NovelToon NovelToon
Fangirl Cantik Milik Tuan Antagonis

Fangirl Cantik Milik Tuan Antagonis

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Obsesi / Transmigrasi ke Dalam Novel / Kaya Raya / Fantasi Wanita / Ruang Ajaib
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: BlackMail

Aluna, seorang pekerja kantoran, punya satu obsesi: Grand Duke Riven Orkamor, antagonis tampan dari game otome yang seharusnya mati di semua rute. Baginya, menyelamatkan Riven adalah mimpi yang mustahil.

​Hingga sebuah truk membuatnya terbangun sebagai Luna Velmiran — putri bangsawan kaya raya yang manja dan licik, salah satu karakter dalam game tersebut.

​Kini, Riven bukan lagi karakter 2D. Ia nyata, dingin, dan berjalan lurus menuju takdirnya yang tragis. Berbekal pengetahuan sebagai pemain veteran dan sumber daya tak terbatas milik Luna, Aluna memulai misinya. Ia akan menggoda, merayu, dan melakukan apa pun untuk merebut hati sang Grand Duke dan mengubah akhir ceritanya.

​Namun, mencairkan hati seorang antagonis yang waspada tidaklah mudah. Salah langkah bisa berarti akhir bagi mereka berdua. Mampukah seorang fangirl mengubah nasib pria yang ia dambakan, ataukah ia hanya akan menjadi korban tambahan dalam pemberontakannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlackMail, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18 : 1000%

Dari tempatnya yang sepi di bawah naungan pohon willow, Riven Orkamor mengamati kekacauan di padang rumput.

"Luna Velmiran... Apa dia asli?" Pertanyaan itu menggantung di pikirannya.

​Di matanya, dunia adalah sebuah lapisan data mentah yang terus-menerus membanjiri indranya. Di atas kepala setiap siswa, melayang angka persentase — sebuah metrik dangkal yang terus berubah. Sementara di dalam dada mereka, berdenyut warna emosi mereka yang sesungguhnya.

​Ia melihat sekelompok gadis tertawa bersama. Angka afeksi di antara mereka hanya berkisar 15% sampai 20%, terlalu rendah untuk disebut pertemanan. Benar saja, warna hati mereka keruh oleh campuran hijau pucat dari rasa iri, ungu dari kesombongan, dan biru tua dari rasa tidak nyaman karena keterpaksaan sosial.

​Di dekat mereka, seorang putra Baron memuji seorang putra Count dengan antusias. Angka di atas kepalanya menunjukkan 60% kekaguman, tetapi warna hatinya adalah ungu pekat dari ambisi dan keserakahan murni. Sebuah pertunjukan kepalsuan yang melelahkan.

​Semuanya bisa diprediksi. Kemampuannya, yang terbangun setelah kecelakaan di usianya yang kesepuluh, telah membunuh semua ilusi. Emosi menjadi variabel yang bisa dibaca dan dieksploitasi. Anak kecil yang dulu ceria itu telah lama menghilang, digantikan oleh seorang pengamat dingin yang melihat kebohongan di balik setiap senyuman.

​Lalu, ada Luna Velmiran... gadis yang aneh.

​"Suamiku katanya?" batin Riven, mengingat kembali apa yang ia dengar sebelumnya. Ujung telinganya sedikit memerah. "Apa perasaannya padaku itu... asli?"

Pikirannya melayang kembali ke pagi itu...

Riven berdiri di depan cermin, merapikan seragam Akademi Trisula yang terasa asing di tubuhnya. Terlalu mencolok.

Dari jendela kamarnya di puncak menara Kastil Mantaris, ia bisa melihat lautan kelabu yang tak berujung dan sisa-sisa reruntuhan kota pelabuhan di bawah sana yang kini tergenang air laut — bekas luka abadi yang ditinggalkan oleh Kaisar Thalor Charcarion. Pria yang seharusnya ia panggil dengan sebutan ayah.

