NovelToon NovelToon
Sayap Patah Angkasa

Sayap Patah Angkasa

Status: tamat
Genre:Angst / Tamat
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Realrf

Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sayap lain

Ultimatum dingin dan final itu menggantung di udara kamar yang pengap, membelah keheningan seperti bilah pisau. Lila terpaku di tempatnya, amarah yang tadi membakarnya kini padam seketika, digantikan oleh hawa dingin yang merayap dari tulang punggungnya. Ia menatap adiknya, remaja kurus dengan piyama kebesaran dan tatapan mata yang terlalu tua untuk usianya, lalu beralih pada Angkasa, yang kini menatap Gilang dengan ekspresi yang tak terbaca.

Keheningan itu pecah oleh suara serak Angkasa.

“Oke.”

Satu kata. Begitu singkat, tetapi cukup untuk membuat Lila dan Gilang sama-sama menahan napas.

“Mas?” bisik Lila, tidak yakin dengan apa yang baru saja ia dengar.

Angkasa tidak menatapnya. Matanya masih terpaku pada Gilang.

“Aku setuju dengan perjanjianmu.”

Gilang menyipitkan matanya, seolah mencari kebohongan.

“Lo nggak lagi bohongin gue, kan? Cuma biar gue diem?”

“Aku nggak pernah bohong sama kamu,” jawab Angkasa pelan. Ada kelelahan yang begitu dalam di suaranya, kelelahan yang melampaui sekadar penyakit fisik.

“Aku akan berjuang. Kamu juga harus.”

Gilang menatapnya beberapa detik lebih lama, lalu mengangguk singkat, seolah kesepakatan bisnis yang berat baru saja disetujui. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia membalikkan badan, menyeret tiang infusnya kembali ke balik tirai dengan suara berderit yang memilukan. Pertunjukan keberaniannya selesai.

Lila akhirnya bisa bernapas, meski terasa seperti menghirup serpihan kaca. Ia mendekati Angkasa, hatinya campur aduk antara lega dan rasa bersalah yang menusuk.

“Mas, maafkan aku. Aku… aku nggak seharusnya…”

“Nggak apa-apa, La,” potong Angkasa, akhirnya menoleh padanya. Senyum tipis tersungging di bibirnya, tetapi tidak mencapai matanya.

“Kamu benar. Aku memang egois.”

“Bukan, bukan itu maksudku,” sanggah Lila cepat, menggelengkan kepalanya.

“Aku cuma takut. Aku takut kehilangan kamu.”

Angkasa meraih tangan Lila, menggenggamnya dengan sisa-sisa kekuatan yang ia punya.

“Aku tahu.”

Mereka duduk dalam diam untuk waktu yang lama. Suara monitor jantung Gilang kembali menjadi satu-satunya musik di ruangan itu, detaknya teratur, seolah menjadi saksi bisu dari gencatan senjata yang baru saja terjadi. Namun, Angkasa tidak merasakan kemenangan. Ia merasa seperti baru saja menandatangani kontrak yang akan mengkhianati jiwanya sendiri. Ia berjanji untuk berjuang, tetapi perjuangan macam apa yang akan ia jalani?

Pandangannya jatuh pada jendela kamar yang gelap, memantulkan bayangan samar dirinya, wajah tirus, kulit sepucat dinding, dan mata yang cekung. Bayangan itu tiba-tiba menyeretnya jauh ke masa lalu, ke sebuah ruangan lain yang juga berbau disinfektan, ke hadapan ranjang lain tempat seorang pria yang lebih kuat darinya juga sedang bertarung dalam perang yang sama.

Flashback on

Delapan belas tahun yang lalu.

Bau rumah sakit saat itu berbeda. Lebih tajam, lebih menusuk hidung. Angkasa kecil, tujuh tahun, duduk di kursi plastik yang dingin di samping ranjang ayahnya. Kakinya yang mungil tidak sampai ke lantai, berayun-ayun di udara. Ia tidak mengerti apa itu ‘Anemia Aplastik’, ia hanya tahu bahwa ayahnya, pahlawannya yang dulu bisa mengangkatnya dengan satu tangan, kini lebih banyak berbaring.

Ayahnya menoleh, senyumnya masih hangat meski bibirnya pecah-pecah.

“Kenapa murung, jagoan?”

