Disarankan membaca Harumi dan After office terlebih dahulu, agar paham alur dan tokoh cerita.
Buket bunga yang tak sengaja Ari tangkap di pernikahan Mia, dia berikan begitu saja pada perempuan ber-dress batik tak jauh darinya. Hal kecil itu tak menyangka akan berpengaruh pada hidupnya tiga tahun kemudian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hermawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa Bedanya?
Sandi butuh sekali lagi nasihat yang akan menguatkannya, agar segera menjauh dari Ari. Untuk itulah, sore ini dia meminta izin tidak lembur. Dan berjanji akan datang pagi-pagi sekali keesokan harinya.
Dengan menaiki transportasi umum dan menyambung dengan ojek daring, Sandi baru tiba di rumah Mia menjelang Isya. Cukup macet, karena perjalanan dari kantor memakan waktu hampir dua jam lamanya.
"Aku pikir kamu cuma iseng, mau main kesini." Ujar Mia, begitu bertemu dengan tamunya.
"Mbak, Shalat dulu ya! Udah mau abis magrib nya."
"Udah mau Isya, Sandi." Walau begitu, Mia mempersilahkannya menuju musola yang memang berada tak jauh dari ruang keluarga.
"Biarin telat, dari pada nggak sama sekali." Sahutnya, sembari membuka kaus kakinya.
Mia hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah mantan rekan kerja sekaligus roommate di mess.
"Mbak, Pak Jaka pulang jam berapa kira-kira?" Tanya Sandi sambil menghampiri nyonya rumah, yang sedang menyusui sang putra.
"Mungkin lewat tengah malam, soalnya tadi sama Pak Leon ke Serang." Jawab Mia. "Aku belum ngomong terima kasih soal oleh-oleh, makasih ya! Tau aja kesukaan ku." Sambungnya.
Sandi meminta izin untuk minum terlebih dahulu, sedari tadi dia haus. Isi Tumbler nya habis selama perjalanan. "Itu semua Mas Ari yang beliin."
"Mas Ari?" Gumam Mia. "Kok bisa?" Tanyanya tak percaya.
"Dulu Mbak Mia sering diajak pergi juga sama Mas Ari, kan? Lagian kami tetangga kos, nggak masalah dong!"
"Iya juga sih! Mas Ari emang gitu, sering ngajak jalan dan seneng jajanin. Dia juga sering isiin saldo OV* ku dulu, lumayan buat naik ojek sama pesan makanan." Mia mulai bercerita, termasuk soal pinjaman uang. Ari selalu menawarkan bantuan padanya, terutama soal uang.
"Apa itu khusus ke Mbak Mia aja?" Tanya Sandi, dia duduk di tepi sofa khusus menyusui.
Mia menggeleng, "dulu mas Ari sering banget bantuin Gita buat bayar UKT-nya Angga. Bahkan waktu Gita diusir dari rumahnya, Ari yang cariin dan bayarin kontrakan. Padahal waktu itu mereka masih sama-sama kuliah."
"Royal ya, mbak?" Seperti ada sesuatu yang mendadak menghujam jantung Sandi.
Mia mengangguk setuju. "Kalau yang nggak paham karakternya Mas Ari, bisa-bisa baper loh! Aku aja hampir kena, padahal Mas Ari cuma anggap aku adiknya nggak lebih."
"Termasuk Mbak Gita?" Tanya Sandi dan diiyakan oleh Mia. "Terus bedain kalau Mas Ari ada rasa atau nggak gimana itu?" Ini yang dia tunggu-tunggu. Tujuan utamanya mendatangi Mia adalah ini.
Mia menaikan bahunya, "sejak putus dari mantan calon istrinya. Aku belum pernah dengar Mas Ari pacaran lagi. Dia kayak trauma gitu." Jelasnya. "Kalau soal bedanya, coba kamu tanya ke mantan calon istrinya."
"Emang siapa perempuan itu, mbak?" Padahal Sandi tak berniat mau tau soal sosok perempuan yang membuat Ari patah hati begitu dalam. Tapi jika dia mendapatkan informasi tersebut, justru bagus bukan. Setidaknya itu bisa menjadi acuannya dalam mengetahui perasaan Ari sebenarnya.
"Memangnya Mas Ari belum cerita?" Tanya Mia.
Sandi menggeleng, "apa aku kenal?" Tanyanya dan Mia mengangguk. "Siapa?"
