NovelToon NovelToon
TITIK NOL TAKDIR

TITIK NOL TAKDIR

Status: sedang berlangsung
Genre:Berbaikan / Spiritual / Penyesalan Suami / Duniahiburan / Matabatin / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:645
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Alif

Bara, pelaut rasional, terdampar tanpa koordinat setelah badai brutal. Menjadi Musafir yang Terdampar, ia diuji oleh Syeikh Tua yang misterius: "Kau simpan laut di dadamu."

Bara menulis Janji Terpahit di Buku Doa Musafir, memprioritaskan penyembuhan Luka Sunyi keluarganya. Ribuan kilometer jauhnya, Rina merasakan Divine Echo, termasuk Mukjizat Kata "Ayah" dari putranya.

Bara pulang trauma. Tubuh ditemukan, jiwa terdampar. Dapatkah Buku Doa, yang mengungkap kecocokan kronologi doa dengan keajaiban di rumah, menyembuhkan mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 23: PARANOIA RINA DAN GEMA YANG MEMBUAT MERINDING

Malam itu, hening di dalam rumah terasa lebih berat, seolah udara telah berubah menjadi cairan kental yang menekan dinding-dinding kayu dan beton. Rina duduk bersimpuh di atas sajadah yang masih terhampar di ruang tengah, jemarinya mengusap sampul Buku Doa Musafir cadangan miliknya yang terasa sangat berat, seolah setiap lembarannya telah menyerap beban spiritual yang luar biasa dari kejauhan. Kehangatan yang ia rasakan setelah pembatalan penjualan mobil dan penemuan noda darah misterius di garasi tadi pagi kini mulai digantikan oleh kegelisahan yang tidak berpola.

"Ya Allah, apa lagi yang sedang Kau gerakkan?" bisik Rina, merapatkan mukenanya.

Ia menoleh ke arah Arka yang duduk di pojok ruangan. Putranya itu tidak sedang bermain; ia memeluk erat sehelai daun jati kering—daun yang ia temukan saat bermain di halaman dan dianggapnya sebagai harta karun—sambil menatap sudut plafon yang kosong. Ketenangan Arka terasa ganjil, sebuah kontras yang tajam dengan detak jantung Rina yang mulai berpacu tanpa sebab fisik yang jelas.

Tiba-tiba, ketenangan itu pecah. Sebuah hembusan angin yang sangat dingin, bukan angin dari jendela yang terbuka, melintas tepat di tengkuk Rina. Dingin ini tidak menyebar, melainkan terasa sangat terorganisir, seolah-olah ada tangan tak kasat mata yang menekankan bongkahan es tepat di satu titik di tengah ruangan.

"Mala? Kau merasa dingin?" tanya Rina, suaranya sedikit bergetar.

Mala, yang sedang meringkuk di sofa sambil memandangi kompas biru tua pemberian Ayahnya, mendongak. "Tidak, Bu. Tapi telinga Mala berdenging lagi. Seperti suara lebah, tapi lebih besar."

Rina mencoba menarik napas, namun udara di sekitarnya seolah menolak untuk masuk ke paru-parunya. Tepat pada saat itu, sebuah getaran frekuensi rendah mulai merambat dari lantai, naik ke kaki kursi, hingga menembus kulitnya. Ini bukan getaran gempa bumi. Ini adalah resonansi yang sangat halus namun kuat, menyerupai gema suara yang tertahan di bawah air. Gema itu membuat bulu kuduk Rina berdiri tegak, memicu rasa takut yang bersifat primordial.

"Astagfirullah..." Rina berpegangan pada pinggiran meja. "Mala, masuk ke kamar. Sekarang."

"Kenapa, Bu? Ibu takut ya?" Mala mendekat, wajahnya tampak bingung namun mulai tertular kecemasan ibunya.

"Sudah, masuk saja. Bawa Arka bersamamu," perintah Rina dengan nada yang tidak bisa dibantah.

Namun, Arka justru bergeming. Ia melepaskan daun jatinya dan mulai bergerak perlahan menuju sudut ruang tamu yang paling gelap. Senyum tipis mengembang di bibirnya yang biasanya datar. Ia tampak sedang menyapa sesuatu yang kehadirannya hanya bisa dirasakan sebagai tekanan udara yang berat.