Riven mengambil kopernya dan berjalan keluar. Langkah kakinya menggema di koridor yang sepi dan dingin, udaranya selalu terasa asin di sini. Saat ia lewat, beberapa pelayan yang sedang membersihkan perabotan langsung menepi, menundukkan kepala mereka dalam-dalam dengan penuh hormat.

"Di mana Ibu?" tanya Riven, suaranya yang dingin memecah keheningan.

Seorang pelayan tua menjawab tanpa berani mengangkat wajah. "Duchess Mantaris ada di halaman latihan timur, Tuan Muda."

Riven mengangguk dan melanjutkan langkahnya. Ia menemukan ibunya di sana, di sebuah halaman latihan yang menghadap langsung ke laut lepas.

Duchess Lira Mantaris berdiri sendirian, membelakanginya. Rambut panjangnya yang berwarna abu-abu laut gelap berkilau perak saat terkena cahaya pagi yang pucat. Meski hanya mengenakan pakaian latihan yang sederhana, aura keagungan seorang mantan Ratu terpancar dari setiap gerakannya. Pedang di tangannya bergerak dengan keanggunan tarian, memotong udara dengan suara desisan yang mematikan.

"Kau sudah mau berangkat," kata Lira tanpa menoleh, seolah ia bisa merasakan kehadiran Riven dari embusan angin laut.

"Ya," jawab Riven singkat, meletakkan kopernya.

Lira menyarungkan pedangnya dan berbalik. Mata perak laut dalamnya yang seolah bisa menatap melampaui waktu, memindai Riven dari atas ke bawah. Wajahnya yang awet muda tampak tenang seperti biasa.

"Hati-hati di sarang ular itu, Riven," katanya, suaranya lembut namun penuh wibawa. "Jangan percaya siapapun, terutama yang berafiliasi dengan Kaisar."

"Jangan khawatir, tidak ada yang bisa menyentuhku."

"Ibu tidak khawatir," sahut Lira, sebuah senyum tipis yang sangat langka muncul di bibirnya. Ia melangkah mendekat dan merapikan kerah seragam Riven yang sudah sempurna. "Ibu percaya padamu." Tangannya yang dingin berhenti sejenak di bahu Riven. "Jangan lupakan tujuanmu pergi ke sana."

Tujuan mereka. Tahta. "Aku akan kembali dengan kekuatan yang lebih besar."

Senyum Lira sedikit melebar. "Dan jangan kembali tanpa membawa calon Grand Duchess yang imut."

"Baik... Hah? Apa...?" Riven terdiam, matanya sedikit melebar karena terkejut.

"Kau terlalu kaku, Ibu pun begitu," lanjut Lira, matanya kini menunjukkan kehangatan yang hanya ia perlihatkan pada putranya. "Jadi, bawalah pulang anak perempuan yang imut dan ceria."

Riven menatap lurus ke mata ibunya, melihat loyalitas absolut 100% dan warna putih kepedulian tulus yang selalu bersinar di sana untuknya. "Aku tidak akan lupa," jawabnya, menghindari topik terakhir.

Lira mengangguk, puas. Ia kemudian mundur selangkah, kembali menjadi Duchess Mantaris yang agung. "Pergilah. Tunjukkan pada mereka, kau adalah... putraku. Putranya Maharani Pedang!"

Riven membungkuk hormat, lalu mengambil kopernya dan berbalik. Saat ia berjalan meninggalkan halaman, ia mendengar suara pedang ibunya kembali membelah udara, melanjutkan latihannya yang tak pernah berakhir.

Riven tiba di tebing tertinggi di ujung pulau, tempat dermaga tua Mantaris dulu pernah berdiri. Kuda perang setianya, Argent, mendengus pelan, seolah merasakan kesedihan yang terpancar dari reruntuhan kota pelabuhan di bawah sana.

Dari sini, Kastil Mantaris yang megah namun sepi tampak seperti nisan raksasa yang mengapung sendirian di tengah lautan kelabu. Sebuah monumen abadi dari pengkhianatan sang Kaisar.

"Akademi Trisula... pusat kaum Royalis yang memuja Kaisar sebagai Pahlawan," pikirnya getir.