"Istrinya Pak Dimas alias Unge alias Rumi. Itu mantan calon istrinya Mas Ari, yang putusin Mas Ari menjelang pernikahan." Mia juga menceritakan dengan gamblang penyebab putusnya mereka.
Mendengar itu semua, Sandi beberapa kali menutup mulutnya tak percaya. Dimas yang dikenal sebagai sosok CEO ramah dan murah senyum serta royal pada pekerjanya adalah seorang perebut calon istri orang.
Jadi intinya, kebahagiaan yang sekarang dinikmati oleh Dimas dan Rumi. Berdiri di atas derita laki-laki yang tak lain adalah Ari.
Mia juga menceritakan tentang awal hubungan antara Rumi dan Ari, mulai terjalin. Tentu selain dari Ari yang menceritakan sendiri, ada Gita yang juga sahabat sekaligus tetangga kubikel.
"Mbak Rumi emang cantik, mbak! Mungkin wajar kalau Mas Ari susah move on." Kepercayaan diri Sandi, mendadak turun drastis. Terutama soal perasaannya yang sepertinya, mustahil berbalas.
Standar perempuan yang disukai Ari, terlalu tinggi. Lihat saja bagaimana fisik Rumi. Tinggi, dengan bentuk tubuh layaknya gitar Spanyol, belum lagi wajah cantik dan senyumnya.
Jauh sekali dengan dirinya yang hanya memiliki tinggi seratus enam puluh dan wajah yang menurut sebagian orang adalah wajah tak ramah.
Belum apa-apa Sandi sudah merasa tak layak, bersanding dengan Ari. Walau hanya sekedar pacaran pura-pura.
"Kamu suka ya sama mas Ari?" Mia menerka.
"Emang ada cewek yang nggak suka sama Mas Ari?"
"Banyak lah," sahut Mia. "Aku tanya kamu, kamu suka nggak sama mas Ari?"
"Suka lah mbak! Kan orangnya baik."
Mia meletakan putranya di keranjang bayi, bayi berumur sebulan itu telah tertidur lelap. "Suka boleh, tapi jangan ngarep dibalas. Biar kamu nggak patah hati."
Sandi juga menceritakan soal terguran tetangga kamar kos padanya semalam. "Padahal aku kan, cuma jalan-jalan doang. Nggak lagi pacaran." Sandi sengaja menutupi fakta soal kesepakatan simbiosis mutualisme di antara dirinya dan Ari.
"Itu jeleknya Mas Ari, seneng banget bikin cewek salah paham dengan sikap baiknya. Yang kayak gini, bikin cewek-cewek berantem."
Sandi setuju dengan pendapat Mia soal sikap Ari. Belum sempat menyahut ucapan ibu beranak dua itu, ponsel Sandi bergetar. Ari tengah menghubunginya, tapi dia memilih abai. "Menurut Mbak Mia, kalau cowok suka beneran. Sikapnya gimana ya?" Sandi pernah menceritakan alasannya meminta pindah tugas menjauh dari kampung halamannya.
Mia menaikan bahunya. "Nggak paham aku, Sand! Soalnya setau aku ada dua versi."
"Maksudnya?"
Mia mulai menceritakan pengalaman dari orang sekitar, termasuk dua sahabatnya. Anggita dan Andita. Dua-duanya sama-sama digilai laki-laki yang sekarang menjadi suami. Anggita awalnya ditindas oleh Fero, lalu diberikan banyak perhatian. Andita atau Dita yang dibantu dalam menyelesaikan masalah internal keluarganya oleh Niko.
"Terus Mbak Mia sama Pak Jaka, gimana? Ini yang buat aku penasaran, kok bisa si 'kanebo kering' Deket sama mbak Mia."
"Sampai sekarang aku juga bingung, San! Suamiku itu, sering seenaknya. Nyosor Mulu kalau ada kesempatan."
"Nyosor apa itu maksudnya?"
"Elah ... Masa kamu nggak tau,"
"Ya emang aku nggak tau, mbak! Wong pacaran aja baru sekali-kali nya, eh dikhianati sama adik sendiri." Dia tersenyum kecut.
"Cium Sandi, ihhh ... Udah gede masih nggak paham." Mia jadi gemas sendiri, berteman dengan Sandi terkadang harus sabar menghadapi kepolosannya. "Cara pacaran lelaki udah Mateng, kadang menjurus ke arah sana." Mia menggerakkan dua jari tangannya di samping telinga. "Walau nggak semua, tapi sebagian besar ujung-ujungnya nafsu. Beda sama yang masih sama-sama muda, lebih memilih menjalin hubungan tanpa banyak kontak fisik. Tapi kamu jangan ya, San! Kamu harus jaga diri, apalagi kamu sendirian di sini. Jangan mau dikadali sama cowok."
