Dunia Isani seakan runtuh saat Yumi, kakak tirinya, mengandung benih dari calon suaminya. Pernikahan bersama Dafa yang sudah di depan mata, hancur seketika.
"Aku bahagia," Yumi tersenyum seraya mengelus perutnya. "Akhirnya aku bisa membalaskan dendam ibuku. Jika dulu ibumu merebut ayahku, sekarang, aku yang merebut calon suamimu."
Disaat Isani terpuruk, Yusuf, bosnya di kantor, datang dengan sebuah penawaran. "Menikahlah dengaku, San. Balas pengkhianatan mereka dengan elegan. Tersenyum dan tegakkan kepalamu, tunjukkan jika kamu baik-baik saja."
Meski sejatinya Isani tidak mencintai Yusuf, ia terima tawaran bos yang telah lama menyukainya tersebut. Ingin menunjukkan pada Yumi, jika kehilangan Dafa bukanlah akhir baginya, justru sebaliknya, ia mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Dafa.
Namun tanpa Isani ketahui, ternyata Yusuf tidak tulus, laki-laki tersebut juga menyimpan dendam padanya.
"Kamu akan merasakan neraka seperti yang ibuku rasakan Isani," Yusuf tersenyum miring.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28
Sani memutar kedua bola matanya jengah melihat Yusuf dan Irene yang baru pulang. Keduanya tampak mesra, dimana si perempuan bergelayut manja pada lengan si laki-laki sambil tersenyum bahagia, seolah dunia milik mereka berdua. Yusuf terdengar beberapa kali memuji Irene, menoel hidung, juga dagu istri keduanya tersebut. Keduanya bercengkrama sambil saling puji, seperti sengaja melakukan untuk pamer kemesraan. Di belakang mereka, dua orang bodyguard tampak menyeret dua koper besar.
Sani yang duduk di sofa sembari menonton berita TV, pura-pura tak melihat saat keduanya sudah dekat.
Buk
Isani menggeram tertahan saat jas milik Yusuf, menimpa kepalanya. Gak ada akhlak memang suaminya itu. Dengan perasaan dongkol, menyingkirkan jas tersebut dari kepalanya sambil mengumpat dalam hati.
"Udah bersih-bersih?" tanya Yusuf.
"Udah," sahut Sani tanpa menoleh, fokus melihat TV yang membahas tuntutan 17+8.
"Kalau ngomong itu lihat orangnya," omel Yusuf.
"Dia cemburu kali, lihat kita Yank," celoteh Irene, menyandarkan kepala di bahu Yusuf.
Sani tak merespon apapun, juga tak menoleh. Dia lelah hari ini, malas untuk debat.
"Siapkan makanan, kami mau makan malam."
Yusuf mengajak Irene ke kamar, pun dengan dua bodyguard yang membawa koper berisi barang-barang Irene.
Kedua bodyguard tersebut pamit setelah mengantarkan barang Irene.
Baru masuk, Yusuf sudah merasa ada yang gak biasa dengan kamarnya. Hidungnya terasa kurang nyaman. "Kamu mencium bau kurang sedap gak sih?"
"Enggak. Bau apa?" Irene malah balik nanya.
"Gak tahu, tapi kayak ada bau kurang enak aja." Yusuf mengambil remot AC, menyalakan pendingin ruangan tersebut, mungkin saja bau ini karena kamarnya pengap. "Bau apa sih ini?"
Irene mendadak seperti disindir, ia menghidu bau tubuhnya sendiri. Ah, wangi kok. "Aku lapar."
Setelah ganti baju, keduanya kembali turun untuk makan. Yusuf sudah memberitahu Bi Wati jika malam ini dia dan Irene makan di rumah, jadi wanita itu sudah menghidangkan makanan di meja makan.
"Nyonya gak ikut makan di meja makan?" Bi Wati menarik kursi, duduk di sebelah Isani yang sedang makan di dapur.