“Ayah kapan pulang?” tanya Angkasa kecil, pertanyaan yang sama yang ia ajukan setiap kali berkunjung.

Ayahnya terbatuk pelan sebelum menjawab.

“Ayah capek, Sa. Lari terus itu capek.”

“Tapi dokter bilang Ayah bisa sembuh kalau diobati terus.”

Pria itu menghela napas panjang, tatapannya menerawang ke langit-langit putih yang kusam.

“Iya, bisa. Tapi obatnya itu seperti lari di jalan yang penuh duri. Setiap langkah sakit, dan belum tentu sampai di ujung jalan. Ayah… Ayah mau pilih jalan lain.”

“Jalan yang mana?”

Ayahnya menatapnya lekat-lekat, mencoba menjelaskan konsep orang dewasa pada pikiran seorang anak kecil.

“Jalan yang lebih pendek, tapi teduh. Nggak ada duri. Ayah bisa istirahat dengan tenang di sana. Ayah bisa lihatin kamu dari tempat yang lebih enak.”

Angkasa kecil mengerutkan kening, tidak mengerti.

“Tapi aku maunya Ayah di sini.”

“Ayah tahu,” kata ayahnya, suaranya serak. Ia mengulurkan tangannya yang kurus, mengusap kepala Angkasa.

“Dengerin Ayah. Jadi laki-laki itu bukan tentang seberapa lama kamu bisa berdiri, tapi tentang seberapa gagah kamu saat memilih untuk duduk. Berjuang itu nggak selalu berarti maju terus sampai hancur. Kadang, berjuang itu artinya tahu kapan harus berhenti dengan kepala tegak.”

Angkasa tidak pernah melupakan kata-kata itu. Seminggu kemudian, ayahnya menolak perawatan kemoterapi agresif yang disarankan dokter. Ia memilih perawatan paliatif, menghabiskan sisa dua bulannya dengan lebih banyak tersenyum dan lebih sedikit meringis kesakitan. Angkasa melihatnya pergi dengan damai, bukan dengan raga yang hancur lebur oleh obat-obatan. Ayahnya tidak menyerah. Ayahnya memilih.

Flashback off

“Mas?”

Suara lembut Lila menarik Angkasa kembali ke masa kini. Ia mengerjapkan mata, bayangan ayahnya memudar dari pantulan jendela, menyisakan wajahnya sendiri yang sama lelahnya.

“Kamu melamun?” tanya Lila khawatir.

Angkasa mengangguk pelan.

“Aku cuma… teringat ayahku.”

Ini adalah pertama kalinya ia membicarakan ayahnya secara spesifik pada Lila. Lila hanya diam, memberinya ruang untuk melanjutkan.

“Dia juga sakit sepertiku. Penyakit yang hampir sama,” lanjut Angkasa, suaranya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

“Aku dulu nggak ngerti kenapa dia berhenti berobat. Aku pikir dia menyerah. Aku pikir dia ninggalin aku.”

Lila meremas tangannya lebih erat.

“Dia nggak ninggalin kamu, Mas. Dia cuma…”

“Dia cuma lelah,” potong Angkasa, menyelesaikan kalimat Lila dengan pemahaman yang baru saja ia temukan kembali.

“Dia nggak menyerah, La. Dia memilih. Dia memilih kedamaian daripada penderitaan yang sia-sia. Dia memilih untuk dikenang sebagai ayah yang tersenyum, bukan sebagai pasien yang sekarat.”

Lila menatapnya, mulai memahami arah pembicaraan ini. Firasat buruk yang tadi sempat hilang kini kembali merayapinya.

“Jadi… janjimu pada Gilang tadi…”

“Aku akan menepatinya,” kata Angkasa, kini menatap lurus ke mata Lila. Sorot matanya begitu jernih, begitu tenang, seolah badai di dalam dirinya telah reda.

“Aku akan berjuang. Aku janji.”

Lila merasakan sedikit kelegaan, tetapi ada sesuatu dalam nada bicara Angkasa yang membuatnya waspada.

“Syukurlah. Aku tahu kamu bisa. Kita akan hadapi kemoterapi itu bersama-sama.”

Angkasa menggeleng pelan, senyumnya penuh teka-teki.

“La, perjuangan ayahku bukan tentang menambah hari dalam hidupnya. Tapi tentang memberi makna pada hari-hari terakhirnya.”

Jantung Lila berdebar kencang.