Sandi terdiam sejenak, mencerna segala ucapan Mia dan mencoba memahami maksudnya.
"Pokoknya kalau ada cowok yang ngajakin bobo bareng sebelum nikah, jangan mau. Walau kamu cinta banget. Nikah sah dulu baru bobo bareng." Mia menasihati.
Masalah 'bobo bareng' inilah, asal muasal mantan pacarnya berselingkuh dengan adik kandung Sandi. Walau mungkin dari awal, mantannya itu memang tak ingin serius dengannya.
Selanjutnya mereka berbincang soal perkembangan putra Mia dan Jaka, bayi menggemaskan itu lebih mirip ibunya dibandingkan ayahnya.
Mereka sempat makan bersama dengan makanan kiriman dari Kusti, bahkan Mia menyuruh Sandi untuk membungkus. Agar bisa dinikmati di kosan.
Sandi baru pulang dari rumah Mia pukul sembilan malam, beruntung lalu lintas tak sepadat tadi sore. Sehingga waktu tempuh, memakan waktu lebih singkat. Ketika pulang ke kosan.
Sandi meminta untuk diturunkan melewati pagar kosan ke arah gang rumah Mak Jum, dia sedang tak ingin bertemu Ari. Sandi tau, banyak panggilan dan pesan yang dikirim oleh Ari. Tapi satupun tak ada yang ditanggapinya. Malas saja.
Tapi memang tak ada kesempatan untuknya bisa menghindar, karena bagaimanapun Ari masih tinggal di lingkungan yang sama dengannya.
Baru hendak membuka pagar kosan, nama Sandi dipanggil. Ingin pura-pura tidak dengar, jarak mereka tak sampai dua meter. Harusnya tadi dia pakai air bud saja.
"Kamu kenapa sih, telepon dan pesan aku nggak dibalas?" Ari menahan lengannya, yang hendak membuka pagar.
"Hape aku pake mode getar. Aku nggak lihat." Sahut Sandi.
"Tadi kamu pulang pake Grab, nggak mungkin kamu nggak lihat hape." Ari membantah.
"Aku minta temen order." Sandi beralasan.
"Temen yang mana? Siapa? Apa Mia? Atau rekan kerja kamu?" Ari mulai gusar.
"Mbak Mia, aku abis dari rumahnya."
"Ada apa emang kamu kesana? Kok nggak ajak aku?"
"Mas Ari sibuk kerja, aku nggak mau merepotkan."
"Sesibuk-sibuknya aku, aku pasti akan usahakan buat kamu."
Sandi menghela napas. "Mas, aku masuk dulu y? Aku mau istirahat, besok aku harus datang lebih pagi." Dia melepaskan tangan yang memegang lengannya.
Tapi Ari tak mau melepasnya. "Ayo ikut ke rumah aku, aku mau ngomong sama kamu." Ajaknya.
"Aku nggak mau, aku mau istirahat di kamar kos aja." Sandi menolak.
Ari menggeleng tak setuju. "Kamu bisa istirahat di rumah aku, di sana nyaman juga."
"Tapi aku mau ganti baju, badan ku bau keringat. Tadi aku kena macet dan debu jalanan." Sandi beralasan.
"Kamu bisa ambil dulu baju ganti di kamar, nanti aku tunggu di ruang tamu." Ari mengalah.
"Aku mau langsung istirahat aja, mas! aku capek."
"Kalau kamu nggak mau, aku akan datangi kamar kamu dan nunggu kamu di depan pintu. Jadi sebelum kamu diusik oleh yang lain. Lebih baik sekarang kamu ambil baju ganti untuk tidur dan baju kerja besok. Malam ini kamu menginap di rumah aku."
Sandi melongo mendengar perkataan lelaki yang masih mengenakan sarung polos berwarna hitam dan kaus lengan pendek warna biru muda.
"Ayuk cepetan, aku tunggu di sini sekarang. Aku kasih waktu sepuluh menit. Kalau dalam waktu sepuluh menit kamu nggak turun, aku samperin ke kamar kamu." Ari sedikit meninggikan suaranya, lelaki tiga puluh satu tahun itu mulai tak sabar.