Kompas yang Kehilangan Logika

Rina bergegas menghampiri meja di mana Mala tadi meletakkan kompas biru tua itu. Benda kecil yang biasanya menjadi penunjuk arah bagi pelaut seperti Bara itu kini berperilaku sangat aneh. Jarum kompasnya tidak menunjuk ke utara. Jarum itu berputar liar, berputar dengan kecepatan yang mustahil, seolah-olah medan magnet di rumah itu telah dikacaukan oleh energi yang luar biasa besar.

"Kenapa benda ini jadi gila?" gumam Rina, matanya membelalak menatap putaran jarum yang tidak kunjung berhenti.

"Ayah bilang, kalau jarumnya berputar begitu, berarti kapalnya sedang masuk ke pusaran air," sahut Mala dari belakang, suaranya kini penuh ketakutan.

"Ayahmu tidak di kapal, Mala. Ayahmu sedang... Ayahmu sedang berjuang," Rina mencoba meyakinkan dirinya sendiri, namun hatinya berteriak sebaliknya.

Pikiran Rina mulai liar. Paranoia yang ekstrem mulai menggerogoti logikanya. Ia teringat akan getaran yang ia rasakan beberapa jam lalu, yang ia anggap sebagai pertanda baik. Namun sekarang, gema frekuensi rendah ini terasa seperti sebuah peringatan. Apakah Bara sedang ditarik pulang dengan paksa? Apakah pengorbanan darah yang ia yakini dilakukan suaminya justru memicu sesuatu yang menuntut harga nyawa?

"Siapa di sana?!" seru Rina ke arah sudut ruangan tempat Arka berdiri. "Keluar! Jangan ganggu anak-anakku!"

Hening. Gema itu tidak berhenti, malah terasa semakin meresap ke dalam tulang. Arka menoleh ke arah ibunya, lalu meletakkan jari telunjuknya di depan bibir.

"Ssssh... Dia sedang bicara, Ibu," bisik Arka.

"Siapa, Arka? Siapa yang bicara?!" Rina mendekati Arka, hendak menariknya menjauh, namun langkahnya terhenti oleh rasa dingin yang mendadak membeku di depannya.

"Orang tua itu... yang bawa tongkat," Arka menunjuk ke udara kosong. "Dia bilang, arusnya sudah diputar. Ayah sedang di atas air."

Rina merasakan dunianya seolah terbalik. Orang tua dengan tongkat? Apakah itu sosok yang sama dengan yang pernah digambar Arka sebelumnya? Kehadiran gaib ini kini terasa sangat nyata, sangat dekat, dan sangat mengancam kewarasannya. Rina mulai merasa bahwa rumahnya bukan lagi tempat yang aman. Ia merasa diawasi oleh ribuan mata yang berasal dari kegelapan samudra.

"Mala, ambil tasmu. Kita tidak bisa di sini," ucap Rina panik, ia mulai menarik-narik laci mencari kunci mobil.

"Tapi Bu, di luar gelap! Dan Kapten Hadi bilang mereka mau cari Ayah besok pagi!" protes Mala.

"Ibu tidak peduli! Rumah ini... rumah ini tidak benar, Mala! Ada sesuatu yang masuk ke sini!" Rina berteriak, air matanya mulai tumpah.

Paranoia itu mengunci pikirannya dalam skenario terburuk. Ia merasa Bara tidak akan pulang sebagai manusia, melainkan sebagai bagian dari energi laut yang dingin dan menakutkan ini. Ia merasa setiap sudut rumahnya kini telah menjadi perpanjangan dari pulau tempat Bara terdampar.

Gema yang Merambat di Dinding

Gema frekuensi rendah itu tiba-tiba berubah. Sekarang, suaranya terdengar seperti bisikan nama yang diulang-ulang secara konstan. Ar-ka... Ar-ka... Suara itu bukan berasal dari satu titik, melainkan seolah-olah dinding-dinding rumah itu sendiri yang sedang membisikkannya.

Rina menutup kedua telinganya dengan tangan, namun suara itu tetap menembus masuk ke dalam kepalanya. Ia menatap Arka yang justru tampak semakin nyaman. Putranya itu kini duduk bersila, matanya terpejam, dan tubuhnya bergerak maju mundur mengikuti irama gema tersebut.

