Ratusan tahun lalu, umat manusia hampir punah dalam peperangan dahsyat melawan makhluk asing yang disebut Invader—penghancur dunia yang datang dari langit dengan satu tujuan: merebut Bumi.
Dalam kegelapan itu, lahirlah para High Human, manusia terpilih yang diinkarnasi oleh para dewa, diberikan kekuatan luar biasa untuk melawan ancaman tersebut. Namun kekuatan itu bukan tanpa risiko, dan perang abadi itu terus bergulir di balik bayang-bayang sejarah.
Kini, saat dunia kembali terancam, legenda lama itu mulai terbangun. Para High Human muncul kembali, membawa rahasia dan kekuatan yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan segalanya.
Apakah manusia siap menghadapi ancaman yang akan datang kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23 Remake: Perang
Tanduk peringatan ditiup keras-keras.
Dari mulut goa utama tambang Westmark—bayangan-bayangan hitam melesat keluar satu per satu, disertai pekik serak mengerikan. Tubuh mereka lebih kecil dari Invader menengah, namun bergerak cepat, haus darah, dan tak kenal takut.
Invader tingkat rendah.
Jumlah mereka: dua puluh tiga.
Mereka menuruni lereng batu seperti sekawanan serigala. Rahang mereka bergemerutuk, mata merah menyala memantul dari teriknya matahari sore—memicu rasa ngeri di barisan depan pasukan manusia.
“SELURUH UNIT GARIS DEPAN, SIAPKAN BENTENG BARIKADE!”
teriak Levina sekuat paru-parunya.
Pasukan gabungan petulang Guild Vixen dan kesatria kerajaan Vixen langsung bergerak ke formasi tempur. Barikade batu dan logam sihir ditegakkan, tombak penyegel diarahkan ke depan, sementara barisan penembak dan penyihir berdiri membentuk lingkar pelindung.
BA-BOOOOM!
Serangan pertama membentur barikade—Invader merangkak menabrak dinding batu, mendesis, mencoba menerobos celah. Pasukan manusia memukul mundur. Panah sihir berderak menghantam tubuh-tubuh hitam itu hingga pecah menjadi abu.
Enam belas Invader rendah tersisa.
“Tahan! Jangan biarkan mereka lewat! Jangan mundur satu jengkal pun!”
Gelombang kedua membanting barikade seperti badai pasir. Darah, asap, dan sihir berserakan di udara. Para penyihir istana mengacungkan tongkat dan menurunkan tembok api, memaksa Invader terbakar saat menyentuh tanah.
Semua seolah berjalan mulus.
Terlalu mulus.
---
Sementara itu, hanya beberapa meter dari medan tempur—di rerumputan tepi hutan kecil—Sho terbaring dalam kobaran api hijau, tak sadarkan diri. Rerumputan di bawahnya mengering, pepohonan di sekitarnya memucat seperti dicabut nyawanya.
Energi bumi ditarik paksa...
Menembus kulitnya... Menggantikan darah yang hilang.
Persephone menjaga aliran itu... Memastikan makin banyak nyawa kecil yang mati agar satu nyawa yang besar tetap hidup.
---
Aria berdiri tepat di antara Sho dan pertempuran. Busurnya sudah kembali terkokang — tapi ia tidak menembak. Tubuhnya diam, napasnya tertata, mata emasnya tajam mengawasi pertempuran bak raja singa mengintai badai.
Para petualang sesekali kebingungan melirik ke arah Aria saat mereka melewati garisnya.
“Kenapa dia tidak turun membantu?!”
“Kalau High Human itu ikut bertarung, kita bisa menyelesaikan ini dalam lima menit!”
Namun Aria tetap menahan diri. Ia tak mengatakan sepatah kata pun.
“Tidak...” bisik Apollo dalam hatinya. “Jangan tertipu ledakan pertama. Invader rendahan itu hanyalah umpan.”
Aria diam-diam mengangguk kecil, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ada sesuatu yang menunggu di dalam goa itu... Menunggu saat yang tepat...
