NovelToon NovelToon
Bunga Kering Vs. Narsistik Gila

Bunga Kering Vs. Narsistik Gila

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Pembaca Pikiran / Pelakor jahat
Popularitas:859
Nilai: 5
Nama Author: Tri Harjanti

Jarang merasakan sentuhan kasih sayang dari suami yang diandalkan, membuat Mala mulai menyadari ada yang tidak beres dengan pernikahannya. Perselingkuhan, penghinaan, dan pernah berada di tepi jurang kematian membuat Mala sadar bahwa selama ini dia bucin tolol. Lambat laun Mala berusaha melepas ketergantungannya pada suami.
Sayangnya melepas ikatan dengan suami NPD tidak semudah membalik telapak tangan. Ada banyak konflik dan drama yang harus dihadapi. Walaupun tertatih, Mala si wanita tangguh berusaha meramu kembali kekuatan mental yang hancur berkeping-keping.
Tidak percaya lagi pada cinta dan muak dengan lelaki, tetapi jauh di dasar hatinya masih mengharapkan ada cinta tulus yang kelak melindungi dan menghargai keberadaannya di dunia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Harjanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Siksa Menggila

Pening di kepala Mala bukannya berangsur membaik, malah semakin bertambah. Dada masih berdebar tak keruan. Mala tak tahu apa yang terjadi pada dirinya, rasanya hanya bumi berputar begitu kencang. Maya dan Moya membujuknya untuk terus menyuapkan makanan, Mala terus menggeleng. Rasa mualnya kuat sekali. Entah apa pun yang memasuki lambungnya langsung dimuntahkan lagi. Mala sampai lemas dan pucat.

"Sebaiknya kita ke dokter, Mah!" cetus Maya.

"Apa Moya perlu pangilkan Kakek? Atau telepon Papah?" usul Moya si anak ke dua.

Mala tidak menjawab. Bram pergi pagi-pagi sekali, itu artinya ada yang dia lakukan yang tak boleh diganggu. Lagipula entah di mana ia sekarang. Jika ayah Mala, entahlah apa yang ada dalam pikiran pria tua itu. Dari kemarin, dia sudah tahu kondisi Mala, tapi tak juga mengunjungi dan setidaknya bertanya bagaimana kondisi kesehatan putrinya. Mala hampir meyerah, memikirkan ayah dan suaminya membuat Mala frustrasi dan bertambah pening.

Menit, jam berlalu ... Mala tak kunjung membaik. Masih demam dan untuk berjalan saja terhuyung-huyung. Anak-anak panik dan akhirnya memutuskan menghubungi papah mereka. Mala ingin mencegah tapi tak kuasa membuka mulut.

Sampai akhirnya suara ribut terdengar di sela rasa kantuk yang sangat. Mala membuka mata dan melihat Bram di sana berbicara, memerintah pada Maya dan Moya. Supaya menyiapkan barang Mala dan memasukkan ke dalam tas. Mala masih berpikir keras bagaimana caranya agar dirinya tak usah ke rumah sakit. Sisi lain ia membutuhkan pengobatan, sisi lain Mala memikirkan biaya. Coba diingat-ingatnya isi saldo rekeningnya sekarang. Mala telah mengeluarkan banyak untuk keperluan Almarhumah Mama.

Bagaimana ini, aku tak mau di bawah kendali Bram karena terpaksa menggunakan uangnya.

Terlalu lemah untuk berdebat. Mala juga tak memiliki asuransi kesehatan karena Bram melarang. Dalam keadaan terdesak begini, Mala baru sadar pentingnya dana darurat.

Tapi bagaimana aku bisa menabung tanpa tersentuh kebutuhan hidup yang terus merangkak naik?

Selama ini terlalu sibuk menyokong kehidupan orang tua, memenuhi biaya sehari-hari anak-anak yang tidak tercukupi dari Bram.