"Hentikan! Hentikan semua ini!" Rina jatuh berlutut di tengah ruangan.

Ia merasa dikhianati oleh keyakinannya sendiri. Tadi siang ia merasa begitu kuat setelah menolak tekanan Bapak Herman untuk menjual aset. Ia merasa Tuhan sedang membantunya. Namun malam ini, keajaiban itu terasa seperti kutukan. Dingin yang terpusat itu kini berpindah, bergerak perlahan dari ruang tamu menuju koridor belakang, melewati pintu kamar mandi tempat Rina dulu membuang sisa perhiasan maharnya dalam keadaan putus asa.

"Ibu, lihat kompasnya!" teriak Mala.

Rina mendongak. Jarum kompas yang tadinya berputar liar mendadak berhenti total. Jarum itu bergetar hebat sesaat, seolah-olah sedang dipaksa oleh kekuatan magnet yang sangat besar, lalu menunjuk ke satu arah yang sangat stabil namun mustahil secara logika. Jarum perak itu menunjuk lurus ke arah koridor kamar mandi.

"Kenapa menunjuk ke sana?" bisik Rina, napasnya tersengal.

"Itu tempat Ibu menangis waktu itu, kan?" tanya Mala polos.

Rina teringat kembali pada momen itu. Titik di mana ia melepaskan ketergantungan pada materi duniawi di sudut kamar mandi yang lembap. Mengapa sinyal takdir yang dibawa oleh gema ini menunjuk ke sana? Apakah ada sesuatu yang Bara kirimkan yang mendarat tepat di titik pengorbanan Rina?

"Ibu harus lihat," ucap Rina, seolah digerakkan oleh kekuatan di luar dirinya.

Ia bangkit, kakinya terasa seperti kapas. Dengan sisa keberaniannya, ia melangkah menuju koridor gelap itu. Senter di tangannya bergetar, membiaskan cahaya yang tidak stabil di dinding. Setiap langkah yang ia ambil membuat gema frekuensi rendah itu semakin keras, seolah jantung rumah ini sedang berdetak tepat di bawah kakinya.

"Jangan ikut, Mala. Tetap jaga adikmu," bisik Rina tanpa menoleh.

Ia sampai di depan pintu kamar mandi yang setengah terbuka. Rasa dingin di sana begitu ekstrem hingga uap putih keluar dari mulutnya saat ia bernapas. Di sudut ruangan, tepat di area di mana pipa pembuangan berada, ia melihat sesuatu yang seharusnya tidak mungkin ada di dalam rumah yang terletak di tengah kota.

Ada sebuah gundukan kecil. Berwarna putih bersih dan berkilauan di bawah cahaya senter.

Rina melangkah mendekat, mengabaikan rasa perih di sendi-sendinya akibat suhu yang mendadak anjlok. Senter di tangannya menyorot tajam ke gundukan di sudut lantai kamar mandi. Itu adalah pasir. Bukan pasir bangunan yang kelabu dan kasar, melainkan pasir karang putih yang sangat halus, berkilauan seperti butiran kristal di bawah cahaya lampu.

"Bagaimana mungkin ada pasir laut di sini?" bisik Rina pada kesunyian yang membeku.

Ia berlutut di lantai yang dingin, jemarinya yang gemetar menyentuh butiran pasir itu. Rasanya sangat halus, hampir seperti tepung, dan mengeluarkan aroma garam yang sangat pekat, bercampur dengan bau getah pahit yang ia kenali sebagai wangi cemara laut—aroma yang sama dengan yang ia cium di garasi tadi pagi. Pasir ini adalah bukti fisik yang mustahil; sebuah koordinat dari pulau yang entah bagaimana berhasil menembus dimensi dinding rumahnya.

"Ibu? Apa itu?" suara Mala terdengar dari ambang pintu koridor, sarat dengan ketakutan.

"Mala, jangan mendekat! Ibu bilang tetap di ruang tamu!" seru Rina, namun paranoianya justru semakin memuncak saat ia melihat gundukan pasir itu seolah-olah berdenyut mengikuti irama gema frekuensi rendah yang tadi menghantuinya.

