Mereka memanggilnya Reaper.
Sebuah nama yang dibisikkan dengan rasa takut di zona perang, pasar gelap, dan lingkaran dunia bawah.
Bagi dunia, dia adalah sosok bayangan—tentara bayaran tanpa wajah yang tidak meninggalkan jejak selain mayat di belakangnya.
Bagi musuh-musuhnya, dia adalah vonis mati.
Bagi saudara seperjuangannya di The Veil, dia adalah keluarga.
Namun bagi dirinya sendiri... dia hanyalah pria yang dihantui masa lalu, mencari kenangan yang dicuri oleh suara tembakan dan asap.
Setelah misi sempurna jauh di Provinsi Timur, Reaper kembali ke markas rahasia di tengah hutan yang telah ia sebut rumah selama enam belas tahun. Namun kemenangan itu tak berlangsung lama. Ayah angkatnya, sang komandan, memberikan perintah yang tak terduga:
“Itu adalah misi terakhirmu.”
Kini, Reaper—nama aslinya James Brooks—harus melangkah keluar dari bayang-bayang perang menuju dunia yang tak pernah ia kenal. Dipandu hanya oleh surat yang telah lusuh, sepotong ingatan yang memudar, dan sua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SUDAH BISA KEMBALI KERUMAH
Matahari tergantung rendah di langit sore, saat James, Alicia, Chloe, dan Felix berjalan berdampingan.
“Kau ikut pulang bersama kami?” tanya James dengan nada santai, melirik ke arah Alicia.
Alicia berhenti sejenak, menyibak helaian rambut yang terlepas di wajahnya. “Umm... apakah aku harus ikut?”
“Ya, Kakak Cantik, ikutlah dengan kami!” seru Chloe riang, menggenggam tangan Alicia tanpa ragu.
Felix mengangguk, matanya berbinar. “Kita akan bermain bersama!”
Alicia tersenyum melihat semangat mereka, hatinya sedikit meleleh oleh cara alami mereka menerimanya. “Baiklah, aku akan ikut.”
Mereka berbelok ke jalan kecil menuju kearah rumah.
Chloe mulai berlari kecil sambil menggandeng tangan Alicia. “Ayo lomba, Kakak Cantik!”
“Hei, jangan terlalu cepat,” kata James, tapi senyum tipis di wajahnya mengkhianati nada tegasnya.
Alicia menatapnya. “Kau hebat mengurus mereka,” ujarnya hangat.
“Aku berusaha membuat mereka lebih baik,” jawab James sambil tertawa kecil. “Mereka membuatnya terasa mudah.”
Tak lama kemudian mereka tiba di rumah.
“Mama!” seru Felix begitu gerbang berderit terbuka, “Kami pulang!”
Di ruang tamu Sophie duduk bersila di atas karpet, dikelilingi tumpukan rapi kuitansi dengan laptop terbuka di depannya. Dia sedang mengatur keuangan rumah.
Ia menoleh ke atas dan tersenyum. “Selamat datang di rumah, anak-anakku—”
Dia berhenti di tengah kalimat ketika matanya beralih ke arah pintu masuk.
“...Empat anak?” tambah Felix sambil terkekeh, menunjuk sosok di belakang James.
Alis Sophie terangkat, pandangannya berpindah ke wanita muda yang anggun berdiri di samping James.
“Oh Tuhan...” gumam Sophie pelan sambil berdiri, senyumnya melebar. “Jadi, James sudah membawa temannya kerumah?”
Tatapannya beralih kepada Alicia.
Alicia berdiri tegak dengan mengenakan blus krem lembut dan rok lipit biru tua. Rambut hitam panjangnya diikat longgar ke belakang, wajahnya tenang namun memancarkan keanggunan.
Bagi Sophie, wajah itu terasa begitu familiar.
“Kau, sayang, siapa namamu?” tanya Sophie sambil memiringkan kepala sedikit.
Alicia menunduk sopan. “Halo, Nyonya. Namaku Alicia Remington.”
“Oh... Remington?” ulangnya lembut.
“Kau tahu... kau mirip sekali dengan ibumu. Cantik seperti Kakak Elizabeth,” ucapnya lembut.
Alicia menatap terkejut. “Kau mengenalnya, Nyonya?”
Sophie mengangguk pelan, lalu duduk kembali di sofa. “Ya. Elizabeth adalah senior-ku di sekolah menengah. Ayahmu, Kakak Alexander, dan aku—kami semua bersekolah di tempat yang sama. Simon, Alexander, dan aku dulu selalu bersama. Kami adalah trio paling berisik di kafetaria.”
Mata Alicia membulat. “Benarkah? Aku tak pernah mendengar Ibu bercerita tentang teman-teman sekolahnya...”
“Ibumu memang sedikit pendiam,” ujar Sophie sambil tertawa kecil. “Tapi aku pernah melihatmu ketika masih kecil—bahkan masih di dalam stroller. Rasanya aneh melihatmu sekarang, sudah dewasa dan sangat cantik.”
