NovelToon NovelToon
Chaotic Destiny

Chaotic Destiny

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Mengubah Takdir / Epik Petualangan / Perperangan / Light Novel
Popularitas:7.6k
Nilai: 5
Nama Author: Kyukasho

Ratusan tahun lalu, umat manusia hampir punah dalam peperangan dahsyat melawan makhluk asing yang disebut Invader—penghancur dunia yang datang dari langit dengan satu tujuan: merebut Bumi.

Dalam kegelapan itu, lahirlah para High Human, manusia terpilih yang diinkarnasi oleh para dewa, diberikan kekuatan luar biasa untuk melawan ancaman tersebut. Namun kekuatan itu bukan tanpa risiko, dan perang abadi itu terus bergulir di balik bayang-bayang sejarah.

Kini, saat dunia kembali terancam, legenda lama itu mulai terbangun. Para High Human muncul kembali, membawa rahasia dan kekuatan yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan segalanya.

Apakah manusia siap menghadapi ancaman yang akan datang kembali?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 22 Remake: Tetaplah Hidup

Lorong itu makin menyempit, tapi Aria terus berlari tak peduli. Busur di tangannya bergetar seakan ikut merasakan kegelisahan tuannya. Setiap napas yang ia hembuskan mengukir embun di udara dingin tambang.

Dan... Di depan sana—

Matanya membelalak.

Tiga sosok Invader berdiri di dekat dinding akar yang menggembung— bangkai akar raksasa yang jelas bukan milik alam biasa. Salah satu di antaranya adalah Invader tingkat menengah, lengan kirinya robek dan menghitam, masih menganga. Dua lainnya adalah tingkat rendah—bergerak liar seperti anjing rakus yang mengendus bau darah.

“Dia terluka... jadi ini sisa pertempuran Sho!”

Detak jantung Sho perlahan-lahan melemah. Aria bisa merasakan itu, seperti dentuman kecil di dada sendiri—hampir pudar. Ia menaikkan busurnya, menarik napas.

Namun langkah-langkah berat petualang lainnya menyusul dari belakang.

“Tunggu! Apa yang ingin kau lakukan?!” Teriak salah satu petualang elit. “Mereka akan mencabik mu! Mundur... Pancing mereka ke luar... Kita punya formasi jebakan sihir di permukaan atas!”

Penembak jarak jauh di belakang ikut berseru panik. “Benar! Di tempat sempit kita tidak punya ruang gerak—kau akan dijadikan target empuk!”

Namun Aria tak gentar. Mata emasnya menyala seperti pisau cahaya bulan. Tangan kanannya menggenggam busur sekeras mungkin, hingga buku-buku jarinya memutih. Ia bahkan tak menoleh.

“Tidak ada waktu.”

Suaranya tenang, namun basah oleh emosi.

“Aku harus melawan mereka...” Ia menggigit bibirnya, “...Sho masih hidup, tapi jantungnya melemah. Jika aku menunda sedetik saja—dia bisa mati.”

Para petualang saling pandang, ragu.

“itu Invader tingkat menengah... Kau mungkin High Human, tapi ini sangat berisiko.”

Aria mengangkat busur peraknya. Begitu ia menarik tali busur, cahaya emas menyembur membentuk anak panah matahari. Terang... Panas... tapi getarannya limbung—sekilas saja terlihat kurang stabil.

“Aku lebih baik mati berusaha...” ucapnya pelan.

“...daripada membiarkan orang yang ku sayangi mati lagi.”

Tanpa peringatan lebih jauh—Aria melompat maju.

“HEI!”

Teriakan histeris sejumlah petualang tertinggal di belakang, namun tak satu pun yang berhasil menghentikannya. Cahaya dari anak panah pertama meledak saat Aria melepaskannya tepat ke kepala Invader tingkat rendah pertama—

BOSSH!!

Membakar wajahnya hingga meledak menjadi debu hitam. Dua Invader lainnya menggeram—si tingkat menengah mengangkat lengan pincangnya, sementara Invader rendah kedua menyebar, mencoba mengepung.

Aria mundur setengah langkah. Tarikan napasnya kasar. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia bisa merasakan kekuatan mataharinya berkurang drastis di bawah tanah—tetapi matanya masih bersinar ganas.

“Kalau kalian tak punya nyali, tetaplah di belakangku,” desisnya pada para petualang tanpa menoleh.

“Aku tak butuh dukungan.”

“Aku hanya butuh waktu—agar dia tetap hidup.”

Invader tingkat menengah mengaum, bergerak seperti banteng—bersiap menerjang Aria, sementara Invader tingkat rendah kedua menikam dari sisi kanan.

Aria menarik dua panah cahaya sekaligus—sesuatu yang hampir tak pernah ia lakukan dalam kondisi energi terbatas. Batas kekuatannya mulai goyah. Tapi ia tetap membidik.

Sho... Bertahanlah sedikit lagi. Aku datang... Bahkan jika aku harus membakar seluruh kehidupanku untuk ini.

---

Gelap.

Dingin.

Sunyi, seolah dunia berhenti berputar.