Tanpa ragu, Riven menaiki Argent. Ia tidak menuruni jalan setapak yang hancur. Sebagai gantinya, ia mengarahkan kudanya lurus ke arah bibir tebing.

"Jangan takut," bisiknya. Kuda itu merespons dengan ringikan semangat. "Yang akan kita hancurkan bukan Kaisar, tetapi takdir yang diciptakan para Dewa!"

Dengan satu hentakan, mereka melompat dari tebing.

Untuk sesaat, hanya ada suara angin yang menderu di telinga Riven dan sensasi jatuh yang memacu adrenalin. Namun, saat mereka mendekati permukaan air yang bergejolak, sihir Riven meledak tanpa suara.

Udara di sekitar mereka menjadi sangat dingin. Lautan di bawah mereka mulai berderak. Permukaan air laut yang tadinya cair, membeku dalam sekejap, membentuk sebuah jalur es putih yang kokoh dan berkilauan tepat sebelum kuku Argent menyentuhnya.

BLAM!

Kuda perang itu mendarat dengan sempurna di atas jembatan es pribadi mereka. Tanpa jeda, Argent langsung melaju kencang, kukunya yang dilapisi sihir mencengkeram permukaan es dengan kuat. Mereka melesat melintasi lautan, meninggalkan jejak uap dingin di belakang, sebuah komet perak yang melaju menuju Pulau utama tanpa hambatan.

Perjalanan di atas es berganti dengan keramaian koridor Akademi Trisula. Kontrasnya begitu tajam; dari kesunyian absolut ke kebisingan yang menyakitkan.

Riven berjalan melewati kerumunan, mengabaikan warna-warni emosi dan angka-angka dangkal yang melayang di sekitarnya.

Saat ia berbelok di sebuah persimpangan, inderanya merasakan pergerakan canggung yang akan menyebabkan tabrakan. Ia berhenti, sedikit jengkel, siap menerima benturan dari siswa ceroboh lainnya.

GRAP!

Kerah seragamnya dicengkram. Saat itulah Putri Velmiran mendongak menatapnya. Dunianya seketika runtuh. Dunia penuh data abu-abu dan bisa diprediksi itu seolah mengalami kesalahan sistem.

Di atas kepala gadis itu, bersinar sebuah angka yang mustahil. Bukan 60%, bukan 80%, bahkan bukan 100%. Angka itu begitu terang hingga menyilaukan penglihatannya sejenak.

[TINGKAT AFEKSI: 1000%]

Warna di jantungnya... bukan campuran warna-warni yang keruh seperti orang lain. Melainkan sebuah bola cahaya solid, sebuah matahari kecil menyilaukan dari Emas Murni yang terasa tidak nyata. Ini pertama kali baginya melihat yang seperti itu.

Reaksi pertama Riven adalah diagnosis logis. "Kerusakan fungsi? Data tidak tervalidasi? Kesalahan penafsiran?"

"Ma-maafkan saya, Grand Duke Orkamor. T-teman saya tidak sengaja," ucap gadis itu. Suaranya bergetar, tapi warna di jantungnya adalah kuning cerah — kebahagiaan murni. Kegugupannya bukan dari rasa takut, tetapi dari kebahagiaan yang sulit di tahan.

"Mungkinkah kegagalan sistem dari kemampuanku sendiri?" Riven melirik Garam Ironveil yang bersiul pura-pura tidak tahu. Tingkat Afeksi: 15% Pengakuan. Warna hatinya campuran kuning menahan tawa dan ungu rasa penasaran. Normal. Kemampuannya bekerja seperti biasa.

​Riven merapikan kerahnya. Hanya ada satu kesimpulan logis yang tersisa. "Benar. Ini pasti sihir ilusi tingkat tinggi atau sebuah artefak pengubah persepsi yang sangat kuat."

Riven segera berjalan pergi. Tidak perlu baginya mencari tahu lebih jauh, mana mungkin Putri Velmiran memiliki perasaan sebesar itu kepadanya.

1
aku
TIDAK. mak jlebb 🤣🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!