aiza bisa lepas dari pernikahannya. Atau malah sebaliknya? Ada rahasia apa sebenarnya sehingga membuat sikap Bachtiar mendadak berubah? Penasaran? Yuk ikuti kisah selengkapnya hanya di NovelToon!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter —24
“T-Tolong… lepas…” bisik Aiza dengan suara yang nyaris tak terdengar. Napasnya tercekat, suaranya mengiba. Namun wanita yang memapahnya justru mengeratkan genggaman, menyeret Aiza semakin dekat ke pintu kamar bertanda 201 — ruangan yang telah disebut Bachtiar, tempat di mana ‘orang itu’ menunggunya.
Separuh sadar, separuh lumpuh. Tapi Aiza masih cukup waras untuk menyadari satu hal: dirinya bukan lagi hanya penari di klub terkutuk ini, melainkan telah menjadi barang dagangan. Dijual. Dilelang. Dikirim sebagai hadiah ke kamar lelaki hidung belang yang tak dikenalnya.
Dengan sisa tenaga, Aiza menggigit pergelangan tangan wanita yang menggenggamnya. Kuat, penuh amarah.
“Akh! Kurang ajar!” maki si wanita — Angela — sambil menampar Aiza dan menarik rambut panjangnya hingga kepala Aiza terhentak ke belakang. Tanpa belas kasihan, Angela menyeret tubuh lemah Aiza dan melemparkannya ke lantai kamar.
Tubuh Aiza jatuh keras, lututnya menghantam ubin dingin. “Buuggghh!” Suara itu menusuk telinga, menyakitkan bahkan hanya untuk didengar.
Angela berdiri, menatap pria paruh baya bertubuh besar yang duduk menunggu di ranjang. “Silakan. Saya jamin dia masih ketat. Lihat sendiri saja. Saya yakin, Anda akan ketagihan dan ingin memesannya lagi.”
Pria itu mengangguk pendek. Matanya menyisir tubuh Aiza dengan tatapan yang kotor — haus, liar, penuh niat menjajah. Tatapan seorang pemburu yang baru saja diberi daging segar.
“Kau sudah selesai bicara?” katanya pada Angela. “Keluar. Aku tidak sabar menebus kesenanganku.”
Angela tersenyum sinis. Ia pun pergi — menuju Bachtiar yang menunggunya di lorong.
“Tuan Bachtiar,” panggilnya manja. Bachtiar menoleh, lalu tersenyum samar.
“Bagaimana, Angel?”
“Beres. Mantan istri Anda sekarang sudah di tangan pelanggan. Mungkin sedang menikmati permainannya,” jawab Angela.
Bachtiar mengangguk, lalu menarik amplop dari saku jasnya. Bonus malam ini — upah kotor untuk kerja kotor.
“Senang bekerja sama denganmu, Angel.”
Angela menghilang di balik lorong. Sementara senyum di wajah Bachtiar perlahan memudar, berubah menjadi guratan gelisah.
‘Apa yang telah kulakukan ini… sudah benar?’
Namun detik berikutnya, ia menepis keraguan itu sendiri.
‘Tidak. Aiza pantas mendapatkan ini. Dia sudah tidur dengan dua lelaki Jepang itu. Dia bukan gadis polos. Dia pembohong.’
Hatinya berdarah, tapi ia tutupi dengan ego dan dendam. Bachtiar tahu, malam ini akan jadi malam terakhir. Setelah ini, ia akan melepas Aiza. Tidak akan mencarinya. Tidak akan menoleh lagi.
---
Sementara itu di dalam kamar 201...
“T-tolong… jangan… jangan lakukan ini…” suara Aiza serak. Air mata membanjiri wajahnya. Ia meronta, mencoba menjauh dari pria itu, namun kakinya lemas, tubuhnya tak bisa diajak kompromi.
Pria paruh baya itu mencibir. “Aku sudah bayar mahal. Mana bisa aku sia-siakan malamku hanya karena rengekanmu?”
Ia mendekat, duduk di hadapan Aiza, seperti singa tua yang hendak menerkam mangsanya.
“Aku takkan kasar. Aku akan lembut. Kau akan menikmatinya. Dan setelah ini, kau akan minta lagi, percaya padaku,” ucapnya sembari menurunkan resleting celananya.
Aiza panik. Ia merangkak mundur, tapi tak ada tempat untuk lari. Ia menjerit tanpa suara. Tangannya diikat dengan ikat pinggang si pria. Mulutnya disumpal dengan kaos kaki yang baru dilepasnya. Bau asam dan keringat membuat Aiza nyaris muntah. Tapi lebih dari itu, ia ingin mati.
Sraak.
Bagian atas tubuhnya disobek paksa. Kulitnya tersibak, membuat pria itu terkesiap. Jemarinya menyentuh dengan paksa, tanpa izin, meremas, menjelajah. Aiza hanya bisa menangis. Terisak dalam diam. Ketakutan dan kehinaan menggulung dirinya dalam putaran pekat.
“Seperti masih gadis…” gumam si pria, seolah sedang menilai barang koleksi langka.
Aiza tak sanggup melawan. Tapi dalam batinnya, ia berteriak.
Tuhan, jangan biarkan aku hancur seperti ini… tolong siapa pun… siapa pun! Selamatkan aku! Aku tak pantas dinodai oleh lelaki ini!
Namun doa itu seolah lenyap, tenggelam dalam dentuman musik yang masih menggelegar di luar kamar. Tempat ini adalah surga bagi para pendosa. Tak ada tempat untuk suara minta tolong. Tak ada telinga yang peduli. Semua sibuk mengejar pelampiasan masing-masing.
Pria itu membuka bajunya. Perut buncitnya terekspose, dan benda yang tergantung di bawahnya berdiri tegang — siap untuk merobek seluruh batas yang Aiza coba pertahankan.
“Waktunya kita bersenang-senang, Sayang…”
Aiza menjerit dalam hati. Air matanya tak berhenti mengalir. Matanya membelalak, memohon, menolak. Namun tubuhnya tetap terikat, tertahan, tidak berdaya.
—Bersambung.