Asila Ayu Tahara. Perempuan yang tiba-tiba dituduh membunuh keluarganya, kata penyidik ini adalah perbuatan dendam ia sendiri karna sering di kucilkan oleh keluarganya . Apa benar? Ikut Hara mencari tahu siapa sih yang bunuh keluarga nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jonjuwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Restu
Hakim mengusak rambutnya frustasi, ia berteriak dalam ruangan yang ada Hara, Kala dan Alves disana. Tak bisa mengutarakan emosinya dengan kata-kata umpatan atau bahasa kasar lainnya, energinya benar-benar sudah habis hari ini karna mencari Dewi yang kabur entah kemana.
"Keluarin surat buronan, kasih tau ke seluruh stasiun TV di kota ini." ucap Hakim yang kini sudah pergi dengan menggenggam Hara
Hara yang ditarik paksa oleh Hakim meringis perih tatkala lengan itu ditarik dengan kencang,
"Ah, Kak! Sakit." Hara menghempaskan lengan Hakim dengan kasar
"Jawab saya, kamu ada hubungan sama kejadian ini?"
Hara menggeleng
"Jujur, Hara!"
"Gak ada Kak! Aku gak tau menahu soal ini!"
Hakim membuang wajahnya sembari menghembuskan nafas kasarnya.
"Kamu ikut saya pulang."
Hara memang belum tahu tentang obrolan Hakim dan Ayah nya kala itu, setelah obrolan itu Hakim sama sekali belum pulang dan kali ini pikirannya kalut ia ingin menenangkan diri meski sebentar di rumahnya.
Hakim ingat sangat tentang Ayahnya yang meminta ia pulang tanpa membawa Hara, namun ia tak mengindahkan perintah tersebut ia akan pulang dengan membawa Hara.
Hakim berjalan di ikuti dengan Hara di belakangnya melewati Kala dan Alves yang terus menerus memanggil namanya, Hara duduk di samping kursi kemudi menatap Hakim yang sangat kacau kali ini.
"Ibu tau gak kalo aku bakal ikut Kakak?"
Hakim mengangguk sambil memasang sabuk pengamannya dan menjalankan mobil tersebut.
"Iya Kak?"
Hara mengangkat teleponnya yang dari tadi berdering
"Si hakim mau kemana dah? Kantor lagi kacau tapi malah kabur."
Kala menelpon Hara dengan nada marah-marah nya
"Iya Kak, maaf ya. Sebentar aja kok, nanti Kak Hakim langsung ke kantor lagi."
"Bilangin handphonenya jangan di jauhin, takut gue butuh harus nelpon dia kan gue repot nantinya"
"Iya, iya Kak."
Hara mematikan teleponnya lalu kembali menatap Hakim yang sama sekali tak peduli pergerakannya.
Perjalanan mereka telah usai Hakim menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang rumah yang sudah terbuka, ia turun di ikuti Hara yang juga turun dari mobil.
Hakim sempat memandang Hara dari sampingnya lalu meraih lengan kecil itu untuk di genggam dengan lembut, Hara tak pernah keberatan soal itu sebab ia juga merasakan hal yang hangat dalam genggaman itu.
"Ayah, Ibu." panggil Hakim saat sudah tiba di dalam rumah
Ibu dan Ayah keluar dari ruang makan bersama dengan raut wajah Ibu yang begitu sumringah dan raut Ayah yang sedikit acuh Hara rasa.
"Ya ampun anak Ibu, sehat Nak?" Ibu langsung merengkuh tubuh Hara sesaat melihat gadis itu juga tersenyum ke arahnya
Hara mengangguk sebagai jawaban, kini ia mengurai pelukan wanita tua dihadapannya. Oh, namun ada yang aneh kali ini.
Ayah Hakim tak merengkuhnya juga, kenapa?
Tumben sekali?
Namun tak menghiraukan masalah itu Hara langsung dituntun oleh Ibu Hakim menuju meja makan yang rupanya sudah ada Adik Hakim disana.
"Eh, Kak Hara." sapa Erlang sambil terus menyuapkan makanannya
Mereka duduk bersama menyantap masakan Ibu Hakim yang kini menjadi makanan favorit Hara. Hening tak ada obrolan atau canda tawa seperti sebelumnya, Hara memaklumi mungkin mereka masih kalut akan kasus Dewi saat ini terlebih orang tua Hakim pasti sudah tahu kabar soal Dewi yang melarikan diri.
"Temen Hara yang kabur itu gimana, Kim?
Ayah Hakim memulai obrolannya setelah membereskan piring kosong bekas makannya.
"Belum ketemu, Yah."
"Apa Hara tidak ada sangkut pautnya?" tanya Ayah Hakim yang kali ini menatap Hara
Makanan yang tengah Hara kunyah dan berusaha ia telan itu mengapa tiba-tiba sangat keras, ia seolah butuh tenaga lebih untuk menelannya. Ia menoleh ke arah Hakim yang tepat di sebelahnya.
