Shanaya Sanjaya percaya bahwa cinta adalah tentang kesetiaan dan pengorbanan. Ia rela menjadi istri rahasia, menelan hinaan, dan berdiri di balik layar demi Reno Alhadi, pria yang dicintainya sepenuh hati.
Tapi ketika janji-janji manis tersisa tujuh kartu dan pengkhianatan terus mengiris, Shanaya sadar, mencintai tak harus kehilangan harga diri. Ia memilih pergi.
Namun hidup justru mempertemukannya dengan Sadewa Mahardika, pria dingin dan penuh teka-teki yang kini menjadi atasannya.
Akankah luka lama membatasi langkahnya, atau justru membawanya pada cinta yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
“Win, harusnya aku nggak ambil kerjaan itu. Sekarang aku harus berhadapan sama manusia setengah iblis. Namanya aja Sadewa, tapi kelakuannya kayak Sangkuni!” gerutu Shanaya sambil menenggak air dingin yang langsung tandas dalam satu tegukan.
Wina langsung tertawa terbahak-bahak. “Kamu tuh ya, Sha. Kemarin dia kamu bilang kayak komodo, sekarang iblis, terus Sangkuni juga? Lama-lama jangan-jangan kamu jodohnya dia lagi.”
Shanaya ikut tertawa, tapi wajahnya kaku, seperti tertawa sambil menahan nelangsa. “Win, Reno aja yang mukanya polos dan hatinya kelihatan baik bisa nyakitin aku. Apalagi dia! Kalau sampai deket sama Sadewa, hidupku bakal lebih berat dari neraka.”
Wina menatap sahabatnya sambil menahan senyum. “Eh, kata siapa? Konon, orang kayak Pak Dewa itu... kalau udah jatuh cinta, dia setia banget. Nggak akan mendua.”
“Itu mitos. Dongeng. Omong kosong,” desah Shanaya sambil memalingkan wajah. “Udahlah, aku nggak mau bahas cinta-cintaan lagi. Fokus aku sekarang cuma satu, karier.”
Tapi tangan Shanaya tiba-tiba meraih gelas Wina dan menyesap isinya tanpa pikir panjang.
“Sha! Kamu kenapa minum punyaku?” Wina langsung panik.
“Memangnya kenapa?” tanya Shanaya santai. Tapi beberapa detik kemudian, matanya menyipit. Kepalanya mulai terasa berat dan berdenyut.
“Itu... ada sedikit alkoholnya,” ujar Wina pelan.
“Wina! Kenapa kamu nggak bilang?! Dan kenapa juga kamu mesen minuman beralkohol siang bolong kayak gini?!” Shanaya sedikit kesal, karena dia tahu tubuhnya pasti langsung tumbang kalau ada alkohol masuk.
“Aku butuh keberanian buat ketemu klien hari ini, Sha,” kata Wina cemas. “Aduh, gimana dong?”
Tak lama kemudian, Shanaya benar-benar tertidur pulas di kursi, napasnya teratur seperti bayi... atau lebih tepatnya, seperti babi. Wina menatapnya dengan pasrah sambil geleng-geleng kepala.
“Ya ampun, Sha... tidurnya kayak nggak ada beban hidup,” gumamnya.
Wina menepuk-nepuk pipi Shanaya pelan, berharap sahabatnya bangun. “Sha... bangun, dong. Aduh, gimana ini? Aku bentar lagi harus ketemu klien,” ujarnya dengan nada panik.
Tiba-tiba, ponsel Shanaya yang tergeletak di meja berdering keras. Wina menoleh dan melihat layar yang menampilkan nama kontak, Bos Komodo.
“Wah, ini pasti Pak Dewa...” Wina mendecak pelan. “Semoga aja dia nggak sebrengsek Reno dan mau bantu jemput Shanaya.”
Tanpa pikir panjang, Wina menggeser tombol hijau dan mengangkat panggilan.
“Halo?” sapanya ragu.
“Ke ruanganku. Sekarang.” Suara di seberang terdengar dingin dan mengintimidasi, seperti perintah dari... ya, iblis. Wina langsung mengerti kenapa Shanaya menyebut pria ini ‘manusia setengah iblis’.
Ia menelan ludah. “Pak Dewa, ini Wina. Maaf, tapi... bisakah Bapak tolong jemput Shanaya? Dia ada di kafe seberang kantor Bapak. Keadaannya... yah, bisa dibilang... darurat.”
“Telepon polisi. Atau ambulans,” sahut Sadewa datar.
“Eh, harusnya nggak separah itu, Pak. Tapi kalau Bapak keberatan, ya sudah... saya panggil sopir online saja. Siapa tahu ada yang tampan, terus mau sama janda,” kata Wina santai dengan nada menyebalkan, sekadar untuk memancing reaksi.
Hening sebentar.
“Aku ke sana.”
Sambungan langsung diputus.
Wina menatap ponsel Shanaya lekat-lekat, lalu beralih menatap sahabatnya yang masih terlelap. Ia mendesis pelan, seolah ponsel itu adalah wajah Sadewa sendiri.
“Jadi... dia beneran mau ke sini?”
Lima belas menit kemudian...
