Hana Hafizah menjadi perempuan paling tidak beruntung ketika ayah dan ibu memintanya untuk menikah, tetapi bukan dengan lelaki pilihannya. Ia menolak dengan tegas perjodohan itu. Namun, karena rasa sayang yang dimilikinya pada sang ayah, membuatnya menerima perjodohan ini.
•••
Gadibran Areksa Pratama. Dosen muda berumur 27 tahun yang sudah matang menikah, tetapi tidak memiliki kekasih. Hingga kedua orang tuanya berkeinginan menjodohkannya dengan anak temannya. Dan dengan alasan tidak ingin mengecewakan orang yang ia sayangi, mau tidak mau ia menerima perjodohan ini.
•••
“Saya tahu, kamu masih tidak bisa menerima pernikahan ini. Tapi saya berharap kamu bisa dengan perlahan menerima status baru kamu mulai detik ini.”
“Kamu boleh dekat dengan siapapun, asalkan kamu tahu batasanmu.”
“Saya akan memberi kamu waktu untuk menyelesaikan hubungan kamu dengan kekasih kamu itu. Setelahnya, hanya saya kekasih kamu. Kekasih halalmu.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYusra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Kekasih Halalmu – Ngadate?
Hari ini Dibran sedang bersiap untuk segera menjemput Hana dirumahnya. Tiga hari yang lalu perempuan itu mengirimkan pesan padanya untuk bertemu, hanya berdua. Maka dari itu, setelah tadi ia selesai mengajar, ia langsung ke rumah perempuan yang akan dijodohkan dengannya itu.
Saat pertama kali mendapatkan pesan dari Hana, Dibran heran dan terkejut. Pasalnya mereka belum sempat bertukar nomor telepon, tetapi tiba-tiba saja Hana menghubunginya melalui sebuah pesan singkat.
082287xxxxxx
Ini aku, Hana. Bisa kita bertemu?
Bukan hari ini, kapan Mas ada waktu luang?
Dibran
Hari Kamis, siang, saya tidak ada kegiatan.
082287xxxxxx
Baiklah. Hari Kamis pukul tiga sore, kita bertemu di tempat pertama kali kita bertemu.
Dibran
Baiklah.
Saya jemput.
082287xxxxxx
Nggak. Saya berangkat sendiri.
Dibran
Saya jemput.
082287xxxxxx
Baiklah.
Pesan itu berakhir. Dibran tidak akan bertanya dari mana Hana mendaptkan nomornya, karena sudah jelas dari sang mama.
Dibran sedang dalam perjalanan ke rumah Hana. Setelan ia sebagai seorang dosen sedikit dilonggarkan. Hanya celana kain navy dan kemeja putih yang terpakai dibadannya, dengan satu kancing baju dibuka.
Tangannya yang berada disetir mobil dengan jari telunjuk yang mengetuk pelan, menandakan jika ia sedang memikirkan sesuatu. Hal apa yang ingin dibicarakan Hana hingga mereka harus bertemu? Apa tentang perjodohan mereka? Apa Hana menolak perjodohan ini seperti yang telah perempuan itu katakan sebelumnya? Entahlah. Dibran tidak tahu, dan sekarang mendadak ia ingin segera bertemu dengan Hana, agar rasa penasarannya segera terjawab.
Dibran belum menemui Evan secara langsung setelah meminta pendapat sang papa mengenai keinginannya untuk mencari tahu tentang Hana. Menjadi seorang dosen, sekaligus mengurus perusahaan, membuat ia sedikit kesulitan untuk mencari waktu yang pas agar bisa bicara serius dengan Evan.
Berbicara mengenai Dibran, dirinya merupakan anak tunggal dari Damian Pratama dan Sovia Elenatika. Damian, seorang pebisnis yang bergerak dibidang properti dan perhotelan, yang sekaligus menjadi CEO dari Prama Group, sebuah perusahaan yang kekuasaannya sudah bersaing ditingkat Asia. Sedangkan Sovia hanya seorang ibu rumah tangga, tetapi memiliki sebuah butik yang diberikan oleh sang suami karena ia sangat bosan jika hanya dirumah saja.
Dibran menempuh pendidikan setelah SMA ke Perguruan Tinggi Negri dengan jurusan Teknik Industri, karena memang itu kemauannya. Tetapi setelah lulus S1 dan melihat Damian yang masih bekerja diperusahaan membuat Dibran merasa bersalah.