“Apa maksudmu?”

“Maksudku, aku akan berjuang,” ulang Angkasa, setiap katanya diucapkan dengan penekanan yang dalam dan penuh arti.

“Aku akan berjuang lebih keras dari siapa pun. Tapi, perjuanganku mungkin akan terlihat sangat berbeda dari yang kamu bayangkan.”

Udara di antara mereka terasa berat, sarat dengan makna yang tak terucap. Lila menelan ludah, mencoba memahami apa yang tersembunyi di balik mata tenang itu. Rasa takut yang baru mulai mencekiknya, lebih dingin dan lebih tajam dari sebelumnya. Ini bukan lagi tentang menyerah. Ini tentang sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih besar dan lebih final.

“Berbeda… bagaimana, Mas?” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.

“Apa yang kamu rencanakan?”

Angkasa tidak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam-dalam, tatapannya beralih dari wajah Lila ke arah tirai yang memisahkan mereka dengan Gilang. Kelembutan yang tak terhingga memenuhi matanya, sebuah ekspresi cinta yang melampaui romansa, sebuah pengorbanan yang mulai terbentuk.

“Perjuanganku,” katanya pelan, kembali menatap Lila, matanya mengunci pandangan wanita itu dengan intensitas yang membuat dunia seakan berhenti berputar.

“Bukan lagi tentang menambal sayapku sendiri yang sudah robek.”

“Lalu… tentang apa?” desak Lila, hatinya serasa diremas.

Angkasa tersenyum, senyum paling tulus dan paling menyakitkan yang pernah Lila lihat.

“Ini tentang memastikan… ada sayap lain yang bisa terbang.”

1
Puput Assyfa
pada akhirnya Angkasa menyerah oleh takdir dan pusat kehidupannya diberikan pada Gilang, pengorbanan Angkasa yang menyedihkan mak🤧
Puput Assyfa
menanti harapan palsu🤧
Puput Assyfa
Mak bull aq butuh pelukan, sumpah gak kuat 😭😭😭
Puput Assyfa
makin kesini makin gak kuat baca tp penasaran sama angkasa 😭😭😭
Puput Assyfa
ya Allah Angkasa aku takut😭😭😭
Puput Assyfa
bener2 Laras bikin muak sikapnya yg arogan dan gak peduli sama anak kandungmu
Puput Assyfa
setiap Angkasa sekarat semakin takut akan kehilangan Angkasa dan tiba2 menutup mata untuk selamanya 😭😭
Puput Assyfa
Laras muncul2 hanya untuk menyakiti angkasa, bukannya sedih anaknya sakit atau prihatin malah marah2 GK jelas km Laras
Puput Assyfa
bahagia yg sederhana tapi berkesan untuk Angkasa disisa waktunya yg tinggal sedikit 🤧
Puput Assyfa
selamat ya Angkasa km sudah memiliki istri yg akan setia menemani disisa hidupmu, walaupun menyakitkan tp aq bahagia akhirnya km punya keluarga baru angkasa.
Puput Assyfa
Laras kah yg datang
Puput Assyfa
walaupun hanya seminggu waktu yg tersisa setidaknya Angkasa merasakan kebahagiaan disisa hidupnya bersama orang yg dicintainya yaitu Lila
Puput Assyfa
semakin kesini makin menyesakan da2 😭 angkasa yg malang
Puput Assyfa
apa keinginan terakhir mu kasa? apa km ingin menikah dgn Lila
Realrf
berasa nggak 😩
Puput Assyfa
hingga Angkasa sekar4tpun Laras tidak muncul untuk menemuinya, hanya Gilang dan Lila yg setia menemaninya disaat2 terakhir Angkasa
Puput Assyfa
nyesek bgt ya Allah 😭😭
Puput Assyfa
keinginan Angkasa sungguh mulia tp aq jg GK rela km pergi untuk selamanya dgn takdir yg seperti ini Angkasa 🤧
Puput Assyfa
suatu saat kalian aq bersama dgn keadaan yg berbeda karena Gilang akan hidup dengan jantung Angkasa menjadi bagian dr Gilang
Puput Assyfa
kematian Angkasa sudah di depan mata tinggal menunggu hitungan bulan sedangkan laran km salah menolong orang ankmu sendiri km abaikan apa km akan diam saja sampa angkasa meninggal Laras
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!