Bunyi langkah sepatu yang tegas terdengar mendekat dari arah pintu kaca kafe. Wina mendongak dan langsung mengenali sosok pria berjas abu gelap dengan ekspresi sekeras batu. Matanya tajam, penuh tekanan, dan wajahnya... yah, terlalu tampan untuk disebut 'komodo', tapi juga terlalu dingin untuk disebut manusia biasa.
“Pak Dewa...” gumam Wina sambil berdiri gugup.
Tanpa membuang waktu, Sadewa melangkah mantap mendekati meja mereka. Pandangannya langsung tertuju pada Shanaya yang tertidur pulas di kursi—kepalanya miring ke samping, rambut menjuntai, dan mulutnya sedikit terbuka.
Sadewa berdiri diam di hadapannya beberapa detik. “Dia... tidur?” ucapnya pelan, nyaris tak percaya.
Ia meninggalkan tumpukan pekerjaan demi panggilan darurat ini, hanya untuk menemukan Shanaya tertidur seperti anak kecil kelelahan. Dalam hati, ia mengutuki dirinya sendiri—lebih karena merasa bodoh sudah datang.
“Sebenarnya, tadi Shanaya nggak sengaja minum minuman saya, Pak. Ada sedikit alkoholnya,” jelas Wina cepat-cepat, mencoba meredam ketegangan.
Sadewa mengembuskan napas panjang, lalu berbalik. Gerakannya tenang, tapi jelas menandakan kekecewaan.
“Pak Dewa, tunggu—tempat ini dekat sekali dari kantor Bapak. Tolong... tolong bawa Shanaya dulu ya. Saya ada meeting penting. Ini tentang hidup dan mati karier saya.”
Sadewa tak menoleh. “Itu bukan urusan saya.”
“Tapi Pak…”
Langkahnya sudah menjauh beberapa meter.
Wina akhirnya memutar taktik, berkata setengah keras, “Tahu gitu dari tadi aku pesan sopir online. Nggak apa-apa lah kalau nanti sopirnya harus angkat Shanaya—digendong masuk mobil... terus masuk apartemen juga.”
Langkah Sadewa terhenti seketika.
Tubuhnya berputar perlahan, kembali menatap Shanaya tanpa banyak ekspresi. Ia mendekat lagi, lalu menunduk sekilas.
“Jemput dia nanti,” gumamnya datar pada Wina, nyaris seperti perintah. Kemudian tanpa menunggu balasan, ia membungkuk dan mengangkat Shanaya ke dalam pelukannya—gerakannya mantap, penuh kendali, seolah sudah biasa membawa beban yang tidak diminta.
Wina hanya bisa menghela napas lega. “Terima kasih, Pak Dewa…”
Sadewa tidak menjawab. Ia melangkah keluar tanpa menoleh, membawa Shanaya pergi seperti membawa sebuah masalah yang belum selesai, tapi juga belum bisa dilepaskan.
Pintu apartemen terbuka dengan suara klik pelan. Sadewa masuk, membawa Shanaya di gendongannya. Langkah kakinya tenang, nyaris tak bersuara, hanya pantulan cahaya matahari dari jendela besar yang menyambut mereka.
Dengan hati-hati, ia meletakkan Shanaya di sofa panjang yang empuk. Perempuan itu masih tertidur pulas, nafasnya teratur, wajahnya tampak jauh lebih damai dibanding biasanya yang selalu cerewet dan penuh drama.
Sadewa berdiri di hadapannya cukup lama, kedua tangan masuk ke saku celana, tubuh tegap menatap diam. Lalu, satu alisnya terangkat pelan.
“Tidur seenaknya di tempat orang... dasar menyusahkan,” gumamnya.
Tapi bibirnya bergerak sedikit—bukan senyum, bukan juga ejekan. Hanya ekspresi samar yang entah bagaimana, terasa... hangat.
Matanya menyusuri wajah Shanaya. Untuk pertama kalinya sejak mengenalnya, perempuan itu terlihat tidak gaduh. Tanpa omelan, tanpa umpatan, tanpa ekspresi sinis. Hanya Shanaya dan ketenangan yang entah kenapa... membuat apartemennya terasa lebih hidup.
Sadewa menarik napas, memalingkan wajahnya. Tapi belum sempat melangkah pergi, matanya kembali melirik ke arah perempuan itu. Kali ini, ia sedikit mendekat, lalu meraih selimut tipis dari sandaran sofa, dan menutupkan dengan hati-hati ke tubuh Shanaya.
“Habis bikin repot orang... masih sempat tidur kayak bayi,” ucapnya pelan, seolah bicara pada diri sendiri.
Ia berdiri diam selama beberapa detik lagi. Lalu, tanpa sadar, jemarinya menyentuh ujung rambut Shanaya yang jatuh ke dahi. Gerakannya cepat, gugup, seperti seseorang yang tidak terbiasa bersentuhan dengan kelembutan.
Sadewa segera menjauh. Ia berjalan menuju dapur kecil dan membuka kulkas, seolah tak terjadi apa-apa. Tapi saat membuka botol air dan meneguknya, matanya kembali melirik ke arah sofa.
Masih tertidur. Masih damai.
Dan tanpa sadar, untuk pertama kalinya dalam hidup Sadewa merasa... tidak keberatan berbagi ruang dengan seseorang.
knp update nya Arsen buk bgt y🫢🫢🫢
Sadewa JD anak tiri 🤔