NovelToon NovelToon
Kau Rebut Calon Suami Ibuku, Kurebut Suamimu

Kau Rebut Calon Suami Ibuku, Kurebut Suamimu

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Beda Usia / Pelakor / Identitas Tersembunyi
Popularitas:5.5k
Nilai: 5
Nama Author: ila akbar

‎Menjalin hubungan dengan pria lajang ❌
‎Menjalin hubungan dengan duda ❌
‎Menjalin hubungan dengan suami orang ✅
‎Mawar tak peduli. Bumi mungkin adalah suami dari tantenya, tapi bagi Mawar, pria itu adalah milik ibunya—calon ayah tirinya jika saja pernikahan itu dulu terjadi. Hak yang telah dirampas. Dan ia berjanji akan mengambilnya kembali, meskipun harus... bermain api.


Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ila akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23

“Jadi… selama ini mereka semua mengira bahwa Ibu pergi atas kemauannya sendiri?”

Tangannya mengepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Kemarahan menggelegak di dadanya, membakar setiap inci kesabarannya.

“Mereka tidak tahu… mereka benar-benar tidak tahu bahwa dalang di balik semua ini... adalah Tante Lusi?”

Mawar merasakan darahnya mendidih. Dadanya naik turun menahan amarah yang nyaris meledak.

“Tante Lusi benar-benar biadab! Dia bukan manusia!”

Matanya berkaca-kaca, bukan karena kesedihan, melainkan karena kemarahan yang membara—amarah yang selama ini ia pendam dalam diam.

“Pantas saja… tidak ada satu pun dari keluarga Oma yang mencari Ibu!”

“Pantas saja Ibu terabaikan begitu saja!”

“Semua ini karena manipulasi liciknya!”

Mawar ingin berteriak, ingin mengungkap segalanya di hadapan mereka, ingin menghancurkan kebohongan yang telah bertahun-tahun menutupi kebenaran.

Namun, belum saatnya.

Dengan sekuat tenaga, Mawar menekan gejolak yang berkecamuk dalam dirinya. Api amarahnya tetap membakar, tapi ia tahu—dendam ini bukan untuk meledak dalam sekejap. Ini adalah api yang akan ia jaga, ia pupuk… sampai tiba waktunya untuk membakar habis semua kebohongan yang telah menghancurkan hidupnya.

Di meja makan, Lusi menarik napas dalam, suaranya sedikit bergetar saat melanjutkan.

“Apa Ibu lupa?” Tatapannya tajam, penuh emosi yang ia tekan. “Kepergian Mbak Resti tanpa pamit membuat Ayah jatuh sakit! Ia terus memikirkan mereka, hingga akhirnya…”

Lusi menggigit bibirnya, menahan sesuatu di tenggorokannya. Butuh beberapa detik baginya untuk melanjutkan.

“…hingga akhirnya, Ayah meninggal.”

Hening.

Seluruh ruangan terasa membeku.

Mawar menegang. Tubuhnya seketika terasa ringan, seperti sedang melayang di antara kenyataan dan ilusi.

“Opa… meninggal?”

Suara itu nyaris tidak terdengar.

“Jadi… sekarang Opa sudah tiada?”

Dunianya seakan berhenti berputar. Seluruh tubuhnya mendadak mati rasa.

Ingatan-ingatan lama berkelebat di benaknya—sosok pria tua yang selalu menggendongnya tinggi-tinggi, yang menyelipkan permen di tangannya dengan senyuman penuh rahasia, yang memeluknya erat setiap kali ia menangis…

Sekarang, sosok itu telah tiada.

Karena memikirkan Resti, Mawar, dan Anjani.

Karena kehilangan mereka.

Karena kehilangan dirinya.

Sebuah guncangan hebat terasa di dadanya. Air mata hampir lolos dari kelopak matanya, tapi sekali lagi, ia menahannya. Tidak, ia tidak boleh menangis.

Di antara ketegangan yang melingkupi ruangan, suara Bumi akhirnya terdengar.

“Tapi, Lusi…” Ia menatap istrinya dalam, ada keraguan di sorot matanya. “Apa kamu tidak berpikir kalau ada yang janggal dengan kepergian Mbak Resti?”

Mawar menegakkan tubuhnya, jantungnya berdebar kencang.

Bumi melanjutkan, “Saat itu, Mbak Resti tidak dalam kondisi yang stabil. Dia… hilang kewarasannya. Kalau dipikir secara logis, mana mungkin seseorang yang bahkan tidak bisa mengurus dirinya sendiri memutuskan pergi sendirian, apalagi membawa dua anak kecil?”

Mawar menahan napas.

Bumi menggeleng pelan, ekspresinya semakin serius. “Aku tidak bisa mengabaikan kemungkinan lain. Bagaimana kalau sebenarnya ini bukan kepergian yang disengaja… tapi penculikan?”

Darah di tubuh Mawar berdesir kencang.

Tangannya mencengkeram gagang lemari, berusaha tetap berdiri tegak.

Dia tahu.

Bumi… mulai curiga.

Tiba-tiba, Lusi menegang. Ekspresinya sedikit berubah, namun ia segera menguasai dirinya. Dengan suara yang dibuat setenang mungkin, ia berkata, “Mas… jangan bicara sembarangan.”

Ia menarik napas, lalu tersenyum tipis—senyum yang terasa tidak wajar. “Apa Mas lupa? Kita menemukan surat tulisan tangan Mbak Resti di kamarnya. Dalam surat itu, dia menulis dengan jelas kalau dia pergi atas keinginannya sendiri.”

