"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."
Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."
~ Serena Azura Auliana~
:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+
Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.
Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.
Luka Sekali Lagi
Udara dingin langsung menyergap Serena begitu ia membuka pintu apartemennya. Desahan panjang meluncur dari bibirnya yang tampak memucat, menandakan kelelahan setelah seharian penuh bekerja di kantor.
Setelah masuk dan mengunci pintu, Serena menendang sepatu flatnya hingga terlepas dan tergeletak begitu saja di lantai. Tanpa banyak berpikir, ia melangkah dengan lesu menuju dispenser, menuang segelas air putih untuk meredakan dahaga yang mengeringkan tenggorokannya.
Usai meletakkan kembali gelas bekas minumnya, Serena melangkah gontai menuju ranjang tidur, berniat merebahkan diri selama beberapa waktu.
Tas yang sebelumnya tergantung di bahunya ia lemparkan begitu saja ke sembarang tempat di atas kasur. Dengan sisa tenaga yang dimiliki, ia juga turut menjatuhkan diri ke atas tempat tidur.
Rasa nyaman yang menyelimuti tubuhnya membuat Serena seketika tenggelam dalam kelegaan, seolah tempat tidur ini menjadi sumber energi yang perlahan mengisi kembali tubuhnya yang terkuras setelah seharian bergelut dengan administrasi kantor.
Beberapa waktu lamanya, Serena menatap lurus ke arah langit-langit kamar, dinding polos yang selalu menjadi latar bagi pikirannya yang melayang. Seperti rekaman yang diputar ulang, ia kembali memikirkan rutinitas hari ini—alarm ponsel yang berbunyi, bergegas ke kantor, menatap layar komputer, mengurus berkas, melayani pelanggan, dan akhirnya pulang dengan rasa lelah yang sama—berulang setiap hari.
"Sungguh hari yang panjang," pikirnya. "Tapi lebih baik begini daripada kembali ke tempat yang lama. Seenggaknya aku nggak akan terus-terusan makan hati."
Serena butuh hiburan sejenak sebelum pergi mandi, membersihkan diri. Satu-satunya alternatif itu adalah dengan menggulir salah satu media sosial, yang akhir-akhir ini cukup digandrungi oleh para anak muda.
Dunia digital, terasa lebih hidup jika dibandingkan dengan kamarnya yang sunyi ini. Ada banyak unggahan yang disajikan di dalamnya—seperti foto keluarga bahagia, pasangan yang tersenyum manis di tepi pantai, hingga video makanan dari kafe kekinian yang menggugah selera. Sesekali, ia terkekeh kecil saat melihat meme lucu yang berhasil mengalihkan pikirannya, meski hanya untuk sesaat.
Namun, sebuah notifikasi tiba-tiba muncul di layar, mengganggu istirahatnya.
Alis Serena berkerut tajam. Sebuah pesan baru dari seseorang yang tidak dikenal.
"Siapa ini?" gumamnya dalam hati.
Penasaran, ia mengetuk notifikasi itu dan membaca pesan yang dikirimkan.
Isi pesan itu membuat tubuh Serena menegang.
[Anonim:
Kenal Brian?]
[Anonim:
Lu pacarnya Brian kan?]
[Anonim:
Tolong dong dijaga pacarnya. Jangan kegatelan gitu.]
[Anonim:
Apa lu sejelek itu sampe pacar lu manggil cewek lain kesayanganku.]
Mata Serena membelalak. Ia membaca pesan itu lagi, berulang kali. Memastikan apakah ia tidak salah baca.
"Apa-apaan ini?" desis Serena dengan napas yang tercekat. Jantungnya berdegup kencang, diliputi amarah dan rasa malu yang bercampur aduk. Dengan dada naik turun, ia menatap layar ponselnya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
Layar ponsel bergetar lagi. Sebuah pesan tambahan muncul, disertai beberapa gambar tangkap layar dari sebuah komentar, yang mana foto profil dan nama tercantum di sana jelas dia kenal.
"Kesayanganku."
Satu komentar itu, berhasil membuat Serena syok bak disambar petir. Hingga membuat anxiety yang dideritanya kambuh, berupa jemari yang bergetar dan kesulitan untuk menghirup udara.
Serena ingin sekali menolak kenyataan yang ada di depan matanya saat ini, tetapi bukti yang ditunjukkan padanya terlalu nyata untuk diabaikan.
Sekali lagi, Brian menghancurkan kepercayaannya.
Tanpa menunggu lebih lama, Serena segera menghubungi Brian, menuntut penjelasan langsung darinya.
"Halo, Sayang?" suara Brian terdengar santai di seberang, seolah tak ada yang terjadi apa-apa.