Rina meraba ke dalam gundukan pasir itu, dan jemarinya menyentuh sesuatu yang keras. Ia menariknya keluar. Sebuah potongan kecil kertas lusuh yang basah dan nyaris hancur. Di pinggirannya, terdapat noda merah kecokelatan yang sudah mengering namun masih memancarkan bau besi yang tajam. Darah.

"Astagfirullah... Bara..." Rina mendekapkan kertas itu ke dadanya.

Pikirannya langsung melayang pada mimpi Mala semalam tentang ayahnya yang menulis menggunakan darah. Penemuan ini bukan lagi sekadar kebetulan; ini adalah sebuah peringatan atau mungkin sebuah jeritan minta tolong yang bermanifestasi secara fisik. Rina merasa seolah rumahnya sedang dikepung oleh kekuatan gaib yang menuntutnya untuk memahami sesuatu yang berada di luar nalar.

Bisikan di Ambang Paranoia

Rina bangkit berdiri, matanya liar menatap sekeliling kamar mandi yang sempit. Ia merasa bayangan di dinding bergerak-gerak. Paranoia bahwa rumahnya sedang dimasuki oleh entitas yang tidak ia pahami membuatnya merasa tercekik. Ia segera keluar dari koridor, menarik Mala kembali ke ruang tamu di mana Arka masih duduk tenang dengan daun jatinya.

"Kita harus pergi, Mala. Ibu merasa ada seseorang di rumah ini. Seseorang yang bukan manusia," ucap Rina sambil terburu-buru meraup kunci mobil dan tas kecilnya.

"Tapi Bu, Arka tidak takut. Lihat dia," Mala menunjuk adiknya.

Arka mendongak, matanya yang jernih menatap Rina tanpa kedip. "Dia tidak jahat, Ibu. Dia hanya... menjaga jalan."

"Siapa, Arka? Siapa yang menjaga jalan?!" Rina berteriak, luapan emosinya pecah menjadi tangisan frustrasi.

"Orang tua yang baunya seperti laut," jawab Arka pendek, lalu kembali menunjuk ke sudut ruang tamu yang gelap.

Rina menoleh ke arah yang ditunjuk Arka. Di sana, di antara bayangan lemari buku dan tirai yang tersingkap, ia melihat sebuah pusaran cahaya samar yang sangat tipis, nyaris tak terlihat. Cahaya itu berdenyut lembut, menyebarkan rasa dingin yang tadi ia rasakan. Tiba-tiba, dari arah cahaya itu, terdengar sebuah bisikan. Kali ini bukan gema frekuensi rendah yang menakutkan, melainkan sebuah suara yang sangat dekat di telinganya.

Arka...

Suara itu berat, berwibawa, dan sarat dengan ketenangan yang mematikan. Rina membeku di tempatnya berdiri. Itu bukan suara Bara. Itu adalah suara lain, sebuah kehadiran yang seolah-olah sedang mengonfirmasi bahwa Arus Kepulangan telah diaktifkan dan Arka adalah penandanya.

"Siapa Anda? Apa mau Anda dari keluarga kami?" Rina berseru, namun suaranya hanya memantul di dinding rumah yang bisu.

"Ibu, kompasnya!" Mala menarik ujung daster Rina.

Rina melihat ke arah meja. Jarum kompas biru tua itu, yang tadinya menunjuk ke arah kamar mandi, kini mendadak berputar satu kali lagi dengan sangat cepat, lalu berhenti dan terkunci mati ke arah pintu depan rumah. Jarum itu tidak lagi bergetar; ia menunjuk dengan kepastian yang absolut, seolah-olah "sesuatu" yang tadi berada di dalam rumah kini telah berpindah posisi, berdiri tepat di balik pintu kayu yang terkunci.

Konfirmasi di Balik Pintu

Rina merasa bulu kuduknya berdiri lebih tegak dari sebelumnya. Antara rasa takut yang melumpuhkan dan rasa ingin tahu yang didorong oleh takdir, ia melangkah perlahan menuju pintu depan. Ia memegang gagang pintu yang terasa sangat dingin, sedingin pasir karang yang ia temukan tadi.

