Armand bukanlah tipe pria pemilih. Namun di umurnya yang sudah menginjak 40 tahun, Armand yang berstatus duda tak ingin lagi gegabah dalam memilih pasangan hidup. Tidak ingin kembali gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk yang kedua kalinya, Armand hingga kini masih betah menjomblo.
Kriteria Armand dalam memilih pasangan tidaklah muluk-muluk. Perempuan berpenampilan seksi dan sangat cantik sekali pun tak lagi menarik di matanya. Bahkan tidak seperti salah seorang temannya yang kerap kali memamerkan bisa menaklukkan berbagai jenis wanita, Armand tetap tak bergeming dengan kesendiriannya.
Lalu, apakah Armand tetap menyandang status duda usai perceraiannya 6 tahun silam? Ataukah Armand akhirnya bisa menemukan pelabuhan terakhir, yang bisa mencintai Armand sepenuh hati serta mengobati trauma masa lalu akibat perceraiannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenulisGaje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Ingin Mempermalukan tapi Malah...
Siang ini perasaan Nissa dipenuhi oleh rasa was-was.
Sambil memandangi Lala yang sedang berbicara dengan salah seorang temannya sewaktu SMA di teras rumah, Nissa berusaha untuk mengenyahkan rasa gelisah yang tak mengenakkan dalam hati. Kemudian, pandangan Nissa ia arahkan kepada kedua pria yang terlihat sedang berbicara serius di ruang tamu dan seorang lagi tampak diam mendengarkan.
Nissa mengenal siapa yang menjadi tamu untuk menemui sang Juragan, namun hanya sekedar kenal dan mereka bahkan tak pernah saling bertegur sapa.
Pria yang buru-buru datang ke rumah malaikat pelindungnya itu terlihat menyimpan kepanikan dari raut wajahnya. Adanya keringat yang di kening serta wajah yang tampak sedikit memucat, membuat Nissa merasa apa yang disampaikan oleh tamu itu sangat lah penting.
Terbukti, raut wajah sang Juragan yang berubah menjadi serius dalam sekejap, tatapannya bahkan menajam bagaikan sebuah belati yang siap melukai lawan saat mendengar entah apapun yang tamu itu katakan.
Sementara Nissa di sini, duduk dengan bersandarkan dinding depan teras hanya bisa sesekali menoleh ke arah ruang tamu sambil menahan rasa penasaran yang makin membesar.
Helaan napas Nissa terdengar berat. Meski suara ketukan palu dari beberapa orang yang masih memasang tenda dan pelaminan terdengar, Nissa tak dapat menghilangkan rasa tak mengenakan dalam hatinya. Ditambah lagi Nissa memergoki jika temannya Lala beberapa kali sempat mencuri pandang ke arahnya.
"Nis... "
Suara yang terdengar sangat lembut itu mengendalikan kesadaran Nissa yang semula tersesat dalam lamunan.
Saat mengangkat pandangan dan mengarahkannya kepada seorang gadis yang selalu memperlakukannya seperti anak kecil itu, Nissa mengukir senyum tipis, tak ingin gadis yang mau menjadikannya teman tanpa mempermasalahkan asal usulnya itu turut memikirkan kegelisahan tak berdasar yang saat ini ia rasakan.
"Ada apa, mbak?" tanya Nissa masih dengan seulas senyum di bibirnya.
"Itu, teman mbak ini katanya mau ngajak makan-makan ke rumahnya. Masak seblak dan yang lainnya." Lala menjelaskan alasan kedatangan temannya menemui ia pagi ini. "Nah, sekarang mbak mau ke rumah dia dulu buat bantu-bantu soalnya cuma mbak sama teman mbak satu lagi yang bisa masak. Nanti, kalau nggak repot, mbak bakalan jemput kamu buat ikutan ngumpul bareng kami. Kamu mau 'kan, Nis, kumpul sambil makan seblak bareng kami?"
"Aku... " Nissa merasa ragu. Entah apa alasannya, hatinya merasa sangat berat untuk mengiyakan.