Di hadapannya, 23 Invader rendah perlahan berkurang menjadi 18… lalu 12… lalu 9.
Para pasukan mulai meraung girang.
“Terus tekan! Mereka mau kabur!”
Namun tepat saat pasukan mulai maju mendorong barisan kemenangan—
KRRAAAAKKK...!
Suara keras dari dalam goa mengguncang perut bumi. Batu-batu retak. Asap hitam mengebul dari dalam.
Aria mengangkat wajah dan busurnya—mata emasnya membesar.
“...Itu dia.”
Seluruh pasukan yang sedang meneriakkan kemenangan tiba-tiba membeku, menatap mulut tambang dengan ngeri.
Bayangan tinggi, tegap dengan mata merah membara muncul perlahan dari balik retakan batu.
Invader tingkat menengah bersiap menerkam dunia luar.
Dan jumlah mereka... Jauh lebih dari satu atau dua.
Pertarungan sesungguhnya baru akan dimulai sekarang.
Sembilan Invader tingkat menengah terakhir menerjang dari mulut tambang bagaikan proyektil liar. Mereka melompat melewati reruntuhan barikade pertama—yang sudah retak karena pertempuran bertubi-tubi—dan langsung mencabik barisan depan manusia.
CRAAK!!
Tombak patah, perisai mentalah, dan jeritan kesakitan berkumandang satu demi satu. Beberapa petualang tersungkur dengan luka terbuka menganga; salah satu ksatria bahkan tak sempat menjerit saat kepalanya pecah dihantam Invader paling depan.
Aria, yang sejak tadi diam tak bergeming di sisi Sho, akhirnya tak tahan lagi.
Matanya membelalak ngeri melihat darah menyembur seakan menciptakan hujan merah di atas bukit tambang.
“CUKUP...!”
Ia mengayunkan tubuhnya, berdiri tegak, mendongak ke langit yang masih menyisakan cahaya mentari. Di matanya, lautan merah di medan pertempuran serasa membakar seluruh kesabarannya.
“Aria, tenanglah,” suara Apollo menyeruak dalam benaknya—biasanya ceria, kini terdengar serius. “Jangan terbawa emosi... Kau belum pulih—!”
Namun sudah terlambat.
Rambut Aria meledak menjadi kuning keemasan, bersinar terang bagaikan mahkota matahari, cahayanya membelah bayangan gelap tambang. Matanya memantul panas mentari, bukan lagi keemasan lembut—melainkan api siang hari.
Aria menarik napas panjang...
Satu tarikan busur.
FWOOOSSSHH!!
Satu anak panah cahaya melesat dengan ledakan dahsyat mengenai Invader terdekat—membuat makhluk itu meledak seperti kepompong daging.
Aria tak berhenti. Panah kedua, ketiga, keempat... Bertubi-tubi. Tiap satu anak panah menembus udara seperti meteor kecil—dan setiap Invader tersentuh meledak membelah tubuhnya jadi serpihan hitam gosong.
Debu membumbung. Tanah berguncang.
Namun...
Hanya dua Invader yang berhasil ia hancurkan.
Tujuh lainnya masih bergerak, kini secara cerdas menyebar—melompat lincah, bergerak zigzag, mendekati formasi manusia yang sudah porak-poranda.
Aria menggertakkan gigi. Busurnya masih menyala panas.
Tapi dadanya berdetak tak beraturan.
Tubuhnya mulai menegang—urat-urat di lengan muncul, napasnya pendek. Ia menyerap cahaya matahari terlalu banyak, memaksa tubuhnya menampung lebih dari batas yang bisa ia kendalikan.
“ARIA! BERHENTI!!” Apollo kembali berseru di pikirannya. Suara Dewa Matahari itu kini bukan jenaka—melainkan murka. “Tubuh manusia tidak dirancang untuk menanggung daya ledak matahari sebanyak itu! Kau mau mati konyol seperti ini?!”
