NovelToon NovelToon
Mengulang Waktu Untuk Merubah Takdir

Mengulang Waktu Untuk Merubah Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Raja Tentara/Dewa Perang / Kelahiran kembali menjadi kuat / Romansa Fantasi / Time Travel / Reinkarnasi / Mengubah Takdir
Popularitas:747
Nilai: 5
Nama Author: Wira Yudha Cs

Di kehidupan sebelumnya, Max dan ibunya dihukum pancung karena terjebak sekema jahat yang telah direncanakan oleh Putra Mahkota. Setelah kelahiran kembalinya di masa lalu, Max berencana untuk membalaskan dendam kepada Putra Mahkota sekaligus menjungkirbalikkan Kekaisaran Zenos yang telah membunuhnya.
Dihadapkan dengan probelema serta konflik baru dari kehidupan sebelumnya, mampukah Max mengubah masa depan kelam yang menunggunya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wira Yudha Cs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 9 PERJALANAN KE UTARA

Setelah makan malam terakhir di rumah tua mereka, Max dan ibu beserta Ansel segera meninggalkan rumah tersebut. Kereta kuda berjalan pelan menyusuri jalan di dalam hutan. Suara jangkrik, kumbang, dan binatang lainnya bertalu-talu menghiasi suasana malam. Sesekali kuda meringkik dan mendengus kesal karena Ansel menarik buntut mereka. Ya, bocah itu

bersikeras ingin duduk di samping ayahnya yang sedang menjadi kusir. Max sesekali menegur. Namun, bocah itu terus melakukan hal berulang setiap kali dia merasa bosan. Untung saja kuda itu tidak lepas kendali dan melarikan diri. Mereka

mempunyai kesabaran yang sangat luar biasa terhadap bocah itu.

"Ansel, kemarilah. Ayahmu tidak akan bisa berkonsentrasi mengendara jika kamu terus mengganggu kudanya." Suara Riana terdengar dari dalam gerbong. Ansel menoleh ke belakang pada penutup kain hitam yang memisahkan bagian gerbong dengan tempat duduk kusir. Lalu, dia menoleh ke samping, menatap sang ayah yang hanya fokus menatap jalanan gelap di depan sana.

"Ayah, apa aku mengganggumu?" tanya bocah itu dengan suara kecilnya. Max menoleh singkat, lalu kembali fokus menatap jalanan. Ia berkata dengan tenang nada memerintah,

"Masuk dan tidurlah. Jika lapar, makan sesukamu sampai kenyang." Ansel tidak berani membantah. Dia sudah berjanji pada ayahnya untuk patuh. Segera bocah itu mengangguk dua kali sebelum berdiri dengan hati- hati dan masuk ke dalam gerbong. Max tiba-tiba menghela napas lega. Sulit sekali menghadapi anak itu. Namun, Max tidak pernah marah akan tingkahnya. Bagi Max, hal-hal seperti usil dan manja adalah ciri khas dari anak-anak seusia bocah itu. Perjalanan malam ini, Max mengandalkan sinar bulan untuk melihat situasi di sekitarnya. Rute menuju perbatasan Zenos dan wilayah netral memang termasuk jalan hutan yang cukup luas dengan berbagai macam tumbuhan dan binatang. Meski Max tampak santai dalam mengendarai kereta kudanya, dia tetap meningkatkan kewaspadaan. Di malam hari, binatang nokturnal tentu saja menjadi ancaman terbesar. Namun, Max sudah mempersiapkan beberapa senjata khusus dan racun mematikan untuk menghadapi berbagai situasi darurat.

Dalam perjalanan itu, suasana sangat sunyi. Riana tidak menganggu Max dengan bertanya ini dan itu. Ansel cukup patuh dan dia sudah tertidur cukup pulas dengan selimut menutupi tubuhnya. Saat hampir mendekati gerbang perbatasan, malam sudah semakin larut. Dari kejauhan Max

dapat melihat beberapa prajurit yang berjaga. Dia menghentikan kereta kuda sejenak. Dalam beberapa saat, Max

menjentikkan lima jarum secara akurat pada para prajurit itu.

