Riyani Seraphina, gadis yang baru saja menginjak 24 tahun. Tinggal di kampung menjadikan usia sebagai patokan seorang gadis untuk menikah.
Sama halnya dengan Riyani, gadis itu berulang kali mendapat pertanyaan hingga menjadi sebuah beban di dalam pikirannya.
Di tengah penantiannya, semesta menghadirkan sosok laki-laki yang merubah pandangannya tentang cinta setelah mendapat perlakuan yang tidak adil dari cinta di masa lalunya.
"Mana ada laki-laki yang menyukai gadis gendut dan jelek kayak kamu!" pungkas seseorang di hadapan banyak orang.
Akankah kisah romansanya berjalan dengan baik?
Akankah penantiannya selama ini berbuah hasil?
Simak kisahnya di cerita ini yaa!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menginginkan Keseriusan
Kita berdua langsung mengedarkan pandangan satu sama lain. Hanif mencubit pipi ponakannya, "kamu daritadi tidur aja, ngerepotin gurunya."
Radit cengengesan, "abisnya dipangku bu guru cantik enak buat tidur, Om." Aku terkekeh mendengarnya sembari menoleh pada Hanif yang masih gemas dengan ponakannya.
Tidak lama menunggu, mobil pesananku datang. Aku pamit pada Hanif yang sejak tadi memang menungguku dan ponakannya sampai mobil yang kupesan datang.
Radit melambaikan tangannya, begitupun denganku yang tersenyum setelah berpamitan padanya.
Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke rumah radit, aku mengetuk pintu rumahnya—tapi sepertinya tidak ada orang di sana.
"Radit, mamah biasanya pergi kemana?" tanyaku.
"Mamah kadang suka pergi gak tau kemana bu guru," jawabnya membuatku kebingungan.
Tau gini tadi dibawa ke rumah abang aja dulu.
Kalau kayak gini kan jadi kasian Radit juga.
Kalai ditinggal, dia yang kasian. Kalau diajak buat pulang dulu ke rumah aku, kita berdua yang kasian karena harus jalan kaki.
Di tengah lamunan dan juga rasa bingung, Radit menyapa wanita paruh baya yang baru saja datang, dengan kemeja hitam dan juga celana bahan yang terlihat sedikit ketat. Dia menyapa Radit dengan senyumannya lalu memeluk dengan erat. Terlihat keringat yang cukup banyak—sepertinya sudah berjalan cukup jauh.
"Mamah radit kan?" tanyaku.
Wanita itu tersenyum mendengarnya, "makasih ya udah nganterin adit!"
Aku tersenyum, "iya teh, sama-sama. Lagipula saya minta maaf juga karena tadi ajak dulu Radit ke rumah sakit."
Wanita itu tercengang, "loh emangnya anak saya kenapa?"
"Alhamdulillah-nya Radit gak apa-apa teh. Cuman beberapa temennya ada yang sempet keracunan makanan. Tadi saya khawatir juga kalau tinggalin Radit sendirian karena sekolah langsung dibubarkan, makanya saya bawa dulu ke rumah sakit aja," jelasku membuat ibu satu anak ini mengangguk paham.
"Kalau gitu saya pamit dulu ya teh!" pamit-ku.
"Eh main aja dulu di sini!" ajaknya, "teteh gak ada temen ngobrol. Mumpung kamu lagi di sini."
Aku sempat merasa tidak enak, tapi di rumah juga aku akan kesepian karena teteh maupun abang belum kembali dari tempat kerjanya.
Pada akhirnya, aku setuju untuk bermain sebentar dengan mamahnya radit. Aku dibawa masuk setelahnya duduk pada karpet yang tergelar di ruang tengah.
Rumahnya—terlihat cukup besar tapi begitu berantakan dan sama sekali tidak terlihat sudah lama ditempati.
"Maaf ya kalau rumah teteh sedikit berantakan, soalnya belum sempet beres-beres beberapa hari ini," ungkapnya sembari membawakan air minum dengan cemilan.
Aku mengangguk, "gak apa-apa teh. Lagian kalau punya anak seusia radit emang pasti ada berantakannya rumah."
Wanita itu mengangguk setuju mendengarnya.
Di tengah obrolan kita berdua, aku sempat mengirim pesan pada abang agar ia tidak mencariku kemana-mana nantinya.
Radit juga datang dengan buku mewarnai yang aku belikan padanya kemarin, "bu guru liat! Bagus gak hasil warnanya?"
"Wahhhh.... bagus banget!!!" ucapku dengan senyuman.
Mamahnya itu tersenyum, "adit emang suka banget mewarnai. Bahkan waktu dulu belum mulai sekolah pun, om-nya suka banget ngajak main dia buat sekedar mewarnai gitu. Sampe dinding kamar aja di gambar sama dia." Aku terkekeh mendengarnya sembari mengusak rambut radit.