Aria merosot sedikit, menahan rasa mual. Telinganya berdenging. Cahaya di rambutnya bergetar tak stabil. Namun tatapan matanya masih liar, marah, tajam...
Melihat ketujuh Invader tersisa berlari ke arah garis yang sudah penuh korban.
“Aku... Tidak akan membiarkan mereka mati...!”
Ia mengangkat busurnya sekali lagi—meski tangan kanannya sudah mati rasa.
Aria menggertakkan gigi saat tubuhnya bergetar hebat. Panah matahari yang ia tarik kali ini berbeda—lebih besar, lebih menyala, lebih… rusak.
Apollo menjerit dalam pikirannya.
“ARIA! KADAR ENERGI ITU TERLALU TINGGI! KALAU KAU PAKSA—”
“Diam... Apollo...” gumamnya lemah. “Aku harus melindungi mereka... Aku tak akan...”
“...membiarkan makhluk terkutuk itu menyentuh mereka lagi.”
Tali busur tertarik penuh. Cahaya kuning keemasan sampai berubah putih menyilaukan, meledakkan tanah di bawah kaki Aria.
Lalu—
BRAAAAAKKKK!!!
Anak panah dilepaskan. Melesat bagaikan suar matahari jatuh. Tapi...
Panah itu meleset.
Terguncang karena tubuhnya tak kuat menahan ledakan energinya sendiri—panah hanya menyambar garis tambang kosong, menciptakan kawah meleleh membara... Tanpa membunuh satu pun musuh.
Kesalahan fatal.
Tujuh Invader tingkat menengah tersisa berhenti menyerang barisan manusia. Mata mereka semua serempak mengarah ke sumber cahaya terbesar—Aria.
Lalu seperti singa mencium darah... Mereka berlari bersamaan ke arahnya.
“Akan kubunuh kau terlebih dahulu... Gadis matahari!”
Aria terhuyung. Lututnya menyerah. Tubuhnya mulai kejang pelan. Organ dalamnya terasa seperti terbakar dari dalam. Rambutnya—yang tadi bersinar seperti matahari tengah hari—perlahan memudar menjadi warna orisinil nya kembali. Cahaya di matanya meredup.
Apollo meraung panik.
“ARIA!!! LARI!! SEKARANG!! LARIII!!”
Tapi Aria tak lagi bisa menggerakkan tubuhnya bahkan setipis rambut.
“Sudah cukup...” Batinnya. Pasrah. Hampa. Takut... Tapi tak punya sisa energi untuk melawan.
Salah satu Invader tingkat rendah yang paling besar telah tiba tepat di hadapannya. Ia mengangkat sebilah pedang lengkung hitam yang memenuhi seluruh pandangan Aria, siap menebas dari atas.
Aria menutup matanya rapat.
CLAAAAANG!!!
Suara logam beradu keras menggema.
Aria membuka matanya perlahan... Bingung karena tubuhnya belum merasakan sakit.
Lalu ia melihatnya.
Seseorang berdiri di depannya.
Membelakangi dirinya. Menahan tebasan pedang Invader... Dengan satu tebasan Bident hijau metalik.
Api hijau berputar liar di udara sesaat kemudian—menyembur dari senjata itu seperti ular hidup.
Sosok itu gemetar, namun berdiri tegak—memasang tubuhnya sebagai tameng pelindung Aria.
Rambut cokelat pendek. Bahu sempit. Tangan kanan berdarah, namun menggenggam senjata itu seolah hidupnya bergantung padanya.
“...Sho...?”
Aria berbisik, air matanya jatuh tak percaya.
Sosok itu tidak langsung menjawab. Hanya menoleh setengah. Mata merah rubinya menyala... Tapi di kedalaman sorotnya ada sesuatu yang lain.
Seolah ia Sho... Namun bukan... Sho yang sama.
semogaa hp nya author bisa sehat kembali, dan semoga di lancarkan kuliahnya, sehat sehat yaa author kesayangan kuu/Kiss//Kiss/