Sering di-bully, hingga dikirim ke ruangan seorang dosen yang dikenal aneh, dia masuk ke dalam sebuah dunia lain. Dia menjadi seorang putri dari selir keturunan rakyat biasa, putri yang akan mati muda. Bagaimana dia bertahan hidup di kehidupan barunya, agar tidak lagi dipandang hina dan dibully seperti kehidupan sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rozh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Tidak Bisa Makan Daging.
Deana menggendong Putri kecil ke tengah hutan di belakang gubuk mereka. Hutan ini milik putri, sebagai hadiah dari kaisar pada selir— ibu putri yang telah meninggal.
Ditengah hutan lebat yang terlihat kelam dan mencekam itu, ada sebuah bangunan besar nan kokoh terawat, jauh lebih baik dari pada gubuk yang mereka tempati.
Bangunan ini dibangun oleh Deana satu tahun lalu, di sinilah Deana dan putri bersembunyi saat musim gugur tiba tahun lalu, dan rencananya tahun ini Deana dan putri juga akan bersembunyi di sini, agar terhindar dari perampokan, pencurian atau pun lainnya yang sering terjadi pada musim itu. Musim kekurangan makanan dan minuman.
Awalnya, Deana tak pernah terpikir hal itu, namun ibunya diam-diam memberikan saran untuk bersembunyi di hutan, hanya dia, putri, ibu Deana, pengawal darah, pelayan darah ibu Deana yang tahu tempat ini.
Ibu Deana selalu mendukung dirinya secara diam-diam, mengirim makanan, pakaian dan uang bahkan tenaga pengawal dan pelayan darahnya, untuk membangun bangunan di tengah hutan ini.
"Putri, Anda harus diam di sini, jangan kemana-mana. Saya akan memetik sayuran dulu." Deana berkata dan menatap tajam sang putri, dia meletakkan putri di sebuah keranjang besar yang dia buat, agar sang putri tidak berjalan kemana-mana.
Keranjang itu cukup besar berbentuk persegi panjang, 2 x 4 meter. Setiap sisi diberikan pagar yang cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dari saat putri berdiri.
"Ini buah untuk cemilan Anda, jangan bersuara jika terdengar hewan mendekat, oke!" Deana memasukkan beberapa buah berwarna merah, kuning, dan orange ke dalam keranjang itu, lalu pergi, menutup pintu.
Deana menyelipkan senjata kecil di paha kiri dan kanan, panah ringan serta keranjang kecil dia selempangkan.
Sebuah lahan sayur cukup luas yang tak jauh dari bangunan terpampang jelas, Deana bisa melihat apa yang akan mendekat ke arah bangunan itu. Dengan sigap, Deana memasang jebakan hewan beberapa buah di sekitar, barulah ia menanam bunga-bunga curian kemarin.
Setelah menanam bunga, dia memetik sayuran berbuah, sayuran berdaun dan sayuran berbunga disekitar sana, memasukkan ke keranjangnya.
Sambil memantau bangunan dan putri, dia mencoba memanah burung liar yang terbang. Sekarang musim semi, jadi Deana bisa menanam sayur, memanennya serta berburu hewan kecil.
"Wah, aku beruntung kali ini, bisa menangkap empat ekor burung. Ini cukup! Semoga nanti jebakan tadi juga mendapatkan hewan buruan." Deana pun kembali dengan membawa sayur mayur dan burung tangkapannya.
Saat membuka pintu, dia melihat putri sudah tertidur pulas, bahkan saat tidur bayi kecil itu sedang menggigit buah. Deana tersenyum kecil, mengambil buah yang baru habis seperempat itu, kemudian merapikan tidur sang putri.
Deana memasak burung satu ekor, yang tiga ekor lagi dia potong sangat tipis dagingnya dan dia asapkan di atas selayan api. Selayan api terbuat dari rotan yang ia ikat cukup tinggi dari tungku. Agar daging menjadi kering karena hawa panas api setiap memasak. Sementara tulangnya dia rebus untuk membuat sup, sedangkan untuk putri dia memasak sayur.
Usai memasak, dia memilih sibuk mencari dan membelah kayu di sekitar. Kayu yang dia kumpulkan sudah sangat banyak. Dia menggali lubang cukup dalam, lalu menyimpan kayu-kayu itu di dalamnya, sampai kayu itu penuh melimpah. Di atas lubang itu, dia juga memberi atap dan dinding seperti layaknya gudang kayu, namun gudang kayu Deana berkapasitas sangat banyak karena dasarnya jauh di dalam lubang.
"Hm, kurasa ini cukup untuk penghangat kami berdua di musim salju."