"Kamu tenang aja, Hani sendiri kok yang ngundang kamu." ujar Lala cepat karena berpikir jika adek gemesnya itu merasa tak hati berkumpul bersama mereka. "Benarkan, Han?" tanya Lala kemudian untuk lebih memastikan.
Gadis yang sering dipanggil Hani itu mengangguk. "Benar, Nis. Aku sengaja ngundang kamu buat makan seblak sekaligus ngerayain kamu yang bentar lagi bakalan nikah. Hitung-hitung kayak momen pelepasan gitu lah."
"Tapi... " Nissa kesulitan mengeluarkan suara. Bahkan sekedar menelan ludah pun tak sanggup ia lakukan karena rasa tak mengenakkan itu semakin besar ia rasakan. "Kalau boleh saya tau, rumahnya mbak Hani jauh nggak?"
"Nggak jauh kok." Hani terlihat terlalu bersemangat saat menjawab. Semangat yang ditunjukkannya itu malah terlihat berlebihan. Sehingga gadis itu berdehem karena menyadari kedua pasang mata yang mengarahkan pandangan ke arahnya. "Nanti, kalau Lala masih sibuk bantuin masak, soalnya rencananya kami nggak cuma masak seblak aja, aku bisa gantikan dia buat jemput kamu. Pokoknya dijamin deh, kamu bakalan ngerasa aman jalan sama aku, sama seperti saat kamu lagi jalan sama Lala. Atau kalau kamu mau, kamu juga bisa anggap aku sebagai kakak, sama kayak kamu dan Lala."
Nissa merenung ragu. Entah mengapa sulit sekali rasanya mulutnya untuk menyetujui ajakkan dari kedua gadis yang masih berdiri di bawah lantai teras itu.
Bukan, Nissa bukannya memiliki keraguan terhadap gadis yang sudah menganggapnya seperti adik sendiri itu.
Hanya saja...
Pandangan Nissa kemudian mengarah tepat ke sepasang mata gadis bernama Hani itu.
Selama ini, atau lebih tepatnya sejak dua tahun yang lalu, dimana Nissa baru saja tinggal di rumah ini, belum pernah sekali pun teman dari kakak angkatnya itu bersikap seramah ini padanya.
Mereka memang tidak pernah terdengar ikut mengatai ataupun menghina, tapi mereka juga tidak pernah bertegur sapa.
Jika tanpa sengaja bertemu di jalan atau di warung Mak Ipah, teman-teman kakak angkatnya itu kerap kali mengabaikan keberadaannya. Lebih tepat bila dibilang jika mereka tak menganggapnya ada di sana.
Jika ditanya apakah Nissa merasa sakit hati atas perlakuan dari teman-teman kakak angkatnya itu? Jawabannya adalah tidak.
Biar pun selalu diabaikan keberadaannya, Nissa malah merasa senang. Dengan begitu, Nissa tak merasa perlu untuk bersusah mengambil hati orang-orang yang sudah sejak awal tidak menyukainya.
Tapi sekarang, begitu ada salah seorang dari mereka tiba-tiba bersikap ramah, malah kelewat ramah, jangan salahkan Nissa bila timbul keraguan serta rasa takut dalam hatinya.
"Ngelamunin apa sih, Dek?" Lala bertanya gemas. Dihampirinya gadis yang lebih suka duduk di lantai daripada di kursi teras dan kemudian duduk di depannya dengan kedua kaki yang masih menjejak di tanah. "Kamu takut ya?" Lala mencoba menebak.
Begitu melihat sepasang mata jernih yang membeliak membalas tatapannya, Lala terkekeh geli seraya mencolek gemas hidung mancung si gadis mungil itu. "Kamu tenang aja. Hani itu teman baiknya mbak. Dia cuma ngajak makan-makan dan bukannya mau ngajak kita pergi berperang."
"Mbak Lala, aku... " Nissa menghela napas berat tak kentara. Sikap Lala yang sangat ingin mengajaknya berkumpul membuat Nissa merasa tak enak hati untuk menolak ajakkan tersebut.
