Cewek naif itu sudah mati!
Pernah mencintai orang yang salah? Nainara tahu betul rasanya.
Kematian membuka matanya, cinta bisa berwajah iblis.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua, kembali ke sepuluh tahun lalu.
Kali ini, ia tak akan menjadi gadis polos lagi. Ia akan menjadi Naina yang kuat, cerdas, dan mampu menulis ulang akhir hidupnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaluBerkarya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23.
Semakin Aaron berusaha ada di antara mereka akhir-akhir ini, justru memperkuat rasa cemburu yang selalu dirasakan oleh Julian. Sungguh, cowok itu ingin sekali menelan Aaron saat ini. Lihat saja, sedari tadi di meja kantin, Naina bahkan terlihat santai menanggapi obrolan Aaron yang sejak tadi mencari perhatian.
"Teman, mana boleh cemburu," batin Julian, tapi hatinya tidak sinkron, bagai api besar yang disirami minyak. Tangannya menggenggam erat garpu, nyaris patah kala Aaron meraih tisu dan dengan seenaknya mengusap mulut Naina yang ada sedikit sisa sambal di sana.
"Aku boleh duduk di sini?" suara seorang cewek tiba-tiba terdengar. Yura. Tanpa menunggu jawaban, ia sudah menjatuhkan diri duduk di samping Aaron, tatapan matanya jelas menyiratkan ketidaksukaan. Sama halnya dengan Julian, Yura juga kesal melihat kedekatan itu.
"Aaron, kamu mau ini nggak? aku suapin ya," Yura dengan tingkat percaya dirinya berusaha meraih atensi Aaron.
Pria itu menoleh ke samping, menatap ke arah Yura sekilas dengan perasaan tidak suka, lalu kembali fokus ke makanannya.
Sementara Julian, dia bersorak ria dalam hati melihat Aaron. Ya gimana tidak, ini juga yang dia tunggu-tunggu sejak tadi, adanya anomali untuk mengalihkan sedikit perhatian Aaron yang terus berusaha mencari kesempatan bicara sama Naina. Ya walaupun Julian sadar, Naina menanggapi seadanya saja, bahkan gadis itu nyaris tak peduli.
Julian hanya melihat-lihat makanannya, kemudian sesekali mencuri pandang ke arah Naina yang duduk di sampingnya, hingga Naina menangkap dari ekor matanya.
"Kenapa?" tanya Naina menatap Julian lama.
"Tiba-tiba tangan aku sakit sekali memegang garpu, boleh tolong suapin?" akal Julian.
Naina hampir tersedak, buru-buru Julian menyodorkan segelas air ke arahnya.
"Tiba-tiba banget tangannya sakit, modus apa gimana, teman?" goda Naina dengan alis yang dinaik-turunkan. Mereka memang sudah begitu dekat setelah beberapa bulan bersama.
"Sedikit sih," jawab Julian sambil menyodorkan makanannya ke arah Naina. Gadis itu tak membantah, meraih sendok dan garpu lalu mulai menyuapi Julian.
Sesuatu yang bagi Naina mungkin terasa biasa saja, hanya sedikit membuat jantungnya berdebar kala menatap tatapan Julian begitu dekat. Tapi bagi Julian? Dia sudah menang banyak.
Kya! Bahkan dia bisa merasakan hawa panas yang ditunjukkan Aaron dari seberang meja. Dengan santainya, Julian melempar senyum tipis nyaris tak terlihat ke arah Aaron, sebuah ejekan halus yang sukses membakar amarah cowok itu.
...----------------...
Sementara itu, di meja yang tak jauh dari mereka, dua orang tentu saja tengah menyaksikan suasana yang menarik perhatian mereka. Nathan dan Zora, entah bagaimana, pagi ini mereka malah memilih makan di meja terpisah dari Naina. Alasannya jelas, keduanya ingin memberi waktu lebih banyak pada Julian. Lebih tepatnya, mereka tidak mau jadi nyamuk di antara dua orang yang katanya “teman”, tapi kelakuannya jelas-jelas saling cemburu.
"Menurutmu ya, Nathan. Kamu lebih setuju sama Aaron atau Julian?" bisik Zora, matanya masih fokus mengamati dari kejauhan.
"Pertanyaan ini tuh... setiap hari ada, kak. Nggak bosen? Jujur, malas banget aku harus ngeluarin jawaban yang sama terus," protes Nathan sambil menghela napas. Sudah muak rasanya dengan pertanyaan Zora yang itu-itu lagi.
"Yeeee... emang aku pernah tanya kayak gitu?" Zora masih ngotot.
"Pakai ditanya lagi. Kayaknya kak Zora memang kudu dibawa ke rumah sakit deh, rongsen, barangkali ada beberapa hal yang hilang. Setelah kupikir-pikir, kakak kayaknya pikun. Astaga... sayang banget padahal usianya masih muda," Nathan menggeleng, mulutnya nggak bisa diam.
peletak! Zora menyentil kening Nathan.
"Kamu nggak asyik. Nggak cocok diajak gibah," ketus Zora.
Nathan cuma mengerjap pelan, keningnya berkerut sebelum akhirnya dia lanjut makan.
"Begini, kak Zora. Sebagai adik yang baik, tentu saja aku ingin yang terbaik buat kak Naina, eah." Dia meletakkan sendoknya kembali, lalu menatap Aaron dan Julian bergantian dengan wajah serius.
"Kayaknya mereka berdua nggak cocok deh," lanjut Nathan santai.
"Kenapa nggak cocok? Sama Julian cocok-cocok aja tuh kalau dilihat-lihat. Naina cantik, Julian ganteng. Begitu juga sama Aaron, ganteng juga. Hanya saja..." Zora mendengus, sorot matanya langsung menajam ke arah Aaron. "Aku nggak suka kalau harus mengingat lagi perlakuan Aaron ke Naina dulu."
......................
Saat orang-orang di kantin tengah sibuk dengan makanan masing-masing, suasana mendadak heboh ketika seorang cowok dengan stelan seragam rapi masuk dengan langkah tegap, penuh percaya diri. Wajahnya asing, tapi pesonanya seolah mampu membuat seisi kantin terdiam sepersekian detik.
"Gilaa, siapa lagi itu!"
"Tiba-tiba banget Devano sama Javas punya teman seganteng itu."
"Anak baru kah?"
"Astaga... setelah Julian, sekarang muncul yang beginian!"
Bisik-bisik kagum bertebaran di tiap sudut, mengikuti langkah cowok itu yang masuk bersama Devano dan Javas, yang merupakan murid di sekolah itu juga.
"Kita duduk di sana," ujar Devano, mengarahkan langkah ke meja kosong tepat di belakang Naina dan Julian.
Saat melewati meja itu, tatapan cowok baru tersebut sempat jatuh pada Naina. Sebuah senyum tipis, penuh arti, terukir di bibirnya sebelum akhirnya dia melangkah lagi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...