James memperhatikan dari samping, senyum kecil muncul di bibirnya.
“Masuklah, sayang—jangan berdiri di sana saja,” kata Sophie ceria, mempersilakan Alicia ke sofa. “Anggap saja rumah sendiri.”
Alicia tersenyum dan mengangguk sopan, duduk di samping Sophie sementara James duduk di hadapan mereka.
Sophie menatap anak laki-lakinya. “Jadi, bagaimana hari pertamamu di kampus, Nak? Sudah bisa menyesuaikan diri?”
James duduk bersandar ke depan, lengan disandarkan di lutut. “Baik, Ma. Masih belum terbiasa dengan kelas, tapi... aku menyesuaikan diri sedikit demi sedikit.”
Sementara Chloe dan Felix mengeluarkan buku tugas, James bergabung dengan mereka di meja belajar kecil di pojok ruangan.
“Kakak, delapan kali tujuh berapa?” tanya Felix sambil mengernyit.
“Lima puluh enam,” jawab James cepat, sambil mengacak rambut adiknya.
“Kau bahkan tidak melihat bukunya!” protes Chloe dengan bibir mengerucut. “Curang!”
“Aku hanya menghafalnya,” kata James sambil tersenyum miring, lalu menunduk membantu Chloe membaca.
Sementara itu, di sofa, waktu berlalu pelan ketika Sophie dan Alicia mulai berbincang.
“Kau tahu, ibumu dan aku dulu suka duduk di belakang kelas setiap kali jam pelajaran berakhir,” kata Sophie sambil tersenyum mengenang masa lalu. “Dia akan mengikat rambutnya menjadi sanggul saat ujian. Dia menyebutnya ‘mode fokus.’”
Mata Alicia berbinar mendengar kisah yang belum pernah ia dengar sebelumnya. “Benarkah?”
“Ibumu kuat,” kata Sophie lembut, menatapnya penuh kasih. “Anggun juga. Kau mewarisi keduanya.”
Alicia tersenyum, matanya sedikit berkaca, berterima kasih atas cerita yang mungkin tak pernah sempat disampaikan ibunya sendiri.
Setelah pekerjaan rumah selesai, si kembar langsung melonjak gembira.
“Kakak! Kakak! Ayo main!” seru Chloe, menarik lengan James.
“Kakak Cantik juga! Ayo ikut!” tambah Felix.
Tak lama kemudian, ruang tamu yang tenang dipenuhi tawa. James berperan sebagai monster mengerikan, merangkak di lantai sambil menggeram saat si kembar berlari sambil menjerit gembira, sementara Alicia ikut bermain, mengejar Chloe di sekitar sofa seolah-olah dia juga kembali menjadi anak kecil.
Waktu menunjukkan pukul empat sore.
Alicia melirik ke arah jam yang tergantung di atas pintu ruang tamu. “Oh, sudah jam empat... aku harus pulang,” katanya pelan.
“Sudah ingin pulang?” tanya James, sambil menoleh santai dari tempatnya membantu Chloe menumpuk balok warna-warni.
“Ya... Ayah pasti khawatir. Aku belum mengatakan kalau aku akan pulang terlambat.”
“Aduh... Kita tidak bisa makan malam di sini?” rengek Chloe. “Kita main lagi nanti!”
“Lain kali, anak-anak kecil. Aku berjanji,” kata Alicia sambil tersenyum, menunduk dan mengacak rambut mereka, lalu dia merogoh tasnya dan mengeluarkan dua batang cokelat mini. “Untuk sekarang, ambillah ini.”
Kedua anak kembar itu langsung bersinar kegirangan.
“Datang lagi, Sayang,” ujar Sophie dari sofa sambil menganggukkan kepalanya.
Alicia membalas anggukan. “Terima kasih, Nyonya. Aku senang sekali hari ini.”
“Kau tidak akan pulang sendiri,” kata Sophie tegas. “James, antar dia.”
Alicia segera menyela, “Tidak perlu, sungguh—”
Namun James sudah berdiri, mengambil kuncinya. “Aku akan mengantarmu pulang.”
Alicia tersenyum, diam-diam merasa lega. Dia mengikuti James melewati gerbang menuju garasi.
Sebuah SUV hitam matte berkilau. Lekuk halus, velg hitam krom, jendela gelap, dan desain minimalis yang menunjukkan kemewahan tanpa perlu berlebihan.
“...Ini mobilmu?” tanyanya sambil berkedip.
James hanya mengangguk dan menekan tombol kunci.
Pintu mobil berbunyi klik, terbuka.
Jok kulit hitam legam dengan jahitan merah, dasbor digital. Sistem suaranya hampir tidak terdengar hingga mesin menyala.
Alicia duduk di kursi penumpang, jemarinya menyusuri sandaran tangan. “Rasanya seperti di jet pribadi...”
James menyesuaikan kaca spion. “Nyaman?”
Alicia mengangguk. Lalu bersandar, menyilangkan tangan. “...Hmmm.”