Sani menggeleng, "Bisa gak ada selera makan aku kalau bareng mereka, mending disini," ia lanjut menikmati makanannya. Namun tiba-tiba, suara is akan dari sebelah, membuat dia menoleh. "Bibi nangis?"
Bi Wati buru-buru menyeka air matanya dengan jemari. "Bibi gak tega lihat Nyonya makan di dapur seperti ini, sedangkan mereka... "
"Astaga Bi," Sani mengusap lengan Bi Wati. "Aku udah biasa seperti ini. Sejak kecil, aku selalu makan di dapur," tersenyum, menunjukkan pada Bi Wati jika ia baik-baik saja, bahkan sangat menikmati makanannya. "Selama 20 tahun lebih, aku selalu makan di dapur, bisa dibilang, makan siang kemarin, pertama kalinya aku makan semeja dengan keluarga Papaku."
Bi Wati makin sesenggukan, air matanya mengalir makin deras, bahunya berguncang hebat.
"Astaghfirullah, kenapa makin kenceng sih?" Sani garuk-garuk kepala, bingung.
"Kasihan sekali Nyonya Isani, dari kecil sudah menderita."
Sani memeluk Bi Wati, bersyukur di istana yang berasa seperti neraka ini, masih ada seseorang yang tulus sayang padanya. "Gak menderita-menderita amat kok, aku masih bisa makan, masih bisa sekolah, masih ada tempat tinggal. Di luar sana, banyak orang yang bahkan untuk makan saja tak bisa, bagaimana mungkin aku menyebut diriku paling menderita, takut kufur nikmat."
"MasyaAllah, Nyonya memang benar-benar orang baik. Bibi do'akan semoga berjodoh sampai akhir hayat dengan Tuan Yusuf."
"Astaga!" Sani melepas pelukannya, menatap Bi Wati kesal. "Bisa gak sih, do'anya jangan itu itu terus."
Bi Wati tertawa cekikikan melihat Sani marah. Ia lalu menggenggam tangan majikannya tersebut. "Dulu, sebelum Nyonya meninggal, dia menitipkan Tuan Yusuf pada Bibi," ia kembali mewek. "Beliau tahu kalau Bibi tulus, sayang sama Tuan Yusuf karena Bibi ikut mengasuhnya sejak kecil. Sekarang, Bibi sudah tua, mungkin hidup juga tak akan lama lagi."
"Astaghfirullah, gak boleh ngomong gitu, Bi."
"Bibi akan tenang kalau Tuan Yusuf bersama Nyonya Sani," Bi Wati mengusap punggung tangan Isani. "Bibi yakin, Nyonya bisa menjadi istri yang baik untuk Tuan. Bibi akan selalu mendoakan kebaikan untuk rumah tangga kalian. Semoga besok atau nanti, kalian bisa rukun, bisa membina rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah."
"Aamiin." Sani langsung membekap mulutnya dengan telapak tangan saat sadar telah mengamini doa Bi Wati.
Bi Wati tersenyum. "Bibi akan pergi dengan tenang dan merasa telah menjalankan amanah Nyonya Anika jika Tuan Yusuf bersama wanita yang tepat, yaitu Nyonya Sani. Tolong, tetap bertahan ya."
Sani menggeleng, "Aku gak bisa janji, Bi. Aku gak tahu sampai kapan aku bisa tetap kuat."
"Bisa, Nyonya Bisa. Saya akan bantu."
"Isani, Isani!" teriakan Yusuf dari meja makan, mengganggu deep talk Isani dan Bi Wati.
"Astaga, ngapain sih, ganggu orang makan aja," gerutu Sani.
Bi Wati segera berdiri, "Biar Bibi aja yang kesana, Nyonya lanjut makan saja." Ia berjalan menuju ruang makan.
Sambil memainkan sendok di tangan, Yusuf menghela nafas panjang mengetahui Bi Wati yang datang. "Saya manggil Sani."
"Nyonya masih makan. Tuan butuh sesuatu, biar saya yang ambilkan."
"Saya butuh Sani, panggil dia."
