Melati berubah pendiam saat dia menemukan struk pembelian susu ibu hamil dari saku jas Revan, suaminya.
Saat itu juga dunia Melati seolah berhenti berputar, hatinya hancur tak berbentuk. Akankah Melati sanggup bertahan? Atau mahligai rumah tangganya bersama Revan akan berakhir. Dan fakta apa yang di sembunyikan Revan?
Bagi teman-teman pembaca baru, kalau belum tahu awal kisah cinta Revan Melati bisa ke aplikasi sebelah seru, bikin candu dan bikin gagal move on..🙏🏻🙏🏻
IG : raina.syifa32
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raina Syifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21
Revan menatap panik darah segar yang mengalir deras dari sela betis Dewi. Tubuh wanita itu terhuyung, suaranya mengerang kesakitan, sementara wajahnya yang biasa cerah kini berubah pucat seperti sehelai kertas tipis. Dengan sigap, Revan menangkap tubuh Dewi yang hampir terjatuh. “Wi... kayaknya kamu kontraksi, aku takut terjadi sesuatu pada anak kamu, kita harus segera ke rumah sakit!” ujarnya, nadanya bergetar.
Dewi hanya bisa mengangguk lemah, sesekali menahan napas. “Aa sakit!!!” teriak Dewi, suaranya melengking hingga memenuhi rumah.
Suasana tiba-tiba berubah gaduh dan tegang. Dari dapur, seorang perempuan paruh baya keluar terburu-buru, wajahnya memerah dan matanya menyipit saat menatap Revan dengan penuh amarah. “Apa yang kamu lakukan sama anakku? Kamu pasti berbuat kasar padanya?” tudingnya, suaranya hampir bergetar.
Revan menatapnya dengan tenang tapi cemas, membela diri, “Ambu, saya nggak ngapa-ngapain. Waktu saya mau pamit pulang ke Jakarta, tiba-tiba Dewi jadi seperti ini.”
"Bohong!" Hardik Ambu.
"Tidak ada waktu buat berdebat saling menyalahkan Ambu kita harus bawa Dewi kerumah sakit." Ucap Abah yang tiba-tiba muncul dimeja makan. "Ayo nak Revan, bawa Dewi ke rumah sakit!" Ucapnya pada Revan.
Revan mengangguk cepat. "Baik Abah."
Revan mengangkat tubuh Dewi dengan cepat, dadanya berdebar. Tangan Dewi melingkar erat di lehernya seolah mencari pegangan, menimbulkan kesan mesra yang bisa membuat siapa saja salah sangka kalau mereka suami istri.
Namun, wajah Dewi masih menunjukkan kepedihan; alisnya berkerut saat ia meringis menahan sakit yang menjalari perut bagian bawahnya. Daster yang melekat di tubuhnya sudah penuh noda merah, meresap ke jas dan kemeja Revan yang ikut terkena cipratan darah segar. Dari belakang, Abah dan Ambu berjalan cepat mengikuti langkah Revan.
Setelah meletakkan Dewi dengan hati-hati di jok belakang mobil, Revan duduk di samping kemudi, sedangkan Dewi ditemani Ambu yang sigap menjaga. Tanpa membuang waktu, mobil melaju kencang meninggalkan jejak di jalan menuju rumah sakit.
Melati melangkah keluar dari restoran kecil itu dengan wajah yang masih memucat. Perutnya yang tadi terasa melilit kini berubah menjadi beban berat di dadanya. Ia berdiri di trotoar, menatap hamparan pepohonan hijau di sekitar jalanan Lembang yang mulai diselimuti sinar jingga senja. Angin sore berhembus pelan, mengibarkan hijabnya hingga terangkat sesaat, seolah alam ikut merasakan gejolak hatinya.
Matanya memandang kosong ke kejauhan, namun pikirannya kacau balau. “Aku sudah berusaha sekuat tenaga, tapi suamiku... dia sudah memilih lain,” gumamnya lirih, suara batinnya tenggelam dalam keputusasaan.
Tangan Melati mengepal pelan, bibirnya bergetar menahan amarah dan kecewa. Air mata kembali menggenang di sudut matanya, tapi ia cepat-cepat menghapusnya dengan punggung tangan. Ia menunduk, mencoba menenangkan diri, namun luka pengkhianatan itu seperti bara yang terus membakar jiwa.
“Aku nggak bisa bertahan dengan pengkhianat sepertinya, sampai kapanpun dia tak akan pernah berubah” pikir Melati, napasnya memburu saat ia melangkah pergi, meninggalkan restoran dan kenangan pahit yang baru saja ia terima. Heningnya senja seakan menjadi saksi bisu kesedihan seorang wanita yang sedang terluka.