"Brian," suara Serena bergetar meski ia berusaha keras menahan amarah yang nyaris meledak itu. "Aku baru aja nerima pesan dari seseorang. Dia ngirim aku screenshoot dari komentar kamu ke cewek lain, di platform komunitas game-mu itu?! Kamu sampai manggil mereka kesayanganku?! Yanb bener aja kamu, Brian? Kamu masih punya otak nggak sih?"
"Hah? Pesan dari siapa, Yang? Boleh aku lihat? Aku udah berubah seperti janjiku terakhir kali. Aku sama sekali nggak ada kirim komentar apa pun. Kalau sampai ada, itu sebelum aku janji untuk berubah. Pasti ada yang sengaja mau ngehancurin hubungan kita. B*ngsat! Aku pasti akan cari siapa dia!"
"Aku nggak mau dengar alasan lain, selain kamu jelasin, maksud dari kamu ngirim komentar kayak gitu!"
"Waktu itu aku cuma bercanda, Re Sayang. Aku sama sekali nggak serius. Hal kayak gitu biasa di forum game."
Serena menahan napas. Alasan yang sangat tidak masuk akal.
"Cuma bercanda? Itu cara kamu bercanda? Kamu pikir aku nggak akan sakit hati bacanya?"
"Re, aku kali ini bener-bener mau berubah. Aku tahu, aku yang dulu udah banyak nyakitin kamu. Tapi, aku berani bersumpah, aku nggak ada hubungan apa-apa sama siapapun. Lagian, semua orang yang ada di forum game itu, semuanya temenku. Kami biasa bercanda kayak gitu."
"Bercanda? Selalu bercanda!" Kemarahan Serena akhirnya pecah juga, dia sampai menitihkan air mata saking emosinya. "Aku lelah, Brian. Aku selalu berusaha percaya kalau kamu bakal berubah, kalau kamu bakal ngerti dan sadar. Tapi aku rasa. aku cuma kayak orang bodoh! Bilang aja kalau kamu anggap aku bodoh!"
"Serena, kalau kamu cuma mau ribut, aku lagi nggak punya waktu. Kalau kamu nggak bisa percaya sama aku, ya udah, emang kayaknya kita berhenti aja sekarang. Aku lagi capek sekarang! Semuanya kacau! Kerjaanku lagi gak beres! Bisa nggak, kita bahas ini nanti? Lagian semua laki-laki ada yang lebih parah dari aku. Harusnya kamu bersyukur, karena aku nggak pernah tidur sama wanita lain."
Kata-kata itu membuat Serena terdiam. Akhirnya, dia tahu isi pikiran dari pria yang telah menjalin hubungan dengannya selama tujuh tahun. Jadi, selama dia tidak tidur dengan wanita lain, dia boleh bercanda dengan wanita lain? Sungguh tidak masuk akal dan logika.
"Aku nggak tahu siapa yang nggak waras di sini. Baik. Kayaknya lebih baik kita selesai. Aku bener-bener kecewa udah naruh harapan sama kamu!"
Setelah itu, Serena mematikan telepon di antara mereka, dan langsung memblokir nomor Brian serta semua akses ke media sosialnya.
Kesal, marah, kecewa, dan malu—semua perasaan itu campur aduk dalam dirinya. Serena membanting ponselnya ke atas kasur. Tangisnya pecah, terlepas begitu saja, tanpa bisa ditahan.
Entah sudah berapa kali ia menangis sendirian di kamar yang gelap dan sunyi ini, tak ada yang peduli, tak ada yang mengerti. Hanya rasa sakit yang selalu setia menemani.
"Apa salahku? Apa aku memang nggak pantas dicintai? Kenapa semua orang melakukan ini padaku?" bisik Serena dipenuhi dengan api kemarahan yang berkobar. Bahkan meskipun Brian jujur kali ini, dia yang sudah terlanjur kecewa dan sakit hati, tak bisa menolerirnya. Trauma itu sudah melekat sepenuhnya dalam diri Serena.
Dunia ini seolah hanya berisikan luka. Tak membiarkan dirinya mendapatkan kebahagiaan yang utuh dan sempurna. Sesulit itukah untuk bahagia? Bahkan luka lama belum sembuh, selalu saja bertambah dengan luka yang baru.
Siapapun akan muak. Begitu juga dengan Serena.
Hingga akhirnya, suara isakan Serena tenggelam dalam kumandang azan Magrib yang mengalun di kejauhan. Gadis dengan mata yang sudah sembab itu terdiam, tangisnya masih tersisa di ujung napas. Ada dorongan halus dalam dirinya, untuk mengadukan semua yang ia rasakan saat ini pada satu-satunya tempat yang tersisa. Pada Allah, Tuhan yang selama ini telah ia tinggalkan.
Bersambung
Sabtu, 23 Agustus 2025