"Mala, bisa berdiri tidak kamu?!" bentak Bram mengagetkan. Mala langsung berusaha untuk duduk, mual itu kembali menyerang.

"Kita ke rumah sakit sekarang!" perintah Bram.

Memerintahkan Maya membuka pintu mobil dan segera menggendong Mala menuju mobil. Mala sudah tak bisa protes. Mulutnya terkunci rapat—pasrah.

Bram berteriak, berpesan pada anak sulungnya untuk menjaga si kecil Mia yang menangis melihat Mala digendong dan hendak dibawa pergi.

***

Jalanan sedang macet-macetnya, bertepatan jam pulang kantor. Urat leher Mala menegang, bukan lagi sebab pening yang tak mau menyingkir ... tetapi karena kebiasaan Bram ketika stres di jalan yang bertemperamen tinggi. Sudah sangat mual dan tak ingin dengar apa pun yang membuat tegang pikiran.

Sayangnya, sore menjelang senja yang indah tak membantu meredam Bram menjadi lebih sabar. Mulai dicari-carinya gara-gara biar bisa meluapkan kekesalan. Membentak Mala yang malas menjawab ini, itu yang Bram tanyakan di jalan. Bram juga marah pada pengendara yang menyalip, belum lagi panggilan telepon yang terus dimatikan. Melihat Mala gusar dan berkali-kali menyetir sambil mengetik pesan di ponselnya.

Tindakan sembrono Bram saat menyetir membuatnya hampir menyerempet pengendara motor.

"Hati-hati, Bram!" sontak Mala memekik.

"Apa katamu, Bram? Kamu bilang Bram???"

Bram memang tidak suka Mala memanggil dengan nama saja, menurut Bram itu tidak sopan.

"Apa pun yang aku lakukan buat kamu, percuma ya? Kamu nggak pernah menghargai aku??"

Mala memejamkan mata. Menyesal salah bicara. Si tuan paling haus penghormatan ini menemukan celah untuk meluapkan emosi. Agar tak menjadi lebih besar Mala diam saja. Rupanya hal ini membuat Bram bertambah murka.

"Kamu loh selalu menghalangi jalanku untuk sukses, baru saja rapat ada kerja sama projek besar sama vendor, eh ditelepon kamu sakit, mesti loh sakitnya nggak lihat waktu!"

Mala sempat melongo, lantas bicara dengan suara tercekat. "A-aku sudah bilang ke anak-anak untuk tidak menghubungi kamu, Pah."

"Tapi akhirnya apa, hubungin aku tho?" Nada kesal Bram sudah sampai ubun-ubun.

"Lagian siapa juga yang mau sakit, Pah!" gumam Mala yang membuat Bram tambah emosi.

Bram menggebrak setir, sampai klakson mobil berbunyi tak beraturan. Bram juga menakut-nakuti Mala dengan menekan gas hingga laju mobil kencang.

Mulutnya mengomeli Mala dengan seribu kalimat pedas. Katanya Mala tak tahu diri, beban suami yang sedang kerja, jaga badan sendiri saja tidak bisa.

"Ayahmu ke mana sih? Datang ke rumah kalau minta uang saja! Memangnya nggak tahu kamu sakit?!"

Mala membisu. Ia sendiri tak mengerti kenapa ayahnya yang bertempat tinggal hanya dua blok dari rumah tidak kunjung menanyakan kondisi Mala. Sedangkan dua hari ini ketika kondisi Mala tak sehat, Mala tidak memasak dan mengirimkan makanan. Pastinya Ayah tahu Mala benar-benar sakit. Maya yang mengatur semuanya. Memesan makanan untuk adik-adik dan juga memesankan makanan untuk kakeknya. Terkadang Moya anak tengahnya, memasak sedikit penganan yang ia bisa—menggunakan bahan-bahan yang tersedia di kulkas.

Jika Bram saja tak habis pikir dengan ketidakpedulian ayah Mala, apalagi Mala yang anak kandungnya.