“Ada apa?” tanya James sambil melirik kearahnya.
“Jadi apa ceritanya, ya?” tanya Alicia dengan tatapan curiga pura-pura. “Kau tadi mengatakan tidak terbiasa dengan kelas... sepertinya kau belum pernah ikut sekolah?”
James tetap menatap jalan. “...Oh, tidak seperti itu. Aku hanya belajar di rumah.”
“Benarkah?” alisnya terangkat. “Belajar di rumah apa, tepatnya?”
James mengangkat bahu. “Beladiri. Tinju. Gulat. Yoga. Beberapa bahasa.”
Alicia tertawa keras. “Oke, itu bukan belajar di rumah tapi itu pelatihan menghadapi kiamat.”
James terkekeh. “Mungkin.”
“Kau aneh. Tapi juga manis,” katanya tiba-tiba. “Cara kau berbicara pada ibumu... sopan sekali. Membuatku ingin bersikap lebih baik di rumah.”
James menoleh sekilas. “Ayahmu sering memarahimu?”
“Dia suka menasihati,” Alicia memutar bola matanya. “Dia mengatakan kalau aku keras kepala, ‘sulit diatur’. Yah... memang sedikit benar,” katanya sambil tersenyum lebar.
Alicia menyandarkan pipinya ke jendela sebentar. Lalu berkata santai, “Apakah kau tahu, kalau aku merasa kau ini seperti orang yang menyimpan banyak rahasia. Mobil ini? Tidak murah. Dan pelat nomornya... 7777?”
“Oh itu...” gumam James. “Angka tujuh. Bentuknya seperti sabit milik malaikat maut.”
“...Tentu saja.” Alicia tertawa keras. “Kau kadang terlalu serius, lalu tiba-tiba mengatakan hal seperti itu. Kau seperti... kontradiksi berjalan.”
James mengangkat bahu, sedikit malu.
“Dan jangan pikir aku lupa,” tambahnya, menatap tajam dengan senyum menggoda. “Minggu lalu, saat kita bertelponan kau menyebut dirimu Reaper.”
James terdiam, hanya senyum tipis yang muncul di wajahnya.
“...Jadi? Berapa banyak uang yang kau keluarkan untuk mobil ini, Tuan Pecinta-Kartun-Reaper?”
“Aku tidak tahu,” jawab James jujur. “Orang lain yang membelikannya untukku.”
Alicia berkedip. “...Apakah kau bercanda?”
“Tidak.”
Dia bersandar dan bersiul pelan. “Pasti enak, ya. Ayahku bahkan tidak membiarkanku menyentuh mobil sport-nya.”
James tersenyum miring. “Katakan saja kalau kau berteman dengan seorang Reaper.”
Alicia kembali tertawa.
Dan begitu saja, suasana di antara mereka melunak, tak lagi terasa dingin seperti dua orang asing yang menyembunyikan diri masing-masing.
Mereka akhirnya sampai di rumah Alicia.
Gerbang besi kediaman keluarga Remington terbuka perlahan, menampakkan halaman depan yang luas dengan pagar tanaman yang terpangkas sempurna. Jalan setapak marmer putih melengkung, sebuah kediaman bergaya Eropa megah dengan jendela tinggi melengkung, pilar batu, dan pintu ganda besar berukir motif bunga berlapis emas. Lampu taman mulai menyala seiring senja turun.
Alicia tampak gugup. “Oke, jangan sampai ketahuan Ayahku.”
James menatapnya sambil tersenyum geli. “Apa, kali ini tidak ada pemeriksaan keamanan pribadi?”
Dia tersenyum. “Mereka pasti melapor. Percayalah.”
Alicia membuka pintu dan melangkah keluar. Senyumnya melunak. “Sampai besok, James.”
James mengangguk pelan. “Ya. Sampai jumpa besok.”
Alicia menutup pintu di belakangnya, berjalan cepat melewati jalan berpagar air mancur menuju pintu masuk.
James memutar mobilnya, kembali mengemudi.
Tak lama kemudian ponsel James bergetar.
Dokter Calvin.
Dia menekan kontrol di kemudi. “Ya, Dokter?”
Suara Dokter Calvin terdengar dari ujung sana. “Selamat sore, James. Aku hanya ingin memberitahumu—dokumen pemulangan sudah selesai. Julian siap pulang.”
Genggaman James di setir sedikit mengendur. “Secepat itu?”
“Kami melakukan tes terakhir pagi ini. Semuanya telah stabil. Obat-obatan sudah diberikan, dan aku sudah menjelaskan rutinitas pemulihan. Dia sudah bisa pulang.”
Ada jeda singkat. Suara James terdengar lebih lembut. “Terima kasih, Dokter. Aku akan segera ke sana.”
“Seperti yang kau inginkan,” jawab Dokter Calvin hangat. “Tidak perlu terburu-buru. Dia menunggumu di kamarnya.”
Panggilan berakhir.
kapan lanjutan sistem kekayaan itu author tiap hari saya liht tapi blm ada lanjutan
lanjutkan