Tak butuh waktu lama, kelima prajurit itu segera ambruk karena rasa kantuk yang sangat berat. Setelah memeriksa dan tidak ada lagi prajurit lain selain mereka, Max kembali mengendari kereta kudanya. Melewati prajurit itu dengan perlahan bahkan nyaris tanpa menimbulkan suara. Kereta kuda Max pun berhasil melewati gerbang perbatasan. Tak jauh dari gerbang perbatasan itu, tepatnya di sisi selatan, ada markas berupa tenda cukup besar. Di mana prajurit yang menunggu giliran berjaga, beristirahat di sana. Max hanya melihat markas itu

dengan tatapan dangkal.

***

Saat matahari pagi menampakkan wujudnya, Max sudah semakin jauh dari Kekaisaran Zenos. Semalaman berkendara membuat kepala Max sedikit berdenyut. Pemuda itu pun

menghentikan kereta kudanya di tepian sungai. Setelah membasuh wajah dan mengosongkan kandung kemihnya, Max kembali segar dan tampak bertenaga. Sang ibu dan Ansel

sepertinya belum bangun. Jadi Max memilih waktu ini untuk beristirahat sejenak.

Dia duduk di pinggir sungai sembari menghirup udara segar.

Pemandangan alam yang membentang dari sisi kiri, kanan, depan, dan belakang adalah penampakan yang sangat indah. Bahkan sangat sulit untuk dideskripsikan oleh kata-kata.

Max baru pertamna kali keluar begitu jauh dari Kekaisaran Zenos. Dia cukup kagum dengan pemandangan alam di

sekitarnya. Sangat bersih dan asri. Dalam perjalanan ini, untungnya Max mempunyai peta peninggalan almarhum kakek, hingga dia dapat dengan mudah memilih rute yang tepat

untuk men capai wilayah Utara.

"Tolong! Tolong! Siapapun tolong aku!" Max tiba-tiba dikejutkan oleh teriakan putus asa itu. Sumber suara berasal dari seberang sungai. Namun, itu tampaknya cukup jauh. Max dapat

mendengarnya dengan jelas karena kemampuan panca inderanya yang semakin tajam setelah kelahiran kembalinya.

Segera pemuda itu berdiri. Dia masih bingung antara ingin pergi

untuk melihat atau bersikap tidak peduli. Namun, saat Max ingin mengabaikannya, suara itu kembali terdengar dengan sangat menyedihkan.

"Tolong!! Tolong aku!! Aku tidak ingin mati di sini!" Setelah itu diiringi dengan isak tangis yang begitu keras. Itu adalah suara laki-laki. Bukan orang dewasa. Bukan pula remaja. Suara itu masih dapat dikategorikan sebagai suara anak-anak. Jika Max

tidak salah memperkirakannya, kemungkinan itu adalah seseorang berusia 9 atau l0 tahunan. Jerit tangisnya semakin terdengar pilu diikuti dengan suara langkah kaki besar seperti ada yang mengejarnya. Hati nurani Max mengatakan untuk segera menolongnya. Pemuda itu pun mengikat tali kuda ke batang pohon terdekat. Lalu dia membuka tirai gerbong dan membangunkan ibunya.

"Ibu, bangunlah." Max membangunkan dengan lembut. Riana mengerjapkan mata beberapa kali sebelum membukanya.

"Kenapa, Max?" tanya wanita paru baya itu dengan nada lemah, lalu dia perlahan mendudukkan dirinya.

"Ibu, tunggu sebentar di sini. Aku ingin memeriksa sesuatu di seberang sungai. Jika ada sesuatu yang mendekat, baik itu manusia atau binatang, lempar ini tanpa keraguan." Max berkata tanpa basa-basi sembari memberikan sang ibu kantong kain hitam yang terisi penuh. Kantong itu dalam keadaan terikat. Riana tidak tahu apa yang ada di dalamnya.

"Jangan dibuka. Aku akan pergi dulu," tambah Max dan pemuda itu segera pergi tanpa menunggu jawaban dari sang ibu.

Sungai yang ada di depan Max saat ini tidak terlalu lebar. Max dapat dengan mudah menyeberanginya hanya dengan satu kali lompatan. Pemuda itu melompati dahan pohon satu ke dahan pohon lainnya. Gerakannya cukup cepat dan berbahaya. Namun, baik itu dahan kecil maupun besar yang pemuda itu injak, dahan tersebut tidak pernah ada yang patah.