Melati terdiam sejenak, jari-jarinya mencengkeram kemudi hingga pucat. Nafas panjang keluar dari dadanya, seolah ingin melepas beban yang semakin menyesak. Di kepalanya berkecamuk bayangan anak-anak yang pasti sudah menunggu, dengan mata penuh tanya tentang keberadaannya. Saat mesin mobil menyala, matanya langsung tertuju pada sebuah kendaraan yang melesat di jalan depan.
"Mas Revan?" gumamnya sambil mengernyit. Mobil itu melaju dengan kecepatan yang jauh di luar batas wajar. "Kenapa dia nyetir ugal-ugalan kayak gitu?"
Perasaan cemas dan khawatir merayap, membuat Melati menginjak pedal gas lebih dalam, berusaha mengejar suaminya yang membawa mobil dengan kecepatan ugal-ugalan.
Meskipun Melati sempat kehilangan kelebat mobil Revan, suaminya, namun dengan mudahnya ia menemukan dengan GPS yang ia pasang dibawah jok mobil suaminya.
Melati menatap layar GPS dengan mata membelalak. "Ke rumah sakit? Mas Revan mau ngapain?" gumamnya dengan suara bergetar.
Jari-jari kakinya segera memacu pedal gas, mobil melaju lebih cepat menuju RSUD yang jadi tujuan suaminya. Setibanya di parkiran, Melati buru-buru mematikan mesin dan memandang ke arah bangunan putih itu.
Dari kejauhan, terlihat sosok Revan menggendong seorang perempuan berambut panjang. Wanita itu dengan lembut mengalungkan tangannya di leher suaminya, seolah tak mau lepas. Dadanya sesak, hati Melati tercekat oleh pemandangan yang menusuk perasaan.
"Astaghfirullah, Mas Revan... Aku nggak nyangka kamu tega begini. Apa kamu sampai lupa aku dan anak-anak?" suaranya pecah, napasnya tercekat. Dengan langkah setengah berlari dan tangan gemetar, Melati menyelinap masuk ke dalam gedung, mencoba mengikuti Revan tanpa diketahui, menahan sakit yang mendalam di balik ketegaran wajahnya.
Sementara itu, Revan membawa tubuh lemah Dewi masuk ke Instalasi Gawat Darurat. Awalnya, mereka harus menunggu antrian cukup lama. Namun, melihat kemarahan Revan, para tenaga medis segera menangani kondisi Dewi.
Revan mondar-mandir di depan pintu yang tertutup rapat. “Nak Revan, tenangkan dulu. Ibu dan calon bayinya insyaallah tidak apa-apa, mereka pasti selamat,” ujar Abah dengan suara penuh harap.
Revan mengangguk pelan, dadanya terasa sesak meski di dalam hati masih membara kesal pada Dewi yang terus memaksanya. Namun, melihat wajah Dewi yang pucat dan tergeletak lemah membuatnya takut sekaligus menyesal. Bagaimana pun, semua penderitaan Dewi bersumber dari kesalahannya sendiri.
Ia menggigit bibir, mencoba menahan rasa bersalah yang merayap. Tiba-tiba pintu ruang perawatan terbuka dan seorang dokter keluar dengan senyum lega di wajahnya.
"Suaminya Bu Dewi?" tanyanya. Revan yang tadi duduk terdiam, seketika berdiri kaku. "Iya, Dok."
"Alhamdulillah, bayinya berhasil diselamatkan. Bu Dewi harus bedrest dan jangan terlalu banyak pikiran supaya tidak stres."
Seketika, rasa lega mengalir di dada Revan. "Alhamdulillah," gumamnya sambil menundukkan kepala. Abah dan Ambu di sampingnya ikut mengangkat tangan mengucap syukur, suara mereka hampir bersatu.
Tak jauh dari mereka, Melati menyeka air mata yang mengalir deras di pipinya. Tatapannya tertuju ke Revan dengan campuran pilu dan penegasan. "Jadi kamu akhirnya mengakuinya sebagai istrimu, Mas."
revan pulsa jgn sembunyikan lg msalah ini terlalu besar urusannya jika km brbohong terus walau dg dalih g mau nyakitin melati ,justru ini mlh buat melati salah pham yg ahirnya bikin km rugi van
sebgai lelaki kok g punya pendirian heran deh sm tingkahnya kmu van, harusnya tu ngobrol baik" sm melati biar g da salah paham suka sekali trjd slh pham ya.