Semesta Animers yang damai, dikelola oleh lima kerajaan berdaulat yang dipimpin oleh sahabat karib, kini terancam oleh serangkaian insiden sepele di perbatasan yang memicu krisis sosial. Para pemimpin harus bertemu dalam pertemuan puncak penuh ketegangan untuk menyelesaikan konflik politik dan membuktikan apakah ikatan persahabatan mereka masih cukup kuat untuk menyelamatkan Semesta Animers dari kehancuran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Continue the Adventure
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, keempat pemimpin itu duduk di bar di bawah penginapan. Mereka menikmati sarapan sederhana dan secangkir minuman hangat, dengan peta Semesta Animers terbentang di atas meja kayu.
Diskusi segera berfokus pada rute tercepat dan teraman menuju Kerajaan Ranox. Shin, sebagai Raja yang ahli geografi, menunjuk beberapa jalur utama.
"Kita bisa melewati Jalur Utara, ini tercepat, tapi melewati Lembah Kabut," jelas Shin, mengetuk peta. "Atau kita ambil Jalur Timur, yang lebih berkelok-kelok."
Namun, setelah menganalisis intelijen yang dibawa oleh Lyra dan pengalaman perjalanan Indra dan Sabre, semua rute menunjukkan masalah yang sama.
"Jalur Utara ada laporan kemunculan Demon skala besar," kata Sabre. "Dan aku dengar di Jalur Timur..."
Indra menyela dengan wajah serius. "Di Jalur Timur, ada laporan penampakan Fenrir. Itu bukan Demon biasa; itu adalah raksasa yang sangat berbahaya."
Lyra, yang sedari tadi menyimak dengan cermat, menyilangkan tangannya. Ia akhirnya memahami masalah yang dihadapi kerajaannya.
"Pantas saja pedagang dari Lucius City mengeluh jalur perdagangan ke Ranox hampir terputus total," ujar Lyra. "Ini bukan sekadar Demon liar, ini adalah gangguan yang terorganisir. Mereka sengaja mengunci akses ke Ranox."
Sabre dan Indra saling pandang. Mereka tahu, risiko ini jauh lebih besar daripada sekadar menjemput Evelia.
"Menurutku, bersembunyi atau mencari jalur aman hanya akan membuang waktu," kata Sabre, nadanya dipenuhi tekad. "Kita punya Indra dengan Pedang Suci, Lyra dengan senapan, dan kita punya Shin yang ahli strategi darurat."
Indra mengangguk setuju, menatap mata ketiga sahabatnya. "Tujuannya jelas. Tidak peduli seberapa banyak Demon, atau bahkan Fenrir yang menghadang."
"Terus maju," pungkas Lyra, matanya berkilat dingin.
Shin tersenyum, mengakhiri perdebatan. "Baiklah. Kalau begitu, mari kita tunjukkan kepada Ranox bahwa para pemimpin Kerajaan di Animers masih tahu cara bertarung."
.
.
Setelah sarapan dan keputusan untuk terus maju, Indra, Sabre, Lyra, dan Shin segera melanjutkan perjalanan dari Hamel City menuju medan bahaya Ranox.
Saat mereka melintasi perbatasan yang mulai menunjukkan tanda-tanda kerusakan akibat cuaca dan konflik, pembicaraan mereka beralih dari strategi tempur ke kekhawatiran pribadi.
"Aku hanya berharap Gumi baik-baik saja," gumam Shin, sambil memimpin jalan melalui jalur yang ia yakini paling stabil. "Dia memang tangguh, tapi Ranox adalah kerajaannya. Jika ada yang salah, dia pasti menyalahkan dirinya sendiri."
Lyra menghela napas, nadanya lembut—sesuatu yang jarang ia tunjukkan. "Aku khawatirkan Evelia. Dia bukan petarung. Jika benar dia diculik atau terperangkap, dia pasti sangat takut sekarang."
Indra menatap salju di kejauhan, mengangguk setuju. "Itu yang membuatku gila. Aku tahu Gumi sekuat apa. Kalaupun dia tidak bisa mengatasi masalah ini sendiri, itu berarti masalahnya benar-benar di luar kendali. Aku hanya bisa berharap mereka berdua saling menjaga satu sama lain."
Sabre, yang biasanya sinis, kali ini berbicara dengan penuh perhatian. "Kita harus percaya pada Gumi. Dia adalah Ratu Ranox, dia pasti punya rencana darurat. Dan kita hanya perlu tiba di sana secepatnya untuk menjadi bagian dari rencana itu."
Meskipun setiap kilometer yang mereka tempuh semakin terasa berat dan berbahaya, harapan dan doa untuk keselamatan Gumi dan Evelia menjadi bahan bakar yang mendorong keempat sahabat itu maju, melewati setiap Demon, dan menghadapi setiap ancaman Fenrir yang mungkin muncul.
.
.
Perjalanan menuju Ranox menjadi medan tempur yang sesungguhnya. Medan bersalju yang keras memaksa keempat sahabat itu untuk terus berkoordinasi, dan gaya bertarung mereka yang unik kembali terasah sempurna.
Dalam sebuah serangan mendadak di sebuah ngarai es, mereka berhadapan dengan sekawanan Demon yang menyamar dalam badai salju.
Shin adalah yang pertama bereaksi. Dengan sifatnya yang hiperaktif, ia segera melepaskan Teknik Sihirnya. Dengan cepat, ia merapal mantra yang menciptakan dinding es tajam untuk menahan laju Demon, diikuti dengan semburan api biru panas yang kontras dengan lingkungan bersalju, menunjukkan kekuatan elemen yang eksplosif namun terkendali.