Max terus melompati dahan pohon sembari mendengarkan suara isak tangis itu. Semakin jauh Max masuk ke pedalaman hutan, semakin rimbun pepohonan. Dari kejauhan, Max dapat

melihat punggung beruang hitam raksasa sedang berjalan dengan tergesa. Suara langkahnya bahkan terdengar seperti genderang perang. Pemuda itu semakin mempercepat

lompatannya. Jarak antara dia dan beruang itu sudah semakin dekat, suara anak laki-laki yang menangis juga terdengar semakin keras. Max pun segera melompat dari dahan pohon ke kepala beruang raksasa. Kepala besar itu Max jadikan sebagai pijakan untuk melompat ke permukaan tanah, lalu dia

segera menangkap anak laki-laki berpaikan mewah yang sudah tersungkur di tanah. Max tidak berani melawan beruang

itu. Sebab, itu adalah binatang suci yang sudah hampir mencapai ranah dewa. Max paham akan kemampuannya, jika dia bertarung dengan binatang itu, dia hanya akan mengantarkan nyawa ke gerbang kematian.

Maka dari itu, setelah berhasil menangkap anak laki-laki yang

sepertinya dari keluarga bangsawan itu, Max dengan cepat kembali melompati dahan pohon demi dahan pohon untuk

menjauh dari bidang pandang sang beruang raksasa. Anak laki-laki itu masih tertegun dan linglung. Dia hanya merasa tubuhnya terangkat dan hembusan angin begitu cepat menerpa tubuhnya. Anak itu tahu ada seseorang yang telah menyelamatkannya.

Max menggendong anak laki-laki itu seperti dia menggendong Ansel saat pertama kali mereka bertemu. Untungnya anak itu tidak terlalu berat. Gerakan Max jadi tidak terhambat. Saat bergegas ke arah beruang raksasa, Max tidak terlalu

memperhatikan sekitar. Namun, ketika ia melarikan diri dari makhluk itu, Max dapat melihat kereta kuda terbalik dan beberapa potongan tubuh manusiadi tanah. Pemuda itu langsung menyimpulkan, kemungkinan anak dalam gendongannya ini adalah satu-satunya yang selamat dari kejaran beruang.

Butuh waktu cukup lama sampai akhirnya Max tiba di tepi sungai. Pemuda itu segera menyeberangisungai lagi untuk tiba di keretakudanya. Riana yang melihat itu darikejauhan, langsung turun dari gerbong dan berlari mendekati sang putra.

"Max! Apa yang terjadi?" tanya Riana dengan Panik.

Max tidak langsung menjawab. Atensinya masih pada anak laki-laki di gendongannya itu. Segera Max menurunkannya ke permukaan tanah. Tubuh anak itu masih gemetar, wajahnya tertunduk, dan tangannya mencengkram erat baju yang Max

kenakan. Max jadi sedikit mengeluarkan tenaga agar anak itu melepaskan cengkeramannya. Anak itu masih sesenggukan. Adegan berdarah saat beruang raksasa itu memakan orang-

orangnya masih terbayang di benak. Itu adalah kali pertama dia merasakan ketakutan akan kematian.

"Apa kau terluka?" Max bertanya sembari menepuk pelan pundak anak itu, bermaksud untuk menenangkannya.

Anak itu menggeleng masih dengan kepala tertunduk. Dia memang tidak terluka, tetapi perbuatan brutal beruang itu telah menjadi trauma psikologis baginya.

"Te ... terima ....Terima kasih," ujar anak itu di sela sesenggukannya. Dia berusaha mendongak untuk menatap orang yang telah menyelamatkan nya. Saat anak itu mendongak, Max segera memperhatikan penampilan anak itu dengan saksama. Kulit putih cerah, pakaian mewah, dan berwajah tampan. Max tidak salah menduga, anak itu pastilah berasal keluarga bangsawan kelas tinggi.

"Apa yang kau lakukan di tengah di hutan itu?" Max kembali bertanya.

"Max, sebenarnya apa yang terjadi? Dari mana anak ini berasal?" Riana curiga karena putranya lagi-lagi pulang

dengan membawa anak laki-laki. Apakah menculiknya?