"Nyonya ma_"
"Saya butuh Sani, Bi," tekan Yusuf. Ia tak bisa marah pada wanita tua yang statusnya hanya ART tersebut, karena sejak kecil, alm. ibunya selalu menekankan padanya untuk menghormatinya.
"Ba-baik," Bi Wati terpaksa kembali ke dapur, tak mau membuat Yusuf marah.
"Harus aku ya?" Sani sudah bisa menebak saat Bi Wati kembali dengan muka ditekuk. Bi Wati hanya menjawab dengan anggukan, lalu kembali duduk di tempat semula.
Sani terpaksa meninggalkan dulu makanannya, beranjak untuk menemui Yusuf.
"Sayang, ini enak banget lo, cobain deh," Irene menyodorkan udang yang ia tusuk dengan garpu, ke depan mulut Yusuf.
Sani memutar kedua bola matanya malas, tahu jika keduanya sedang pamer kemesraan untuk memanas-manasinya.
"Hem, iya enak. Ini juga enak loh, cobain," gantian Yusuf menyuapi Irene daging.
Sani tertawa cekikikan, membuat Yusuf dan Irene langsung menoleh padanya. "Ngapain dia kamu suruh nyobain daging itu, noh di piringnya udah ada, udah tahu dia rasanya," menunjuk dagu pada piring Irene. "Makanya, sebelum akting, briefing dulu, biar gak keliatan begonya."
"Heh Isani, kalau cemburu bilang aja," Irene tampak kesal. "Bilang aja, kamu juga pengen disuapin suamiku."
"Ngapain pengen, udah pernah," Sani lagi-lagi menahan tawa. "Asal kamu tahu aja, dulu sebelum nikah, nih laki so sweet banget," menunjuk Yusuf. "Tapi tahunya cuma drama, akting," tersenyum kecut. "Hati-hati aja kamu, Ren, siapa tahu sekarang dia juga lagi drama, gak beneran cinta sama kamu. Dia ini king of drama."
"Diam kamu!" bentak Yusuf. "Istri saya pengen kerupuk, ambilin."
"Enggak, aku gak pengen," Sani menggeleng.
Yusuf membuang nafas kasar. "Siapa yang bilang kamu?" matanya memelototi Isani.
"Tadi kamu bilang istri saya, aku juga istri kamukan?"
"Isani!" Yusuf menggeram tertahan, rahangnya tampak mengeras. "Maksud saya Irene."
"Oh... si pelakor, bilang dong yang jelas."
"Heh! Apa maksud kamu bilang saya pelakor?" Irene yang tak terima, langsung berdiri.
"Perebut suami orang, sebutannya pelakorkan? Masa gitu aja gak faham, masih tanya maksudnya?" sambil bersedekap, Sani tersenyum miring.
"Aku istri kedua, bukan pelakor," Irene mendelik tajam.
"Istri kedua yang dinikahi tanpa izin istri pertama, itu namanya pelakor, perebut suami orang!"
"Kurang ajar!"
Cetak
"Awww!" Sani meringis saat keningnya terkena lemparan sendok oleh Irene. "Bangsatt!" Ia mengambil sendok sayur, ganti melemparkan ke muka Irene.
"Aww!" gantian Irene yang menjerit. Rasanya jelas lebih sakit karena sendok sayur lebih besar dan berat. "Sayang, sakit," ia mengadu pada Yusuf, mengusap keningnya yang sakit.
Yusuf menatap Sani nyalang, lalu melempar sendoknya ke wajah Isani. "Berani kamu ngasarin Irene!"
hadeuhhh kalo tiap hari Yusuf ngegombalin Isani kayak gini terus bisa² belum 3bln dah lulus tuh ujian Yusuf.
Yakin y San si Tiara bukan pelakor.
semoga bukan PELAKOR 😱😱
Ucup disini nanti imanmu di uji lagi
mampukah selama 3 bulan selalu setia n cinta sama Sani
eheheh...kok AQ negatif thinking dgn Tiara 🤣🤣
❤❤❤❤😍😍😙😗