Sho terbaring tak berdaya di lantai tambang, tubuhnya diselimuti cahaya api hijau samar yang berkelip-kelip. Seperti lilin terakhir yang hampir kehabisan sumbu. Api penyembuhan itu berusaha menutup luka-lukanya—tapi percuma.

Ini bukan goa alami yang penuh lumut, akar, dan kehidupan tempat kekuatan musim semi bisa mengalir bebas. Ini... Jalur pertambangan. Tanahnya mati. Batu-batunya diinjak ribuan kali tanpa rasa. Tak ada bisikan daun. Tak ada akar untuk mendengar jeritannya.

Tak ada kehidupan... Selain denyut lemah di dadanya.

“Sho...”

Suara Persephone terdengar lembut dalam benaknya. Seperti sosok wanita yang menggenggam tangannya dari balik mimpi. “Jangan tidur... Dengarkan aku... Tetap di sini... Tetaplah bersamaku...”

Kelopak mata Sho berkedut. Nafasnya tinggal serpihan. Setiap hembusan pendek bagai sembilu mengiris paru-parunya.

“Aku... Lelah...” bisik Sho lirih, nyaris tak terdengar bahkan oleh dirinya sendiri.

“Tentu kau lelah... Tapi kau belum kalah,” balas Persephone, suaranya bergetar namun dipaksa tetap hangat. “Kau tetap bertahan... Bahkan saat tubuhmu nyaris hancur... Karena kau memiliki sesuatu... Yang ingin kau lindungi... Bukan?”

Sho terasa ingin tersenyum, namun yang keluar hanya curahan darah di sudut bibirnya. Api hijau kembali menyala—menyentuh luka terbuka di dada, di tangan, di bahu—namun dalam hitungan detik api itu meredup lagi. Seolah tambang ini menelan hidup-hidup energi yang dia ciptakan.

“Maaf... Sepertinya... Tubuhku... sudah melewati batas...”

Suara Persephone terisak. “Tidak! Kau tidak boleh berbicara seperti itu... Jangan ulangi kalimat itu...”

Sho kembali terdiam. Nafasnya semakin berat. Jantungnya berdetak... Pelan... Pelan... Begitu pelan...

Persephone menggigit bibir—hanya satu pikiran yang ada di kepalanya: jangan biarkan Sho pergi.

Ia menempelkan kesadaran rohaninya sedekat mungkin dengan kesadaran Sho, mencoba menjadi satu dengan pikirannya.

“Sho... Dengarkan aku. Aku di sini. Aku tidak akan pergi. Jadi... Jangan tinggalkan aku sendirian.”

Sho melihat langit-langit batu di atasnya... Yang makin buram... Hilang warna... Hilang bentuk...

Aria...

Nama itu bergetar di benaknya seperti dentingan bel kecil. Samar, namun sempat mengirim seberkas hangat ke dadanya.

Persephone menatapnya lembut, menyadari pikiran itu.

“Ya... Dia datang... Sho... Kau bisa merasakannya, kan? Itu sebabnya denyut jantungmu masih ada... Kan?”

Api hijau berkedip sekali di sekitar tubuh Sho—menjawab tanpa kata.

Persephone tersenyum sedih, air mata tak terlihat berjatuhan di dalam kehampaan ilahinya.

“Maka dengarkan aku baik-baik... Dan berjanjilah...”

“Bertahanlah sampai ia tiba.”

“Tetap hidup...”

“...Meski sisa hidupmu tinggal satu detik.”

Dada Sho naik... Turun... Perlahan. Jantungnya melambat hingga titik genting. Tapi matanya—yang nyaris tertutup—masih mengintip secercah cahaya.

Di balik dinding akar itu, ia seakan mendengar suara langkah seseorang.

Seseorang yang berlari... Tanpa ragu... Menantangnya untuk tetap bernapas sedikit lebih lama.

Sho mengerjap.

Tekad yang hampir mati, kembali menyala laksana lilin terakhir sebelum padam.

“...Sedikit lagi. Aku... Harus tetap hidup...”

Api hijau menari kembali—lemah namun keras kepala—menyelimuti dadanya dengan kobaran kecil harapan.

Persephone menahan tangisnya, berbisik untuk kesekian kalinya:

“Ya, anakku... Bakar apimu lagi... Hiduplah... hingga tangan itu... bisa meraih tanganmu.”

---

Tubuh Invader tingkat menengah itu jatuh ke tanah, menghitam dan hancur perlahan menjadi debu pekat. Dua Invader tingkat rendah sudah lebih dulu lenyap tertembus cahaya anak panah Aria. Gadis itu berdiri terpaku beberapa detik, napasnya memburu, tubuhnya gemetar kelelahan.

“Syukurlah...” bisiknya, menggenggam busurnya erat. “Sho... Kau benar-benar sudah membuatnya melemah...”

Tanpa menunggu lagi, ia berlari ke arah dinding akar yang menjulang di ujung lorong. Para petualang dari Guild Vixen mengekor di belakangnya, masih waspada.

“Hati-hati! Itu mungkin masih—”

Namun kata-kata mereka terhenti begitu mereka melihat dinding akar itu... Bergerak. Akar-akar raksasa yang tadinya menggembung seperti benteng tiba-tiba merenggang perlahan, membuka... Menciptakan celah yang membentuk jalur sempit.