"Mau ya, Nis. Ya... ya... " Lala mengedipkan kedua matanya, seperti anak kecil yang sedang membujuk orang tuanya agar mau mengabulkan keinginannya. "Mbak janji deh, kalau kita pulangnya kesorean, mbak bakalan nelpon abang Juragan buat jemput kita."
Hembusan napas Nissa terdengar jauh lebih berat dari sebelumnya setelah melihat sikap kakak angkatnya yang berusaha untuk membujuknya.
"Oke, mbak, aku ikut." Nissa akhirnya menyerah. Mengabaikan rasa tak mengenakkan dalam hatinya yang terasa semakin kuat, Nissa hanya ingin membuat kakak angkatnya itu senang dengan menyetujui keinginannya.
*****
"Kelakuan orang-orang zaman sekarang makin banyak yang aneh ya, Man? Udah tau nggak bisa, tapi malah maksa. Bikin pusing aja."
Ucapan bernada santai tersebut membuat Armand yang sedang duduk di kursi sambil menyandarkan punggungnya seraya menatap langit yang mulai menghitam itu menoleh ke sisi kirinya, dimana Fandy tampak menggerakkan kedua jempolnya dengan cepat di layar ponselnya.
Sahabatnya yang tumben tak sedikitpun mengeluh karena tak bisa 'menyentuh' wanita selama bertamu di rumah ibunya ini, kali tak menunjukkan niat untuk menjahili ataupun menggodanya.
Selama tinggal di sini, sahabatnya yang terkenal paling cerewet diantara mereka berempat itu bahkan seperti singa yang sudah jinak. Selain tak lagi membicarakan para wanita yang bisa ditaklukannya dalam seminggu, Fandy juga tak lagi mengucapkan kata-kata tak berguna dan menyebalkan dari bibirnya.
Perubahan Fandy tersebut tentu saja membuat Armand merasa senang. Dengan begitu, Armand tak lagi merasa dongkol tiap kali berbicara dengannya.
"Hmmm... " Armand akhirnya bergumam sebagai tanda untuk mengiyakan perkataan pria yang tak pernah lagi menjalin hubungan serius dengan lawan jenis sejak belasan tahun silam. "Terkadang aku juga pusing, Fan, sama pemikiran orang yang seperti itu. Seharusnya mereka sadar, jika emang nggak bisa, mereka nggak boleh memaksakan keinginan mereka." imbuh Armand seraya kembali mengedarkan pandangan kepada beberapa orang yang masih sibuk memasang tenda.
Pesta pernikahannya yang akan digelar tidak lama lagi, yang menurut Bayu, jika kabar baik akan segera Armand dengar, membuat Armand selalu merasakan hatinya berbunga-bunga.
Bagai remaja yang baru pertama kalinya merasakan cinta, Armand tak henti-hentinya terus memikirkan gadisnya. Baik ketika gadis mungil itu berada di depan mata maupun tak di depan mata seperti sekarang, bayangan seraut wajah cantik itu terus melintas di benaknya.
Aneh, begitulah yang Armand rasakan mengenai apa yang terjadi kepada dirinya.
Dulu, sewaktu baru mengerti arti cinta-cintaan dan mulai mendekati gebetan pertamanya pada waktu SMA, Armand tak pernah merasakan jantungnya berdetak tak karuan seperti ini. Bahkan saat merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama kepada mantan istrinya hanya karena melihat senyum polos yang ternyata menipu pandangan, Armand juga tak merasakan seperti apa yang ia rasakan saat ini.
Entahlah bagaimana harus menjabarkan mengenai apa yang melandanya kali ini.
Dibilang jatuh cinta dengan sangat, mungkin saja iya.
Terlalu bucin, Armand juga tak akan menyangkal.
Bahkan jika ada yang bilang karena nafs*, Armand juga tak mungkin membantah.
