NovelToon NovelToon
Dia Dan 14 Tahun Lalu

Dia Dan 14 Tahun Lalu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Enemy to Lovers / Cintapertama / Romantis / Romansa / TimeTravel
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Spam Pink

ini adalah perjalanan hidup clara sejak ia berumur 5 tahun membawanya bertemu pada cinta sejatinya sejak ia berada di bangku tk, dan reymon sosok pria yang akan membawa perubahan besar dalam hidup clara. namun perjalanan cinta mereka tidak berjalan dengan mulus, akankah cinta itu mempertemukan mereka kembali.....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Spam Pink, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

episode 23

Pagi itu matahari masih malu-malu muncul, tapi udara sudah cukup hangat. Embun masih betah bergantung di ujung dedaunan, dan desa terasa tenang, seperti belum siap untuk memulai hari. Clara berjalan pelan menuju lapangan kecil tempat ia janjian bertemu Reymon. Ada sesuatu yang berat di dadanya. Setiap langkah terasa seperti menuju sesuatu yang tidak ingin ia hadapi.

Reymon sudah menunggu duduk di bangku kayu dekat lapangan, dengan hoodie tipis warna abu dan rambut sedikit berantakan seperti baru bangun tidur. Tapi mata itu—mata yang biasanya cerah—kali ini terlihat berbeda. Ada lelah halus, mungkin karena semalam mereka chat cukup lama, atau mungkin… ia merasa sesuatu.

“Clar!” Reymon berdiri sambil tersenyum kecil, mencoba terlihat segar.

Clara balas tersenyum, tapi bibirnya terasa kaku. “Pagi, Rey.”

Mereka duduk bersebelahan. Beberapa anak kecil main bola di kejauhan, suara sepatu menyentuh tanah mengisi kesunyian yang menggantung di antara mereka.

Clara menghela napas panjang. “Rey, aku mau bilang sesuatu.”

Reymon menoleh cepat. “Kenapa nadanya serem gitu?”

Clara menatap jari-jarinya sendiri. “Aku… harus balik ke kota. Dua hari lagi.”

Reymon benar-benar terdiam. Senyumnya menghilang seketika, seperti matahari yang ditutup awan tebal. “Dua… hari lagi? Kok cepet banget?”

“Perkuliahan mulai minggu depan,” Clara menjelaskan dengan suara pelan. “Aku harus siap-siap.”

Reymon memejam mata beberapa detik, lalu membuka pelan. “Jadi semua rencana kita buat jalan-jalan itu…”

“Kayaknya cuma bakal jadi wacana,” Clara menyelesaikan dengan nada menyesal.

Beberapa detik sunyi. Reymon menunduk, bahunya turun sedikit seperti kehilangan tenaga. “Aku kira masih seminggu lagi, Clar.”

“Aku juga,” Clara tersenyum sendu. “Aku kira kita masih punya banyak hari.”

Reymon menelan ludah, suaranya pecah halus. “Kamu… balik lagi ke kota itu berarti jauh lagi dari aku.”

Clara menatapnya, hatinya diremas. “Rey… jarak kan cuma jarak.”

“Tapi kamu tau sendiri,” Reymon menyentuh lututnya canggung, “aku bakal tinggal di desa ini dulu, baru nanti masuk akademi lagi. Kita bakal jauh, Clar. Jauh banget.”

Clara mendekat sedikit. “Rey, jarak nggak akan bikin aku berubah.”

“Tapi aku belum siap ditinggal lagi,” Reymon berkata pelan, seperti takut suaranya didengar angin. “Kita baru ketemu setelah hampir dua bulan, baru deket lagi… dan kamu balik.”

Clara mengusap punggung tangannya dengan lembut. “Aku juga nggak siap. Tapi ini cuma sementara.”

Reymon tidak menjawab. Ia hanya menoleh ke arah lapangan kosong dan menghela napas panjang, sangat panjang, seakan mengeluarkan semua rasa yang ia senamkan selama beberapa hari.

Clara memegang tangannya. “Rey.”