"Gak ada sangkut pautnya sama Hara, Yah." Hakim menjawab
"Kan siapa tau."
Hakim menaruh sendok dan garpunya dengan sedikit keras hingga menciptakan bunyi nyaring dari piring dibawahnya menghela nafas kasar dan mengalihkan pandangannya, bersikap seolah muak dengan obrolan mereka barusan.
"Ayah mau bicara."
Ayah Hakim beranjak dari kursi dan berjalan menuju pintu yang menghubungkan dapur ke taman belakang rumahnya.
Hakim beranjak namun telapak tangan kecil mendarat di pahanya, membuat Hakim menoleh kepada Hara
"Makan nya abisin dulu Kak."
"Iya Nak, makan kamu abisin dulu baru samperin Ayah."
Hakim menjatuhkan lagi bokongnya di kursi dan menyantap kembali makanan nya yang sisa beberapa suap lagi.
Setelahnya benar saja Hakim menghampiri Ayah yang sudah terduduk di gazebo kecil sambil menatap pemandangan malam di hadapannya.
"Kamu gak denger Ayah?"
Hakim memijat pelipisnya sembari membuang nafas kasar sesaat setelah pertanyaan itu di layangkan.
"Yah, kali ini Hara bener-bener gak terlibat."
"Kamu yakin?" suara Ayah Hakim terdengar mendecih
"Pas kejadian itu Hara sama Hakim lagi diruangan Hakim kok, ada Kala sama Alves juga."
"Kita gak tau Hakim, apa yang akan terjadi suatu saat kalo kamu kekeuh mau sama Hara."
"Bisa jadi otak psikopat juga udah menjalar di akar pikirannya sekarang. Apalagi, Ayah yakin setelah ini orang tua Dewi gak mungkin membiarkan Hara melanjutkan hidup begitu saja. Siapa yang diam saja terhadap orang yang menjebloskan anaknya ke penjara." lanjut sang Ayah
"Makanya Hakim bawa Hara kesini Yah, biar dia ada yang jaga dan Ayah Ibu bisa lebih mengenal Hara lebih jauh supaya gak ada judge kaya gini lagi dari Ayah."
Ayah nya kini berbalik memandang Hakim dengan raut kecewa.
"Sudah lah Hakim, kita sudahi saja hubungan kedekatan kita dengan Hara."
"Apa Ayah ini. Hara bukan orang jahat Yah, dia anak baik-baik."
"Ayah gak mau keluarga kita ketimpangan kasus seperti yang sudah-sudah."
"Tapi ini bukan Hara pelaku nya Yah, dia juga korban."
"Ayah juga gamau keluarga Ayah jadi korbannya."
"Yah, Hara butuh aku, butuh kita."
"Ayah lebih butuh kamu Hakim, ketimbang anak orang lain. Ayah lebih butuh anak Ayah sendiri."
"Tolong beri penjelasan kepada Hara, untuk sudahi kedekatan kalian. Dan hidup seperti orang asing kaya dulu sebelum kalian kenal."
"Nggak! Hakim gak mau!" Intonasi Hakim sudah mulai meninggi
"Hakim!?"
"Yah, dia udah gak punya siapa-siapa lagi sekarang."
"Ayah gak peduli itu, Hakim."
Ayah nya berlalu begitu saja meninggalkan Hakim yang masih penuh dengan opini dirinya sendiri.
Tanpa disadari kedua lelaki itu Hara sudah menguping sejak tadi, rupanya ini adalah alasan dibalik raut acuh Ayah Hakim saat ia datang tadi.
Ia menyadari kehadirannya memang sungguh pembawa kesialan dalam hidup siapapun, menelan mentah-mentah hinaan yang selalu bertengger di pendengarannya, menelan pahitnya cibiran dari manusia satu ke manusia lainnya.
Ini sudah kelewat biasa baginya, namun tetap saja Hara hanyalah seorang manusia yang punya kelemahan, dan kesialan.
Hara berbalik hendak pergi, entah akan kemana namun dalam benaknya ia ingin pergi dan tak mau menemui Ibu atau Ayah Hakim terlebih dahulu, wajahnya sudah kepalang malu untuk menatap kedua wajah tua itu.
Ia berlari ke arah mobil Hakim yang masih terparkir diluar, dan bersembunyi dibalik rangkaian baja mewah itu lalu meraih ponsel yang ada di saku celananya.
"Dewi ... Hikss, hikss ... " lirih nya saat telepon itu tersambung
Menelpon si psikopat yang di katakan oleh Ayah Hakim tadi, tapi siapa sangka si psiko yang di pandang jijik oleh keluarga Hakim tadi ialah manusia yang selalu ada untuk Hara.
"Je-jemput ... Di rumah Kak Hakim" isak nya.
Telepon itu terputus, ia berjalan ke arah yang sekiranya tak akan mudah di temui oleh Hakim atau keluarganya. Namun ia terus terjaga menunggu malaikatnya menyelamat diri nya yang malang malam ini.