Max segera menoleh menatap sang ibu. Dia pun menjelaskannya secara singkat, "Beruang raksasa menyerang

anak ini dan orang-orang yang bersamanya. Kemungkinan besar hanya dia satu-satunya yang selamat dari kejaran makhluk buas itu." Riana terkejut kala mendengarnya. Dia segera mendekati anak laki-laki itu dan sedikit berjongkok di tanah untuk melihat keadaannya.

"Nak, apa kau baik-baik saja? Ada yang terluka? Di mana rumahmu? Kami akan mengantarkanmu pulang ke sana." Riana berkata dengan penuh rasa kekhawatiran seorang ibu. Biar bagaimanapun, anak itu masihlah tetap anak-anak yang akan

mengalami trauma mental apabila melihat hal-hal mengerikan. Riana tak dapat membayangkan, betapa ketakutannya anak ini ketika melihat beruang buas itu.

"A... aku tidak terluka. Aku baik-baik saja," ucap anak itu sembari dia berusaha mengontrol detak jantungnya.

Aura kebangsawanan yang dipancarkan anak itu terlihat begitu

kentara. Meski dia berbicara sedikit gugup, dia berusaha tetap tenang dan menunjukkan wibawa. Sekali lihat Riana juga tahu anak ini bukanlah anak dari keluarga biasa. Anak itu kembali menoleh menatap pemuda tampan yang telah menyelamatkannya. Dia memiliki kesan yang baik tentang orang ini. Jika tangan itu tidak menariknya tepat waktu, mungkin dia telah berada di dalam perut beruang raksasa.

"Paman, terima kasih. Aku berhutang nyawa padamu."

Max hampir tersedak karena dipanggil paman. Apakah aura sosok dewasanya terpancar dengan jelas meski wajahnya masih muda?

"Kau masih belum mengatakan, apa yang kau lakukan di tengah hutan? Di mana rumahmu?" Max mengulangi

pertanyaannya. Anak laki-laki itu mengusap wajah

dengan cepat. Lalu mulai menjelaskannya dengan jujur. Dia

berkata jujur karena dia merasa Max bukanlah orang yang berbahaya, mungkin Max bisa mengantarkannya pulang ke rumah.

"Aku berada di perjalanan pulang ke wilayah Utara dari Kekaisaran Zenos. Kami memilih rute hutan karena penjaga di perbatasan mengatakan bahwa rute itu cukup aman dan cepat. Namun, siapa sangka, kami bertemu beruang itu di saat sedang beristirahat." Mendengar wilayah Utara, Max sedikit mengerutkan keningnya. Mengapa seseorang dari Utara berada

di kekaisaran Zenos?

"Kau berasal dari Utara? Apa yang kau lakukan di Zenos?" Riana yang berada di tengah-tengah percakapan hanya bisa mendengarkan obrolan mereka.

"Satu bulan yang lalu, aku mengunjungi pamanku yang sedang

sakit. Sore kemarin kami baru pulang karena aku mendapatkan surat dari Ayah."

"Kalau begitu, tujuan kita satu arah. Kau bisa ikut dengan kami keUtara." Max beranjak dari posisinya dan mengembuskan napas lelah. Tenaganya cukup banyak terkuras karena

menyelamatkan anak ini. Namun, tidak ada salahnya membantu anak itu untuk pulang ke rumah karena mereka

memiliki tujuan yang sama.

"Bu, aku akan merepotkanmu untuk mnengurusnya selama perjalanan kita," ujar Max kepada sang ibu dengan sedikit rasa bersalah. Ibunya pasti sudah kewalahan mengurus si kecil Ansel dan sekarang bertambah satu anak lagi yang harus diurus. Belum sempat Riana menjawab, anak laki-laki itu berdiri dan membungkuk dengan khidmat di depan Max.

"Terima kasih, Paman! Terima kasih!"

Saat itulah mata Max langsung tertuju pada token emas yang

tergantung di pinggang bagian kiri anak itu. Tak salah lagi, token itu memiliki gambar burung vermilionyang sangat indah. Jika Max tidak salah mengingat, lambang vermilion adalah

lambang keagungan bagi keluarga bangsawan Duke Froger yang menguasai wilayah Utara.

***

1
Dewiendahsetiowati
hadir thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!