Sebuah kecelakaan beruntun merenggut nyawa Erna dan membuat Dimas terbaring lemah di ruang ICU. Di detik-detik terakhir hidupnya, Dimas hanya sempat berpesan: "Tolong jaga putri saya..." Reza Naradipta, yang dihantui rasa bersalah karena terlibat dalam tragedi itu, bertekad menebus dosanya dengan cara yang tak terduga-menjodohkan Tessa, putri semata wayang Dimas, dengan putra sulungnya, Rajata. Namun Rajata menolak. Hatinya sudah dimiliki Liora, perempuan yang ia cintai sepenuh jiwa. Tapi ketika penyakit jantung Reza kambuh akibat penolakannya, Rajata tak punya pilihan selain menyerah pada perjodohan itu. Tessa pun terperangkap dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Ia hanya ingin hidup tenang, tanpa harus menjadi beban orang lain. Namun takdir justru menjerat mereka dalam ikatan yang penuh luka. Bisakah Tesha bertahan di antara dinginnya penolakan? Dan mungkinkah kebencian perlahan berubah menjadi cinta?
Sebatas Rasa Tanggung Jawab?
Malam itu, jam nyaris menunjuk ke pukul sebelas. Herman duduk di teras rumah, menyeruput kopi hitam yang sudah mulai dingin. Udara malam terasa lembab, tapi pikirannya lebih ramai dari biasanya.
Bayangan wajah Tessa terus saja mengganggunya sejak semalam. Senyumnya, bentuk matanya sedikit sipit, hidungnya mancung, tegas, dan bibirnya... ya, bibir itu menyerupai bentuk hati, persis seperti yang pernah dikenalnya
"Mirip saha nya budak eta teh?" gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.
Ia memejamkan mata, mencoba mengais-ngais memori yang tersisa. Ada rasa tak tenang di dadanya, seperti ada potongan teka-teki yang hilang dan tak kunjung ditemukan.
"Ayah?"
Suara Putri memecah keheningan malam.
Tadinya ia hendak ke dapur untuk mengambil air minum, tapi langkahnya terhenti saat melihat pintu depan terbuka. Mengira ibunya lupa menutup, ia pun mendekat. Namun pandangannya justru tertumbuk pada sosok ayahnya yang duduk diam di teras, menatap kosong ke halaman yang gelap.
"Ayah ngapain di sini?" tanyanya sambil berjalan mendekat.
"Kalau ngantuk mah, bobo di kamar atuh. Ini malah merem di luar..."
Putri menarik kursi dan duduk di sebelah Herman. Raut wajahnya mencampur rasa penasaran dan sedikit khawatir.
"Teu bisa bobo, Put..."
Suara Herman terdengar pelan, nyaris tertelan angin malam.
"Mungkin karena besok kamu udah balik ke Jakarta."
Putri menggenggam tangan ayahnya. Hangat dan penuh kasih.
"Putri janji bakal sering pulang, Yah."
Herman menghela napas panjang, matanya menerawang ke halaman yang mulai diselimuti embun.
"Di Jakarta kamu punya temen banyak, Put?"
"Nggak banyak, Yah. Cuma empat orang aja yang deket banget. Termasuk yang kemarin ketemu di pasar itu."
Herman menoleh, merasa tertarik.
"Kasian tau dia, Yah..." lanjut Putri tiba-tiba.
Herman mengangkat alis, lalu memancing lebih jauh.
"Kasian kunaon, atuh?"
"Orang tuanya udah meninggal, Yah. Kecelakaan... Baru sebulan yang lalu."
Putri menunduk, suaranya melambat.
"Kecelakaannya katanya parah banget. Sekarang dia tinggal sama om nya di Jakarta..."
Deg.
Herman membeku. Jantungnya seolah berhenti berdetak sejenak.
"Jangan-jangan bener ieu budak téh anakna si Dimas? Parasna... mirip pisan." Batin Herman panik
Sejak tadi malam, nama itu memang terus berputar di kepalanya. Dimas.
Dan wajah anak itu... bentuk mata, senyumannya—mirip. Terlalu mirip. Tapi Herman terus berusaha menyangkal.
"Ayahh..."
Suara Putri memecah lamunan.
"Ngalamun wae, Yah," tegurnya sambil mencubit lengan ayahnya pelan.
"Eh iya..." Herman tersenyum canggung.
"Ayah mah cuma ngerasa kasian aja."
"Yaudah, Put... hayu, masuk ke dalam. Udara makin dingin disini" ajak Herman sambil berdiri dan menepuk pundak anaknya.
Biarlah besok ia bicara dengan Widya soal ini. Setidaknya... malam ini, hatinya sudah sesikit lebih tenang, tinggal mencari bukti saja benar tidak anak itu anaknya si Dimas.
**
Di sisi Bandung yang lain, dua mobil melaju beriringan. Rajata berada tepat di belakang mobil Reza. Suasana di dalam mobilnya cukup hening, hanya alunan musik pelan yang menemani perjalanan malam itu.
Tessa menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, memandangi jalanan yang gelap dari balik kaca jendela. Udara malam membawa sunyi yang anehnya terasa menenangkan.
"Lo kalau ngantuk, tidur aja. Jangan dipaksa," Suara berat Rajata memecah keheningan.
Tessa menoleh pelan, menatap wajah laki-laki di balik kemudi itu. Ia tahu, Rajata pasti lelah. Bukan cuma karena perjalanan hari ini, tapi juga karena drama yang muncul tiba-tiba di acara keluarga.
"Rajata..."