Bohong, jika Armand mengatakan tak ada nafs* yang dirasakannya terhadap gadis yang sebentar lagi akan menjadi istrinya itu. Jika tak kuat menahan diri, sudah pasti Armand akan melumat bibir ranum nan merah alami itu. Bukan hanya sekedar melumat, Armand bahkan tak mampu menjabarkan pikiran terliar yang ada di kepalanya.
Hanya saja Armand adalah pria dewasa, yang mana tidak ingin mengedepankan nafs* semata.
Baginya, Nissa adalah sosok yang menerangi hatinya yang selama ini gelap gulita, menghadirkan rasa hangat dan juga mampu menghilangkan seluruh rasa takutnya.
Jadi, sudah seharusnya Nissa diperlakukan dengan cara yang sangat terhormat. Armand tak ingin merusak kepercayaan calon istrinya itu dengan menyentuhnya sebelum mereka terikat dalam ikatan tali pernikahan.
"Hayo loh, ati-ati nanti kebablasan kalau dipikirin terus tuh. Awas, nanti ketagihan kalau udah ngerasain rapetnya 'dinding' yang menjepit milik seorang perawa*."
Nada menggoda yang sudah lebih dari seminggu tak didengarnya itu membuat Armand mendengus kesal. Kembali menoleh ke arah pria yang tak lagi mengetik entah apa di layar ponselnya itu, Armand mencibir dengan mengatakan, "Aku pikir kau udah sadar, Fan. Nyatanya masih aja tuh otak mikirin yang nggak-nggak. Ku pikir otakmu itu bisa dipakai buat hal yang penting, tapi keliatannya isinya nggak guna semua."
Bukannya tersinggung ataupun kesal, Fandy justru terkekeh geli melihat kekesalan yang Armand ungkapkan lewat kata-kata.
Pria yang tampak santai dengan hanya mengenakan kaos dan celana pendek selutut itu baru saja membuka mulut hendak menimpali perkataan Armand dengan kalimat godaan lainnya, akan tetapi, suara keributan serta langkah kaki yang terdengar banyak sudah lebih dulu menghalanginya untuk mengatakan apapun. Dan, kedatangan sekumpulan orang yang mana lima diantaranya berjalan di depan dengan kedua tangan diikat di belakang serta kepala yang ditutup menggunakan karung hitam yang terbuat dari bahan kain, akhirnya malah membuat Fandy mengerutkan kening karena bingung.
Armand sendiri tak bergeming dari posisi duduknya. Meski halaman rumah ibunya kini telah dipenuhi dengan orang yang berkumpul layaknya pendemo, Armand hanya mengangkat sebelah alis melihatnya.
Adanya pak Lurah beserta istrinya yang juga hadir diantara orang-orang yang berkumpul itu, dimana tampang pak Lurah tampak mengejek dirinya, tetap tak bisa mengusik ketenangan Armand.
Sepasang mata Armand yang tajam kemudian menoleh sebentar ke arah lima orang yang dipaksa berlutut di atas tanah.
"Ada apa ini, pak Lurah?" tanya Armand tenang setelah mengarahkan lagi pandangannya ke arah pria yang sekarang malah menampilkan senyum licik di bibirnya itu. "Kenapa kalian semua datang beramai-ramai ke sini?"
"Ckckckck... " pak Somad berdecak dengan nada suara yang terdengar sangat menyebalkan. "Saya tidak menyangka seorang juragan tanah dan punya banyak perkebunan seperti kamu ini bisa begitu buta dalam memilih pasangan, Man. Kamu benar-benar tidak tau atau kamu sangat bodoh, sampai tidak mengenal kelakuan bina* calon istrimu itu?"
Emosi Armand seketika tersulut.
Sudah Armand bilang, tak masalah jika orang menghina ataupun menghujat dirinya. Tetapi, kalau sampai Armand mendengar secara langsung penghinaan yang ditujukan kepada calon istrinya, Armand tidak akan terima.