"Jangan dibuka, Bu!" tangis Mala pecah.

Rina tidak mendengarkan. Ia merasa harus menghadapi paranoia ini sekarang juga. Dengan satu gerakan cepat, ia memutar kunci dan menyentak pintu hingga terbuka lebar.

Angin malam menyapu wajahnya, namun di depan sana, di halaman rumah yang remang-remang, tidak ada siapa-siapa. Halamannya kosong. Namun, di atas lantai teras yang bersih, Rina melihat jejak-jejak pasir putih halus yang membentuk pola garis lurus menuju ke luar pagar, persis seperti jejak seseorang yang baru saja melangkah pergi dengan kaki basah.

Rina berdiri di ambang pintu, napasnya tersengal. Ia melihat potongan kertas bernoda darah di tangannya, lalu menatap jejak pasir itu. Bisikan nama Arka kembali terdengar, kali ini jauh lebih samar, terbawa angin yang menuju ke arah laut.

"Dia bukan hantu, Mala," bisik Rina, air matanya mengalir deras namun kali ini tanpa rasa takut yang mencekam. "Dia adalah penjaga Ayahmu. Dia datang untuk memberi tahu bahwa Arus Kepulangan sudah dimulai."

Rina jatuh terduduk di ambang pintu, memeluk lututnya. Paranoia yang tadi menyerangnya kini luruh, berganti menjadi sebuah kepasrahan yang menyakitkan namun suci. Ia menyadari bahwa gema yang membuatnya merinding itu adalah cara takdir untuk mengetuk pintunya, memaksanya melepaskan segala logika duniawi untuk menerima keajaiban yang sedang dalam perjalanan.

Di sudut ruang tamu, Arka mulai tertidur kembali dengan senyum yang tetap terpatri di bibirnya. Sementara di luar, jarum kompas yang diletakkan Mala di meja perlahan-lahan kembali menunjuk ke arah utara, menandakan bahwa energi besar yang tadi mengacaukan magnet rumah telah pergi, membawa serta pesan keberadaan Bara menuju otoritas pelabuhan yang sedang bersiap melakukan pencarian besok pagi.

1
Kartika Candrabuwana
bab 26 keren
Kartika Candrabuwana
bsb 25 keten
Kartika Candrabuwana
bab 24 keren😍
Kartika Candrabuwana
bab 23 keren😍👍
Kartika Candrabuwana
bab 22 ok👍
Tulisan_nic
Belum baca keseluruhan isi novel ini,tapi dari awal baca sudah mendapat banyak pelajaran tentang tawakal sesungguhnya,semangat berkarya Author.Aku kasih rate 5 biar semakin bersemangat /Rose//Rose//Rose//Rose//Rose/
Kartika Candrabuwana: terima kasih. 😍👍
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
iya betul😍
Tulisan_nic
Definisi ikatan batin suami istri
Kartika Candrabuwana: betul sekali
total 1 replies
Tulisan_nic
Ketika ujian hidup terasa sangat sulit😭
Kartika Candrabuwana: anak autis sungguh ujian yang berat/Sob/
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
bab 21 luar biasa.
Kartika Candrabuwana
istri yang tegar😍👍
Kartika Candrabuwana
kasihan sekali. semangat bara💪
Tulisan_nic
semakin seru,semangat Thor🫶
Kartika Candrabuwana: ok..semangat👍
total 1 replies
Tulisan_nic
semoga mustajab Do'a seorang Bapak
Kartika Candrabuwana: amiin👍
total 1 replies
Tulisan_nic
Titik pencapaian paling sakral
Kartika Candrabuwana: tawakal total
total 1 replies
Tulisan_nic
Benar adanya,setiap orang yang merasa ajal di depan mata yang terfikirkan adalah bagaimana ia memperlakukan orang-orang yang di cintainya. Semangat Bara...kau akan menemukan daratan!
Kartika Candrabuwana: saya coba menyentuh hati tiap pembaca🙏
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
luar biasa teguh👍😍🤣
Kartika Candrabuwana
kalinat yang sangat menyenuh hati/Sob//Sob/😍👍
Kartika Candrabuwana
bab 20 ok👍
Kartika Candrabuwana
bab 19 ok
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!