Reymon menoleh.

“Aku bakal ketemu kamu lagi.”

Dan untuk pertama kalinya pagi itu, senyum kecil muncul di wajah Reymon—sedikit, rapuh, tapi nyata.

“Aku pegang itu, Clar.”

Malam itu suasana rumah nenek terasa sangat tenang. Lampu ruang tengah menyala redup, hanya menyisakan cahaya kekuningan yang lembut seperti senyuman tua. Clara duduk di karpet, memeluk bantal kecil, sementara Reymon duduk bersandar di sofa, menatap lantai tanpa fokus.

Mereka baru selesai ngobrol tentang hal-hal ringan, tapi dari tadi Clara bisa melihat jelas kalau Reymon menyimpan sesuatu. Ada beban di wajahnya yang tidak ia sembunyikan dengan baik.

“Rey,” Clara memanggil lembut. “Kamu kenapa? Dari tadi diem.”

Reymon mengusap tengkuknya, napasnya berat. “Clar… aku masih kepikiran kamu besok pergi.”

Clara menunduk, jantungnya ikut menegang.

Reymon melanjutkan, suaranya serak. “Aku seneng kamu balik kuliah, aku bangga… tapi aku sedih juga. Kita baru deket banget, baru ketawa tiap hari, baru ngerasain hal-hal indah ini… tapi besok kamu balik lagi ke kota yang jauh.”

Clara menatap wajahnya. Mata Reymon tidak merah, tapi berkaca-kaca. Seperti seseorang yang berusaha keras menahan perasaannya supaya tidak jatuh.

“Aku takut,” Reymon mengaku pelan. “Takut kamu sibuk, takut jarak bikin kamu capek, takut kamu ketemu dunia yang lebih besar dan aku cuma jadi… kenangan di desa.”

“Rey…” Clara nyaris meraih tangannya tapi Reymon menunduk lagi.

“Aku tau kamu sayang aku. Aku tau kamu nggak main-main… tapi jarak itu…” ia menarik napas berat, “kadang bisa jahat, Clar.”

Clara merasa dadanya ditarik dari dalam.

“Rey,” ia memanggil lagi, lebih lembut.

Reymon belum menoleh.

Dan saat itulah Clara mendekat perlahan, duduk tepat di hadapannya.

“Rey, lihat aku,” bisiknya.

Pelan-pelan Reymon mengangkat wajah.

Mata itu… rapuh. Terlalu rapuh untuk hatinya.

Tanpa banyak pikir, tanpa banyak kata—Clara memegang kedua sisi wajah Reymon dengan kedua tangannya.

Reymon terpaku. “Clar, kamu—”

Dan sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya…

Clara mencondongkan tubuh dan menciumnya.

Bukan lama.

Bukan panik.

Bukan terburu-buru.

Ciuman itu pelan, singkat, namun penuh perasaan—seperti cara seseorang berkata “aku tetap di sini,” tanpa suara.

Saat bibir mereka terlepas, Reymon benar-benar membeku. Matanya membesar, napasnya tertahan, wajahnya benar-benar kaget sampai pipinya memerah.

“C-Clar…” suaranya patah.

Clara tersenyum lembut, wajahnya juga memanas tapi matanya tegas. “I love you more, Reymon.”

Reymon berkedip cepat, masih berusaha mencerna apa yang baru terjadi.

Clara menatapnya dalam, suaranya bergetar namun tulus, “Aku akan selalu mencintaimu, meski jarak nanti bakal jauh banget. Meski kamu di desa, lalu masuk akademi militer… dan aku di kota. Hatiku tetap ke kamu.”

Reymon menggigit bibir, emosinya hampir pecah.

Clara menambahkan dengan suara yang semakin pelan, “Aku harap… ciuman kedua kita setelah pertemuan ini… nggak akan pernah bikin kamu lupa sama aku.”

Kata-kata itu seperti menghantam dada Reymon.

Pelan, ia memegang tangan Clara yang masih berada di pipinya. “Clar… mana mungkin aku lupa.”