"Indra! Ke kanan! Aku membuat celah!" teriak Shin.
Indra menuruti perintah itu. Pedang Kerajaannya yang Sakral dan Suci memancarkan cahaya keemasan. Ia bergerak dengan kecepatan mematikan, mengayunkan pedangnya dalam gerakan penghancuran murni. Setiap tebasan adalah pukulan telak yang didorong oleh kekuatan fisik dan aura suci, menghancurkan Demon yang menabrak dinding es Shin.
Di sisi Indra, Sabre bertarung dengan kecerdasan. Longsword-nya yang dilapisi Sihir memancarkan kilau kehijauan. Ia tidak berfokus pada kekuatan; ia mengincar titik vital musuh atau menggunakan sihirnya untuk mengikat dan melumpuhkan. "Kau terlalu boros energi, Shin!" sindir Sabre, sambil melepaskan rantai sihir yang mengikat kaki tiga Demon sekaligus. "Ingat ajaran Master Zyon di Akademi tentang efisiensi mana!"
Lyra berdiri sedikit di belakang. Dengan pedangnya yang siap sedia, ia memastikan tidak ada Demon yang lolos ke barisan belakang. Ketika ia melihat celah, senapan kaliber besarnya menyalak. Proyektil berenergi Lyra menyasar bagian kepala Demon yang sedang bergumul dengan sihir Sabre, memastikan eliminasi yang cepat dan tanpa sisa.
"Kita sudah seperti tim kotoran yang terlatih lagi," gumam Lyra datar setelah pertempuran usai, menyarungkan senapannya. "Hanya saja, dulu kita tidak harus menghadapi Fenrir."
Di sela-sela pertarungan yang sengit, mereka tetap melaksanakan misi kemanusiaan mereka. Mereka menemukan keluarga yang terperangkap dalam gua es; Shin menggunakan sihir pembuat panasnya untuk menghangatkan mereka, sementara Indra dan Sabre memecahkan es yang menghalangi jalan. Lyra, dengan pengetahuannya yang mendalam, memberikan obat-obatan yang ia bawa.
Momen-momen di tengah kesulitan ini—antara tawa tentang kegagalan mereka di ujian duel Akademi, dan sinkronisasi tanpa kata di medan perang—semakin memperkuat tekad mereka. Ikatan persahabatan mereka adalah satu-satunya jaminan bahwa mereka akan selamat dan berhasil menyelamatkan Evelia dan Gumi.
.
.
.
Petualangan empat sekawan itu berlanjut di tengah cuaca ekstrem. Kabut salju dan medan yang terjal menjadi ujian harian, namun juga panggung bagi nostalgia dan solidaritas.
Ketika mereka menemukan sebuah desa kecil yang terisolasi dan kehabisan kayu bakar, mereka langsung turun tangan. Shin, dengan semangat hiperaktifnya, segera menggunakan teknik sihirnya untuk memindahkan dan memotong beberapa pohon yang tumbang di dekat sana, menjadikannya tumpukan kayu bakar yang siap pakai dalam waktu singkat.
"Ingat saat kau menggunakan mantra pemotong kayu ini untuk mencuri kue dari dapur Akademi, Shin?" tanya Lyra, nadanya geli.
Shin tertawa. "Teknik yang efisien harus digunakan untuk segala tujuan, Lyra! Kau tahu sendiri!"
Sementara itu, Lyra mengamankan perimeter desa. Ia berjalan tenang di tengah salju, pedang di satu tangan, dan senapan di tangan lain. Dengan tipe observer yang dimilikinya, ia memastikan tidak ada bahaya yang tersembunyi. Dua tembakan presisi dari senapannya mengeliminasi Demon pemangsa yang mencoba mendekati desa dari hutan.
"Aku selalu terkesan dengan ketenanganmu, Lyra," ujar Sabre, yang tengah membantu warga desa memperbaiki atap yang rusak dengan sihir konstruksi yang disalurkan melalui longsword-nya. "Kau selalu yang paling tenang di bawah tekanan, bahkan saat kita harus berhadapan dengan Master Ryker."
"Itu karena aku sudah menghitung semua variabel," jawab Lyra. "Tidak seperti dirimu, Sabre. Kau terlalu memikirkan variabel dan akhirnya gerakanmu melambat!"
Tiba-tiba, teriakan peringatan terdengar. Sekelompok Demon yang lebih besar muncul dari balik bukit.
Indra segera bergerak. Pedang Kerajaannya yang Sakral dan Suci memancarkan cahaya yang kuat, ia mengambil posisi terdepan. "Saatnya berhenti berdiskusi!" seru Indra. "Ingat tujuan kita!"
Indra, dengan kekuatan dan kesuciannya, menahan serangan langsung. Sabre melapisinya dengan perisai sihir tambahan sambil melepaskan serangan jarak jauh. Lyra memberikan cover fire dari kejauhan. Dan Shin, dengan sihirnya yang cepat dan serbaguna, mengatasi Demon yang mencoba menyelinap ke sayap.
Bantuan yang mereka berikan kepada rakyat jelata dan sinergi bertarung mereka adalah cerminan janji yang mereka buat di Akademi: untuk menggunakan kekuatan mereka demi kebaikan, sebuah janji yang kini menjadi jangkar bagi dunia yang semakin terancam.
.
.