Maka dari itu, Dibran menyiapkan diri untuk melanjutkan S2-nya tetapi dengan jurusan bisnis di luar negri. Kebetulan sekali saat itu membuka pendaftaran beasiswa jurusan bisnis, Dibran mencoba peluang tersebut dan akhirnya lulus. Ia memberitahu Damian, tentu saja Damian senang mendengarnya. Ia tidak menyangka jika anak semata wayangnya itu merelakan kesukaannya pada dunia Teknik demi dirinya.
“Dibran cuma mau nge-bahagiain Papa sama Mama. Semua keinginan Dibran selalu Papa turutin, bahkan saat Dibran memilih Teknik daripada Bisnis, Papa sama sekali nggak marah. Makanya Dibran mau mengabulkan keinginan Papa sekarang. Dibran mau belajar Bisnis. Dibran nggak mau lihat Papa masih kerja padahal udah waktunya Papa untuk bersantai.”
Itulah kata yang disampaikan Dibran pada Damian. Ia sama sekali tidak menyesal bahkan marah pada pilihannya saat itu. Toh, ia masih bisa menyalurkan kesukaannya pada teknik dengan bekerja sebagai seorang dosen, walaupun hanya sementara. Lalu apa masalahnya?
Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan karena macet yang tidak pernah lepas dari kota besar tersebut, Dibran akhirnya sampai dirumah milik orang tua Hana. Setelah dibukakan gerbang oleh satpam, Dibran memarkirkan Mobilnya.
Dibran keluar dari mobil dan berjalan ke depan pintu. Setelah mengetuknya beberapa kali sambil mengucapkan salam, akhirnya pintu terbuka. Laki-laki yang berprofesi sebagai seorang dosen itu tersenyum kala pelaku yang membuka pintu itu adalah Lidia, mama Hana.
“Assalamualaikum, Tante,” ucapnya sambil menyalami Lidia. Sangat jelas terlihat jika Lidia nampak kaget saat Dibran datang kerumahnya. Walaupun sang anak perempuan sudah memberitahunya beberapa jam yang lalu.
“Waalaikumussalam, Dibran?” Lidia terkejut melihat kedatangan Dibran yang mendadak, namun tetap tersenyum karena sudah menebak apa yang membuat Dibran bertamu ke rumahnya. “Mau ketemu Hana, ya?”
Dibran mengangguk dan tersenyum. “Iya, Tante.”
“Ya sudah, masuk dulu,” kata Lidia, dan Dibran masuk lalu duduk diruang tamu.
Ia mengamati rumah yang tidak sebesar rumahnya itu dengan teliti. Bukan maksud apa-apa, hanya saja rumah ini terlihat sangat nyaman dan elegan. Mungkin perpaduan antara putih dan abu-abu yang membuat rumah ini sangat manis dan nyaman diamati. Sama seperti anak dari pemilik rumah ini. Eh?
Dibran langsung menggelengkan kepalanya. Apa-apaan itu pemikirannya?!
“Tante panggil dulu, ya,” kata Lidia yang diangguki Dibran. Wanita paruh baya itu pun langsung naik tangga menuju kamar Hana. Sedangkan Dibran menunggu sembari melihat-lihat seisi rumah itu. Lalu mengerjakan sesuatu pada ponselnya saat nada tanda notifikasi terdengar olehnya.
***
Saat Lidia mengetuk pintu kamar Hana, perempuan itu ternyata sudah siap dengan pakaian serta dandanannya. Tidak terlalu heboh karena ia memang tidak suka ribet. Pakaian casual yang Hana kenakan merupakan pakaian andalannya saat bepergian.
“Hana,” panggil Lidia dan Hana langsung menyabet tas Selempangnya.
“Iya, Ma,” kata Hana dengan agak keras karena pintu yang tertutup. Lalu mendekati pintu dan membukanya.
Lidia tersenyum. “Sudah selesai? Dibran udah nunggu di bawah.” Hana mengangguk dan menutup pintu kamar.
Sedangkan diruang tamu, Dibran masih sibuk dengan ponsel, langsung mengangkat kepalanya saat mendengar derap langkah yang mendekat padanya. Dibran pun langsung menutup ponsel dan menyimpannya. Ia tersenyum.
“Papa mana, Ma?” tanya Hana saat ia sudah berdiri di depan Dibran.