Clara tersenyum, matanya berkaca-kaca.

Reymon mendekat sedikit, suaranya parau dan jujur, “Kamu itu rumah paling jauh… dan paling aku mau pulang.”

Clara menutup mata, menahan tangis bahagia.

Malam itu mereka tidak butuh banyak kata lagi. Mereka hanya duduk berdekatan, saling menggenggam tangan, membiarkan detik jam menjadi saksi janji diam yang tidak perlu ditambah apa-apa.

Dan dari sinilah kisah perpisahan keesokan hari terasa lebih berat… namun lebih sempurna.

Keesokan harinya...

Pagi itu segala sesuatu terasa lebih cepat dari biasanya. Clara menutup koper, memastikan semuanya rapi. Neneknya sudah duduk di teras menunggu mobil sewaan yang akan menjemput. Clara beberapa kali melirik jam, berharap Reymon muncul… tapi ia tidak datang.

Hatinya menurun sedikit.

Reymon selalu muncul. Selalu.

Tapi kali ini… tidak ada tanda-tanda.

Mobil putih berhenti di depan rumah. Sopir turun sambil tersenyum sopan. “Mbak Clara? Sudah siap?”

Clara mengangguk. “Iya, bentar.”

Ia menatap jalan kecil di depan rumah. Jalan tempat Reymon biasanya muncul sambil tersenyum menyebalkan, atau pura-pura telat, atau datang sambil bilang “Maaf Clar, tadi cuci muka kelamaan.”

Tapi jalan itu kosong.

Clara menarik napas panjang. Mungkin Reymon sibuk. Mungkin ia nggak bisa datang. Mungkin… ia sengaja nggak mau sedih di depan aku.

Ia meraih koper, bersiap naik.

Saat tangan Clara menyentuh gagang pintu mobil—

“CLARA!”

Clara membeku.

Suara itu.

Langkah itu.

Nafas tergesa itu.

Ia berbalik cepat, dan matanya langsung panas.

Reymon berlari dari ujung jalan—tanpa jaket, tanpa peduli sepatu penuh debu, tanpa memikirkan apa pun. Wajahnya merah, napasnya berat, rambutnya berantakan sekali.

Begitu sampai di depan Clara… Reymon langsung memeluknya.

Bukan sekadar memeluk.

Tapi memeluk seakan-akan itu satu-satunya cara agar Clara tidak hilang dari dunia.

Clara terkejut, lalu perlahan memeluk balik. Tubuh Reymon sedikit gemetar.

“Rey… kamu lari?”

Reymon mengangguk di bahunya, suaranya pecah. “Aku kira aku nggak bakal sempat… aku kira kamu bakal pergi tanpa aku lihat terakhir kali.”

Clara mencengkeram bajunya. “Rey… aku nunggu kamu.”

Reymon menarik tubuhnya sedikit untuk melihat wajah Clara. Mata itu merah. Sembab.

“Clara,” ia berkata dengan suara serak, “jaga diri di sana ya. Jangan sering begadang. Jangan stres sendirian. Dan… jangan lupa pulang kalau ada libur.”

Clara mengusap pipinya lembut. “Aku pulang, Rey. Ke sini. Ke kamu.”

Reymon mengembus napas gemetar. “Aku benci kamu pergi.”

“Tapi kamu banggain aku di sana, kan?” Clara tersenyum kecil.

Reymon menunduk, tersenyum pahit. “Aku bangga banget sama kamu.”

Clara meraih pipinya. “Aku juga bangga sama kamu.”

Sopir batuk pelan memberi kode. Clara tersenyum minta maaf.

“Rey… aku pergi dulu ya.”

Reymon mengangguk. “Aku tunggu kamu.”

Clara naik ke mobil, menatap Reymon yang berdiri di depan pagar rumah sambil menahan air mata.

Mobil mulai berjalan.

Reymon mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak mengejar.

Clara membuka jendela dan tersenyum. “Rey… aku cinta kamu.”