Lusi menyilangkan tangan di dadanya. “Jadi, berhenti mencari-cari sesuatu yang tidak ada.”

Bumi terdiam, tetapi tatapannya masih dipenuhi keraguan.

Di sisi lain, Ibu Mutia yang sejak tadi menangis terisak, perlahan mengangkat wajahnya. Air matanya masih mengalir, membasahi pipinya yang kini tampak begitu letih.

“Tapi… ada benarnya juga,” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan. Suaranya gemetar, seolah baru saja menemukan kepingan kebenaran yang selama ini tersembunyi.

“Bisa jadi… kepergian Resti bukan karena keinginannya sendiri. Bisa jadi... surat tulisan tangan yang kita temukan di kamarnya saat itu bukan milik Resti.”

Ibu Mutia menarik napas dalam, lalu menatap lurus ke depan, seakan mencoba mengingat kembali setiap detail yang dulu mereka abaikan.

“Bisa jadi… surat itu adalah tulisan tangan seseorang yang mengatasnamakan Resti. Seseorang yang ingin menutupi sesuatu.”

Deg!

Tubuh Lusi menegang.

Kerongkongannya terasa kering seketika. Ia menelan ludah, mencoba menekan gelombang kepanikan yang mulai menjalari tubuhnya.

Karena ia tahu—

Itu benar.

Surat itu… memang bukan tulisan tangan Resti.

Surat itu… memang adalah hasil perbuatannya.

Di bawah meja, tangannya mencengkram gaunnya erat-erat, berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang.

Mata Lusi menerawang jauh, kosong, seolah menatap sesuatu yang hanya bisa dilihat oleh dirinya sendiri. Kenangan yang selama ini berusaha ia kubur dalam-dalam kini kembali menghantui.

Namun sebelum ia bisa berkata apa pun, suara Ibu Mutia kembali terdengar—pelan, tapi penuh kepedihan yang menusuk.

“Apalagi… akhir-akhir ini, Ibu terus memimpikannya…”

Mawar menahan napas.

“Mimpi-mimpi buruk… seolah-olah dia memanggil-manggil nama Ibu, meminta tolong…”

Suara itu bergetar, nyaris pecah di ujungnya. Mata Ibu Mutia berkaca-kaca, jemarinya yang lemah meremas saputangan yang sudah basah oleh air mata.

“Sudah sebulan terakhir ini… Ibu merasa tidak tenang.”

Ia menggeleng pelan, seakan mencoba menyingkirkan rasa takut yang semakin mengakar di benaknya.

“Seperti ada sesuatu yang buruk telah terjadi.”

Keheningan yang menyesakkan menyelimuti ruangan.

Tidak ada yang berani bersuara.

Hanya terdengar napas yang tertahan, detak jantung yang berpacu cepat, dan ketegangan yang makin menebal di udara.

Lalu, dengan suara yang hampir seperti bisikan, Ibu Mutia melanjutkan,

“Seolah-olah… Resti benar-benar sudah tidak ada lagi di dunia ini.”

Deg!

Kata-kata itu menghantam Mawar seperti palu godam.

Jadi… firasat itu…

Firasat seorang ibu…

Air matanya hampir jatuh, tapi ia buru-buru menutup mulutnya, menahan isakan yang nyaris pecah.

“Oma…” Mawar ingin berteriak. Ingin memberitahu kebenaran yang sesungguhnya.

Bahwa firasat itu benar.

Bahwa ibunya memang telah tiada, tepat satu bulan yang lalu.

Bahwa semua ini… adalah perbuatan Lusi.

Namun, ia menahan semuanya.

Tidak sekarang.

Belum saatnya.

Tapi satu hal yang pasti—

Lusi tidak akan bisa bersembunyi selamanya.

Tiba-tiba, suara panggilan dari belakang mengejutkan Mawar.

“Neng Mawar, kamu lagi ngapain di sini? Banyak pekerjaan lain di belakang yang belum dikerjakan!”

Suara itu berasal dari Mbok Ijah.

Mawar tersentak, refleks tubuhnya menegang. Dalam kepanikannya, tangannya tanpa sengaja menyenggol gelas kaca di sampingnya.

Pyaaaar!

Gelas itu jatuh, menghantam lantai dapur, pecah berkeping-keping.

Suara nyaring pecahan kaca membungkam seluruh ruangan. Semua orang di meja makan refleks menoleh ke arah dapur.

Mawar membeku.

Jantungnya berdetak kencang saat ia buru-buru berlutut, tangannya gemetar mengumpulkan serpihan kaca yang berserakan di lantai.

“M-Maaf... Mawar benar-benar nggak sengaja...” suaranya hampir berbisik.

Ibu Mutia menatapnya dengan khawatir, sementara Bumi hanya menghela napas, berusaha tidak memperpanjang masalah.

Namun, di meja makan, Lusi tetap diam.

Matanya tak lepas dari Mawar.

Ada sesuatu yang terasa janggal.

Sangat janggal.

Lusi menyipitkan matanya, instingnya sebagai seorang wanita yang cermat mulai berbicara.

“Ada apa dengannya? Kenapa aku menangkap ada sesuatu yang aneh darinya?”

“Apakah benar dia adalah Mawar kecil yang kukenal dulu?”

1
Aqilah Azzahra
semangat kak
Ila Akbar 🇮🇩: ♥️♥️♥️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!