Bunyi klakson masih menjerit-jerit. Mala panik dengan kemarahan Bram sambil menyetir begini. Dalam hati terus berdoa supaya segera tiba di rumah sakit.

Harapan Mala terkabul, tak menunggu waktu lama. Badan lemah Mala tergeletak di atas emergency bed sedang di dorong mendekati IGD.

Mala pasrah, sekadar mengangkat kepala saja tak kuat. Kini Bram memperlakukan Mala penuh kasih sayang, layaknya suami yang mengantar istri yang tengah sakit. Tak heran, Bram sedang menjelaskan kondisi Mala pada dokter dan perawat jaga yang langsung menangani.

Dalam hatinya Mala berujar, pandai sekali akting Bram. Dia pantas mendapatkan piala citra untuk wajah beringas saat hanya berdua Mala yang berubah ramah dan lembut ketika di hadapan banyak orang.

Entahlah, Mala sangat mengantuk.

***

Sayup-sayup telinga Mala menangkap pembicaraan Bram dengan seorang perawat. Mengenai trombosit terus menurun hingga berada di titik berbahaya bagi keselamatan Mala dan diperlukannya transfusi trombosit. Tubuh Mala menggigil, ujung kaki terasa kaku dan dingin. Mencoba membuka mata walau di antara kelopaknya seperti ada lem yang menempel.

Bram sedang mengangguk-angguk serta menandatangani beberapa dokumen untuk tindakan perawatan Mala.

Sudah lemas, sudah pasrah, pun ketika sekilas mendengar alasan perawat meminta Bram menyetujui pembelian kantung darah merah dan trombosit, yang dikarenakan Mala terkena DBD.

Mala coba mengingat-ingat, kapan terakhir dirinya digigit nyamuk. Tapi gagal, yang diingat cuma stress berkepanjangan akibat meninggalnya Almarhumah Mama yang begitu mendadak serta betapa frustrasi Mala saat ini meladeni dua orang yang sama manipulatif dan playing victimnya yaitu suami dan ayah kandungnya sendiri.

"Ja-jadi aku terkena DBD?" tanya Mala terbata pada Bram yang kini berdiri menatapnya sayu.

"Iya, dan dokter menyuruh transfusi darah!"

Bram terdiam memperhatikan Mala yang untuk sekadar mengangkat kepala pun tak sanggup.

"Huh, aku harus membatalkan semua janji!" keluh Bram, dia terlihat gelisah dan mengabaikan getar ponsel di saku jaketnya.

Mala jadi overthinking kira-kira siapa yang terus menghubungi Bram. Sampai Bram terus merasakan dilema hebat, berkacak pinggang, menggigit bibir.

"Saldo di rekening kamu ada berapa Mala?" tanya Bram membuyarkan lamunan Mala yang semrawut. Melemparkan kembali pada pikiran yang sama dengan hal yang mengkhawatirkan Mala saat perjalanan ke rumah sakit. Soal biaya perawatan.

...ΩΩΩΩ...

1
Randa kencana
ceritanya sangat menarik
Nurika Hikmawati
Semangat terus ya Mala... kamu pasti biaa bngkit
Nurika Hikmawati
gantian coba kamu yg di rumah Bram!
Nurika Hikmawati
ceritanya bagus, penulisannya enak dibaca.
Nurika Hikmawati
kasihan sekali mala... sabar ya mala
Nurhikma Arzam
agak seram ya boo
Nurhikma Arzam
curiga sama bram asem
Janti: emang asem sie dia
total 1 replies
Nurhikma Arzam
kereen nih semangat thor
Janti: makasih yaa
total 1 replies
Meliora
🥺 Drama ini sukses membuat saya terharu.
Janti: Makasih yaa👍
total 1 replies
Dulcie
Kisahnya bikin meleleh hati, dari awal sampai akhir.
Janti: makasih kk udah mampir👍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!