Pintu gudang kayu Deana ada dua, satu di belakang, tempat Deana memasukkan dan menyusun kayu, pintu lainnya menyatu di dapur bangunan, agar Deana mudah mengambil kayu saat musim salju, dikarenakan jika keluar dari rumah cukup bahaya saat musim salju, banyak hewan liar dan monster berkeliaran.
Deana mengelus dagunya. Berpikir. "Apa aku buat gudang kayu satu lagi?" Menimbang-nimbang. "Mumpung musim semi masih panjang, kali ini putri juga sudah besar, jadi aku lebih leluasa mencari kayu dan membuat lubang, tahun lalu agak sulit." Deana bergumam.
"Ya, baiklah, aku akan membuat satu gudang kayu lagi dan gudang lainnya mungkin. Lebih baik bersiap siaga, dari pada nanti kesusahan!"
Langit sudah berwarna jingga.
"Na, lang?" Putri berseru di keranjang kayu yang mengurungnya.
Deana meninggalkan pekerjaannya diteras depan, lalu mendekat ke arah putri.
"Tidak, beberapa hari ini kita akan menginap di sini, aku akan menambah lumbung kayu dan tempat penyimpan makanan, buat stok musim gugur dan musim salju. Beberapa hari lalu kita sudah mengambil dana konsumsi di kantor kerajaan, jadi tidak akan ada tamu mendekat ataupun curiga kita pergi," terang Deana.
"Pa ta gur ju ni?" Putri menatap Deana.
Deana mengelus lembut rambut putri. Walau bahasa putri belum lurus, tapi dia sangat paham dan mengerti apa yang dikatakan sang putri.
"Habis musim semi ini akan ada musim gugur, musim ini penting sekali kita bersembunyi, agar terhindar dari kejahatan, kita butuh banyak stok makanan untuk itu. Usai musim gugur akan datang musim salju, tak perlu semusim penuh kita bersembunyi, tapi kita akan bersembunyi di sini, di gubuk yang disebut istana selir ke-69 itu tidak akan bisa menahan hawa dingin yang menusuk Yang Mulia Putri."
"Ya." Putri mengangguk.
"Anda sangat pintar, saya sangat senang dan merasa dipermudah. Kata orang, anak kecil itu sungguh merepotkan, namun Yang Mulia Putri sejak bayi sangat menyenangkan, pengertian dan sangat pintar. Sungguh beruntung hamba ini." Deana mencium pipi putri kecil itu penuh kasih sayang.
"Na wang?" Putri memainkan jari mungilnya.
"Uang?" Aku sudah menyimpan dan membawanya kemari, harta benda yang penting sudah aku simpan di sini. Jadi, aman."
"Hehe, ntal!" Sang putri bertepuk tangan memuji Deana.
"Putri lapar?"
Sang putri mengangguk. "Kan, kan!" Dia bersenandung riang.
"Baiklah, aku mengemas itu dulu, bersiap mengunci dan menutup semua, karena sebentar lagi akan gelap."
Deana membawa semua bahan dan alat yang dia kerjakan tadi di teras, memasang jebakan di luar untuk jaga-jaga jika Ada hewan liar yang mendekat, baru menutup rapat semua pintu dan jendela, bahkan memasang pasak kayu besar beberapa lapis di daun pintu dan jendela.
Setelah memastikan semua tertutup, barulah dia menghidupkan api di dapur untuk menghangatkan kuah sup tulang burung untuknya, serta membuat sayuran baru untuk sang putri.
Selang menunggu itu masak, dia membuat penerang berbahan arang kayu yang di bakar di tempat pembakaran penerang, sebesar betis. Itu cukup menerangi ruangan.
Deana menghidangkan makanan, semangkuk sayuran untuk putri, daging bakar dan sup tulang burung untuknya.
"Mu Na!" Putri menunjuk makanan Deana.
"Anda tidak bisa memakannya Putri, anda pemakan sayuran seperti ibunda Anda," balas Deana. Ya, karena sejak putri bayi, putri itu bisa makan sayur, makanya Deana selalu membuatkan makanan berbahan sayur dan buah.
"Na, mu!" Putri menjangkau mangkuk Deana, langsung memasukkan daging penuh ke dalam mulutnya.
"Uhuk!" Mata putri terbalik, dia memegang tenggorokannya.
"Putri!" jerit Deana ketakutan. "Anda tidak bisa makan daging, anda anak dari selir rakyat biasa!" Deana mengguncangkan tubuh putri, berusaha agar sang putri memuntahkan daging itu.
Deana cemas sekali. Sekarang sudah gelap, untuk keluar dari hutan cukup bahaya, namun dia harus segera minta pertolongan pada orang demi keselamatan putri.
"Putri!" Dia memeluk putri dari belakang, menggoyang, menepuk pelan punggung dan tengkuk putri. "Putri, hamba salah, tolong bertahanlah." Deana sangat cemas.