Hari sudah mulai sore, Aku juga harus segera pamit karena abang akan pulang berbarengan dengan teteh. Aku harus memasak makan malam sekalipun masih cukup lama untuk waktu makan malam nanti. Tapi mendengar ucapannya kemarin cukup membuatku sakit hati.
Kalau saja tidak segan dengan abang dan juga berani berbicara pada bapak, aku ingin pisah rumah dan lebih baik mengontrak di dekat sekolah daripada harus numpang di rumah abang.
Aku berjalan cukup jauh dari rumah radit, hingga di pertengahan jalan—aku bertemu dengan Hanif yang baru saja pulang.
"Bu guru baru pulang?" tanyanya membuatku mendongak lalu tersenyum.
Hanif menghentikan motornya di dekatku. Ia memutarkan kembali arah motornya—memintaku untuk segera naik ke motornya.
"Gak apa-apa, aku mau lanjut jalan aja," tolakku.
"Ayo naik aja!" pintanya, "kan tadi udah anterin ponakan aku."
Aku menghela napas lalu setuju untuk diantar olehnya.
Karena memang aku memakai rok yang cukup ketat, aku memilih duduk sedendang dengan sedikit pegangan pada kemejanya.
Hanif menahan senyumannya, lalu melajukan motornya dengan santai, "tadi pasti diajak ngobrol dulu sama teteh kan?"
"Iya, kebetulan kita juga pernah ketemu di tempat makan waktu itu," jawabku.
"Pantesan Radit langsung kenal," timpalnya.
"Emmmmm..... Ri,"
"Iya?"
"Tawaran yang tadi pagi masih berlaku?" tanyanya.
Aku tersenyum, "masih. Tapi tergantung mau minta diantar kemana."
"Minta diantar ke undangan mau gak?" tanyanya sedikit ragu.
"Dimana?" tanyaku, "temennya aa yang nikah?"
"Bukan, tapi sepupu. Tepatnya adiknya mamah radit," jawabnya, "tempatnya di gedung cempaka."
"Kapan?" tanyaku.
"Minggu depan sih, awal bulan. Cuman Aa bilang karena buat memastikan aja, kamu mau atau enggak," jelasnya.
Kalau itu nikahan sepupunya pasti ada orang tua dan keluarganya gak sih?
Kenapa ajakin aku?
"Kamu bisa pikir-pikir dulu kok Ri," sambung Hanif.
"Kenapa ajakin aku?"
"Aku harus jelasin alasan aku ajak kamu apa, padahal kamu juga udah ngerti?" tanyanya membuatku terdiam.
Hanif memarkirkan motornya di depan pagar rumah abang. Ia tatap aku setelah turun dari motornya, "kan Aa udah bilang, kalau Aa pengen serius sama kamu. Jadi kalau kamu mau terus mau ikut juga nanti ke nikahan sepupu aa, aa kenalin ke orang tua aa."
"Tapi kan Aa belum kenal sama orang tua aku, masa main ajakin anaknya buat kenalan dulu ke keluarga cowok sih?"
Hanif terkekeh mendengarnya, "ya emangnya gak boleh kenal dulu sama keluarga cowok?"
"Bukan gitu, aneh aja. Aku juga bingung nanti izinnya gimana kalau jadi mau ikut," jawabku.
"Tenang aja, kalau kamu udah pikirkan matang terus emang mau ikut. Aa bakal ke rumah orang tua kamu buat minta izin sekaligus perkenalan," ucapnya.
Aku tersenyum mendengarnya, "emang berani?" tanyaku, "bapak kan serem."
"Sebenernya lebih serem kenalan sama abang kamu, tapi karena udah kenal sama abang kamu. Masa sih sama bapak kamu gak bisa kenalan," ucapnya membuatku terkekeh.
"Ya udah kalau gitu, nanti aku pikirin dulu ya!"
Hanif mengangguk, "aku tunggu jawabannya besok ya!"
"Kok besok?" tanyaku.
"Kan semingguan lagi acaranya. Aku juga harus siapin mental buat ketemu orang tua kamu," jawabnya membuatku menghela napas lalu mengangguk mengiyakan.
Setelah mengobrol tentang pernikahan sepupunya, Hanif pamit karena hari sudah mulai gelap juga. Aku juga segera masuk ke kamar—bersih-bersih lalu masak makan malam sebelum sholat Maghrib.
Abang dan teteh datang saat adzan Maghrib berkumandang di masjid terdekat. Tapi bukannya segera bersih-bersih dan juga sholat, keduanya malah duduk di kursi meja makan—memakan makanan yang sudah tersaji di meja makan.
Beberapa menit setelahnya, Aku baru saja keluar untuk makan malam. Helaan napas terasa berat ketika melihat masakanku sudah hampir habis dengan piring kotor yang ada di meja makan.
Di pikir-pikir aku kayak pembantu di sini.
Aku langsung masuk ke kamar—menghubungi bapak dengan tangisan yang sudah tidak bisa dibendung lagi, "neng mau ngekost aja. Gak mau di sini lagi,"
"Emangnya kenapa?"