“Masih dikantor. Kemarin pas selesai libur beberapa hari, tiba-tiba perusahaan nerima pesanan beberapa barang. Makanya samai jam segini Papa belum pulang,” jelas Lidia membuat Hana mengangguk mengerti.
“Tapi Hana belum izin sama Papa.”
“Nggak apa-apa. Biar Mama nanti yang kasih tahu Papa,” ucap mama. “Ya sudah, sekarang kalian berangkat. Kasihan Dibran kelamaan nunggu,” lanjut Lidia.
Mendengar itu Dibran hanya tersenyum tipis. Padahal ia tidak menunggu sama sekali. Sedangkan Hana hanya mengangguk, lalu menyalami Lidia.
“Ya udah, Hana berangkat dulu, Ma.”
“Berangkat dulu, Tante,” kata Dibran sambil ikut menyalami Lidia. Lidia hanya mengangguk kemudian mengantarkan mereka ke depan.
Lidia kemudian menghela napasnya pelan, dan menatap dengan penuh harap saat keduanya sudah meninggalkan rumah. Semoga saja ….
***
Didalam mobil, baik Hana maupun Dibran tidak ada yang mau membuka pembicaraan. Hanya ada musik yang sengaja dihidupkan Dibran agar tidak terlalu sepi. Hana yang pada dasar-nya tidak pandai memulai pembicaraan, ditambah dengan orang yang tidak begitu dikenalnya, membuatnya tidak perlu merasa repot-repot untuk mengeluarkan suara. Sedangkan Dibran, laki-laki itu juga tidak ada niat untuk memulai pembicaraan, walaupun ada pertanyaan yang memenuhi kepalanya saat ini.
Hana menatap keluar, dan membuka jendela membuat rambutnya yang digerai itu berterbangan. Dibran juga melakukan hal yang sama. Mengingat AC mobil dimatikan, jadi sekalian saja ia membuka jendela mobilnya.
Dua hari setelah papa mengatakan hal yang membuatnya meragukan Galang. Tentang bagaimana akhirnya ia mengetahui hal yang selama ini ditutupin oleh papa dan mama-nya. Perkataan Evan kemarin tentang Galang bukan laki-laki yang baik untuknya, langsung mengarahkan pikirannya untuk menyelidiki laki-laki itu. Namun entah dengan alasan apa, Hana memilih untuk menemui Dibran untuk membicarakan hal yang akan menjadi pilihannya.
Setelah meminta nomor ponsel Dibran pada orang tua laki-laki itu, Hana langsung menghubungi Dibran dua hari kemudian setelah malam itu.
Nusantara's Food. Tempat pertama kali mereka bertemu, atau bisa dibilang dipertemukan. Sebab sudah tahu, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk saling membuka suara. Bahkan untuk sekedar basi-basi, mereka tidak melakukannya.
Mereka berangkat pada pukul tiga sore, dan hari ini jalanan cukup ramai, tetapi tidak sampai macet. Mobil hanya berhenti pada saat lampu merah kemudian melaju dengan kecepatan sedang.
Sekitar tiga puluh menit perjalanan, akhirnya mereka sampai ditempat itu. Setelah memarkirkan mobil, kedua insan yang berbeda kelamin itu langsung keluar dan masuk restoran. Kedatangan mereka langsung disambut dengan senyuman oleh penyambut tamu direstoran itu. Setelah Hana mengatakan reservasinya, pelayan itu langsung menunjukkan jalan mereka yang mengarah ke lantai atas.
Dibran yang tidak tahu-menahu soal reservasi yang sudah dilakukan oleh Hana, hanya memilih diam dan mengikuti. Ia belum ingin bertanya, rasanya belum pas.
Rooftop
Ternyata Hana memilih lantai atas yang merupakan sebuah rooftop. Keduanya duduk setelah dipersilahkan oleh pelayan tersebut.
Selesai memesan makanan, keduanya ditinggalkan dan mereka masih belum bicara. Hana masih dengan kegemarannya menatap ke samping yang menampilkan gedung-gedung tinggi pencakar langit. Merasakan semilir angin sore, lalu langit yang sebentar lagi akan berubah menjadi kemerah-merahan.
Sedangkan Dibran memilih memainkan ponselnya yang kembali bergetar karena nada notifikasi yang berasal dari berbagai aplikasi yang digunakan laki-laki itu. Saat dilihat hanya hanya berupa e-mail, WhatsApp, dan semacamnya. Hal yang tidak lepas dari pekerjannya.
“Mas menerima perjodohan ini?”
***