"Hmm?" sahut Rajata, masih fokus menatap jalan.
"Soal tadi... makasih ya. Udah belain gue," ucap Tessa pelan.
"Dan... sorry juga, jadi bikin acara keluarga lo berantakan."
Rajata menoleh sekilas, ekspresinya datar tapi lembut, lalu kembali menatap ke depan.
"Bukan salah lo. Lagian udah sewajarnya, kan... suami belain istri?"
Tessa terdiam. Jantungnya berdetak agak cepat. Kalimat itu—meski terdengar sederhana, mengingatkannya pada kata-kata Rajata sore tadi:
"Suka atau nggak suka, Tessa tetap istri saya. Dan itu nggak akan pernah berubah."
Pipinya merona. Refleks, Tessa menutupi pipinya dengan tangan. Tak ingin Rajata tahu, pipinya memerah karena malu.
"Lo itu tanggung jawab gue, Tess."
Suara Rajata terdengar mantap di antara dengungan mesin mobil yang melaju.
"Gue udah janji di atas makam ayah lo. Gue bakal jaga lo sampai kapan pun."
Tessa menoleh pelan, menatap Rajata dengan sorot yang sendu. Kalimat itu... terdengar tulus. Tapi entah kenapa, ada bagian dari hatinya yang menolak.
Bukan karena ia tak menghargai ketulusan Rajata. Tapi karena...
Hanya sebatas tanggung jawab? Bukan rasa?
Tessa menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak yang tiba-tiba menyeruak. Ada pertanyaan yang mengendap, tak terucap, tapi menghantui pikirannya:
"Kalau suatu hari gue jatuh cinta sama dia... apa dia tetap akan berdiri di samping gue hanya karena rasa tanggung jawab?" Batinnya:
Bukan karena dia punya rasa yang sama... tapi karena dia merasa harus?
Tessa memalingkan wajah, kembali menatap keluar jendela. Tapi bayangan Rajata dan kalimatnya tadi tetap tertinggal di kepalanya—mengganggu, menusuk, membuat dadanya sesak pelan-pelan.
Tepat pukul empat pagi, mobil Rajata akhirnya tiba di pekarangan rumah mereka di Jakarta. Suasana masih gelap, hanya lampu teras yang menyala redup menyambut kepulangan mereka. Jalanan sudah mulai sepi, menyisakan dingin khas dini hari di ibu kota.
Sementara itu, Reza yang sempat ikut rombongan memilih untuk mencari penginapan terdekat karena merasa terlalu ngantuk untuk lanjut berkendara. Ia izin singkat lewat pesan dan akan menyusul siangnya.
Rajata mematikan mesin mobil dan menoleh ke samping. Tessa masih tertidur pulas di kursinya. Nafasnya naik turun perlahan, wajahnya tampak damai di balik siluet gelap kabin.
Ia menghela napas pelan. Tak tega membangunkannya, Rajata turun lebih dulu dan berjalan ke belakang untuk membuka bagasi. Ia mengangkat dua koper besar mereka dan beberapa tas kecil, lalu menutup pintu bagasi perlahan agar tak menimbulkan suara.
Namun suara klik dari pintu mobil yang ditutup cukup membuat Tessa terbangun. Matanya mengerjap pelan, mencoba memahami di mana dirinya sekarang.
Perlahan ia mengusap wajahnya, lalu bergumam pelan, “Udah nyampe ternyata…”
Ia melirik ke arah Rajata yang sedang berada di belakang mobil, sibuk mengangkat koper mereka. Ia pun membuka pintu mobil dan turun, membiarkan udara Jakarta yang masih lembab menyambutnya kembali.
"Baru mau gue tinggalin lo, kalau nggak bangun," celetuk Rajata sambil melirik sekilas.
Tessa berdecak pelan, lalu menjawab enteng, "Berarti Allah masih sayang sama gue, makanya gue dibangunin."
Ia kemudian melangkah masuk lebih dulu, membiarkan Rajata menyusul di belakangnya.
Rajata tersenyum tipis, lalu mengikuti dengan langkah tenang.
Begitu sampai di kamar, Tessa tanpa pikir panjang langsung berjalan ke arah sofa—tempat yang selama sebulan terakhir menjadi tempat tidurnya. Tapi saat ia hendak menjatuhkan tubuh, suara Rajata membuatnya terhenti dan menoleh pelan.
"Tess..."
Rajata yang baru saja menutup pintu kamar, berjalan pelan lalu duduk di tepi ranjang—tepat di depan Tessa yang masih berdiri mematung di sisi sofa. suaranya agak ragu.
"Mulai sekarang—lo tidur di ranjang, ya."
Tessa menatap Rajata, keningnya mengernyit.
"Maksud lo, kita tukeran? Lo yang di sofa, gue yang di ranjang?"
Rajata menggeleng pelan, matanya tak lepas dari Tessa.
"Bukan, maksud gue, kita—seranjang."
Suasana hening sejenak. Tessa terpaku, seolah butuh waktu untuk mencerna maksud kalimat itu.
Waduh mulai seranjang nih 😳🔥
Tessa bingung... Rajata serius nggak sih? Ini karena ada rasa atau cuma karena tanggung jawab doang?
Temenin perjalanan mereka sampai akhir yaaa!
💬 Jangan lupa like & komen yang banyak biar aku makin semangat bikin mereka happy ending 💖
BONUS SENYUM RAJATA KASTARA HARUS LIKE DAN KOMEN YANG BANYAK POKOKNYA! Xixi
jangan2...
kasihan, malang benar nasibmu Tessa