Reymon menaikkan sedikit bahunya, suaranya parau. “Aku juga cinta kamu.”

Clara menutup jendela saat mobil melaju, tapi matanya tidak lepas dari bayangan Reymon yang mengecil… mengecil… hingga akhirnya hilang dari pandangan.

Baru lima menit mobil berjalan, ponsel Clara berbunyi.

Reymon:

Clar… aku udah kangen.

Clara tersenyum dengan mata panas.

Clara:

Baru lima menit, Rey.

Reymon:

Terus kenapa? Aku tetep kangen.

Clara:

Aku juga.

Pesan demi pesan saling dikirim.

Tentang rindu.

Tentang rasa sedih.

Tentang janji.

Tentang hal-hal kecil yang ingin mereka lakukan kalau suatu hari bertemu lagi.

Saat Clara sampai di rumah nya, ia langsung menekan tombol video call.

Reymon mengangkat dalam hitungan dua detik.

Wajahnya muncul di layar.

Dan Clara langsung terdiam.

Mata Reymon… sangat merah. Sembab. Seperti ia benar-benar menangis cukup lama setelah Clara pergi.

“Rey…” suara Clara melemah. “Kamu nangis?”

Reymon berusaha tersenyum. “Ah… cuma masuk angin.”

Clara memandangnya lama. “Rey.”

Reymon mengusap mata cepat, malu sendiri. “Ya… aku takut kamu pergi terus lupa aku.”

Clara menutup mulut menahan isak. “Aku nggak akan lupa kamu. Nggak akan.”

Reymon mengangguk. “Aku tau.”

Clara ingin memanjat layar dan memeluknya jika bisa.

Hari-Hari LDR Dimulai

Hari berganti hari, tapi mereka tidak pernah benar-benar jauh. Meski sibuk, mereka selalu menyisihkan waktu untuk:

ngobrol tentang hari mereka, telepon malam-malam sambil ketawa, kirim foto makanan, saling goda tipis-tipis, saling hibur ketika penat datang

Reymon sering mengirim foto latihannya; Clara mengirim foto tugas kuliahnya. Mereka saling menyemangati seperti dua lampu kecil di tengah jarak yang panjang.

Dan mereka bahagia meski tidak bersama secara fisik.

Hingga suatu hari…

Reymon menatap ponselnya dengan cemas.

Sudah jam 8 malam.

Clara tidak membalas pesan sejak pagi.

Tidak ada “hai”.

Tidak ada “aku di kampus ya”.

Tidak ada “baru bangun hehe”.

Hampir 14 jam.

Reymon menggigit bibir, rasa khawatir naik.

Akhirnya ia menekan nama yang baru ia dapatkan beberapa bulan lalu—teman Clara yang tinggal di sebelah rumahnya.

Reymon:

Dinda, kamu tau Clara di mana? Seharian dia nggak balas aku. Aku takut kenapa-napa.

Pesan itu terkirim.

Lima menit kemudian, ponsel Reymon berbunyi—Clara akhirnya online.

Saat membuka pesan Reymon…

Ia terdiam.

Ada sekitar 27 pesan belum terbaca.

Beberapa panggilan tak terjawab.

Dan satu chat dari Dinda: “Rey nanya kamu di mana tadi.”

Clara menggigit bibir.

Sial… Rey pasti panik…

Ia membuka chat Reymon.

BERSAMBUNG.......

1
mindie
lanjut dong author ceritanya, ga sabar part selanjutnya
mindie
AAAAAA saltinggg bacanya😍😍🤭
Caramellmnisss: terimakasih kak☺️
total 1 replies
mindie
layak di rekomendasikan
Charolina Lina
novel ini bagus banget 👍🏻
Caramellmnisss: terimakasih kak😍🙏
total 1 replies
mindie
baguss bngt tidak sabar menenunggu updatetanny author🤩
Caramellmnisss
kami update tiap malam yah kak, jangan ketinggalan setiap eps nya yah☺️
Miu miu
Jangan lupa terus update ya, author!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!