Bangkit dari posisi nyamannya yang tadi duduk bersandar, Armand kemudian melangkah menuju sepasang suami istri itu dengan tatapan berkilat tajam. Aura kelam yang memancar dari seluruh tubuhnya bahkan membuat beberapa suara yang tadi masih masih terdengar langsung terdiam.
"JANGAN SAMPAI SAYA MENDENGAR SEKALI LAGI BAPAK MENGHINA CALON ISTRI SAYA!" Armand menekankan setiap kata yang keluar dari bibirnya. Andai tak sekuat tenaga menahan diri, bisa Armand pastikan leher pria yang berdiri dengan sikap sombong itu remuk di tangannya.
"Halah, jangan sok galak gitu lah, Man." pak Somad mengibaskan tangannya tak peduli. "Percuma saja kamu bersikap galak di sini padahal kenyataannya kamu itu bodoh karena mau-maunya dibodohin anak lacu* it... "
"PAK SOMAD!" Armand berteriak keras. Suara teriakkannya bahkan membuat pria yang menjabat sebagai Lurah itu sempat terperanjat. "Jangan sampai saya mematahkan leher bapak karena terus menghina calon istri saya!" ancam Armand, tak peduli apakah ancamannya itu malah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
"Tidak usah sampai berteriak seperti itu dong, Man." pak Somad memberanikan diri bersuara meski rasa takut masih memenuhi dirinya. "Tujuan saya dan kami semua datang ke sini 'kan, baik. Saya mau menunjukkan secara langsung sama kamu mengenai kelakuan liar calon istrimu di belakangmu."
"Apa maksud bapak?" tanya Armand yang berusaha meredam amarahnya. Begitu merasakan punggungnya di tepuk pelan, Armand hanya menoleh sebentar ke arah Fandy yang berdiri di sisi kirinya.
"Mereka ini... " jari telunjuk pak Somad bergetar saat menunjuk kelima orang yang berlutut di belakangnya. "Perempuan yang berada di tengah itu adalah calon istrinya kamu. Sedangkan empat lelaki itu adalah orang yang kami gerebek bersamanya. Mereka kami temukan di rumah kosong dan terbengkalai di dekat ujung desa dalam situasi yang tidak pantas." imbuh pak Somad dengan nada menggebu-gebu.
Armand hanya mengangkat sebelah alisnya usai mendengar perkataan pak Somad yang penuh dengan kepercayaan diri itu. "Pak Somad yakin kalau itu calon istri saya?" tanya Armand pelan, sepenuhnya telah berhasil menenangkan diri.
"Sangat yakin." pak Somad mengangguk penuh keyakinan. Bahkan saat menoleh ke arah istrinya yang juga ikut dalam aksi penggerebekan, istrinya itu tampak tersenyum puas.
"Kalau begitu, tolong buka penutup kepala mereka. Biar kita bisa melihat apakah itu benar adalah calon istri say... "
"Ada apa ini, Man? Kok pada ribut pas mau adzan begini?"
Suara ibu Nur yang terdengar dari dalam rumah membuat perhatian semua orang menjadi teralihkan.
Begitu sekumpulan orang yang memenuhi halaman rumah yang terbilang lumayan itu melihat kemunculan sang pemilik rumah di ambang pintu, sontak saja mata mereka membelalak lebar karena terkejut.
Bagaimana tidak terkejut? Karena pada kenyataannya, wanita paruh baya yang rambutnya telah memutih seluruhnya namun masih terlihat bugar itu muncul dengan membawa dua gadis yang berada di sisi kanan kirinya.
Salah satu gadis itu adalah gadis yang mereka tuduh telah berbuat zina di rumah kosong yang berada di ujung desa bersama para berandal pemabuk yang suka bikin ulah.
Kalau gadis itu ada di rumah, lalu siapa yang mereka ringkus tadi?
Apakah karena seluruh ruangan yang gelap gulita, makanya mereka tak bisa mengenali siapa saja yang ada di sana?
Jika sudah begini, apakah mereka siap menerima kemarahan sang Juragan karena mereka semua telah menghina calon istrinya?