Seolah mengenali kedatangan Aria—dan memberi izin.

Aria menelan ludah. Langkahnya dipercepat, melewati celah akar tersebut dengan hati-hati.

Dan di sebelah sana...

“Sho—!”

Sho terbaring diam, tubuhnya basah oleh darah dan keringat, api hijau samar masih berkilat di dadanya. Nafasnya terputus-putus. Wajahnya pucat.

Aria jatuh berlutut, mengguncang tubuhnya. “Sho! Sho, buka matamu! Ini aku!”

Tak ada jawaban. Hanya hembusan napas nyaris tak terdengar.

Aria menggigit bibirnya keras, lalu melingkarkan tangannya ke bawah bahu Sho dan mengangkat tubuh itu ke pelukannya. Meski kondisi tubuhnya sendiri sudah mulai melemah karena jauh dari cahaya matahari, ia memaksa berdiri sambil menggendong sosok itu.

“Mundur! Lindungi jalur keluar!” serunya.

Para petualang segera membuat formasi perlindungan, mengawal Aria kembali menyusuri lorong menuju permukaan. Langkah mereka tergesa-gesa—tak lagi memedulikan teknik bertarung ataupun jebakan Invader. Yang penting hanya satu... Keluar.

Begitu cahaya dari permukaan menerpa wajah mereka—angin menyergap. Aria keluar dari mulut tambang sambil menahan air mata yang sudah bertahan terlalu lama.

Pasukan ksatria kerajaan Vixen yang berjaga segera mengangkat perisai, memastikan area aman. Beberapa penyihir penyembuh sudah bersiap di tenda medis.

“Cepat! Bawa dia kesini!” teriak salah satu komandan kerajaan.

Namun saat Aria hendak melangkah ke arah tenda putih itu—suara tenang Apollo menyusup lembut ke dalam kesadarannya.

“Aria, jangan ke tenda medis...”

Suara Apollo bergema didalam kepalanya.

Alis Aria berkerut.

“Baringkan dia di rerumputan... dekat hutan kecil di sisi kanan tambang. Alam bisa menghidupkan apa yang sihir penyembuh tak mampu sentuh...”

Aria menoleh—melihat hamparan kecil rerumputan hijau di tepi tambang, tepat sebelum batas hutan.

Ia menggertakkan giginya, mengubah arah langkah.

“Mau pergi kemana kau!? Tenda medis di sini!” seru salah satu tabib kebingungan.

Namun Aria tak menjawab. Ia terus berlari ke arah rerumputan itu. Napasnya cepat. Pegangannya pada tubuh Sho begitu erat seakan kalau ia longgar sedikit saja—Sho akan menghilang dari pelukannya.

Saat mencapai pinggir hutan, Aria berlutut dan perlahan membaringkan Sho di atas hamparan rumput basah embun…

Daun-daun di atas kepala mereka bergoyang pelan. Cahaya matahari senja menembus celah-celah dedaunan, memantulkan warna hijau... Seakan menyapa keberadaan Sho.

Aria menunduk, menempelkan telinganya ke dada Sho, mendengar... Mencari... Berharap.

“Kumohon berdetaklah...”

Api hijau perlahan menjalar dari dada Sho, menyebar ke seluruh tubuhnya seperti kobaran hidup—hangat, namun terasa asing. Aria reflek mundur dan hanya bisa menatap dengan napas tercekat, lututnya masih terbenam di rerumputan.

Cahaya itu bukan lagi cahaya penyembuh lembut seperti biasanya.

Ia... Membara.

Rerumputan di bawah tubuh Sho mula-mula menguning... Lalu menghitam... Membusuk. Uap tipis mengepul dari tanah, menjalar cepat ke akar-akar rumput lain di sekelilingnya. Dedaunan pohon terdekat rontok satu demi satu, seolah musim gugur dipaksa datang dalam hitungan detik.

Aria menahan napas.

“Sho...?”

Api hijau membungkus tubuh Sho semakin rapat—berkilau bagai kepompong keberanian dan sekaligus... Ancaman yang tak dikenal. Persephone tak berkata sepatah kata pun. Alam di sekitarnya seperti ketakutan, mundur dari nyawa yang sedang dipaksa menyala kembali.

Daun-daun kehilangan warna. Tanah mulai retak.

Aria menggenggam tangan Sho lebih erat... Tak tahu apakah harus memanggil... Atau melepaskan.

Lalu—

Semua menjadi hening.

Dan di dalam keheningan yang menelan semuanya, api itu terus tumbuh... Seolah menunggu sesuatu—atau seseorang—untuk lahir dari dalamnya

1
That One Reader
baiklahh udah mulai terbayang wujud dan sifat karakternya
That One Reader
hmmm... "matanya masih merah, bukan karena kekuatannya", "Kekuatan" yang dimaksud gimana yh? tapi awal ketemuan sama Aria lumayan berkesan sii
That One Reader
welp.. prolognya okee
Sandra
simingit kikik:v
Cyno
Semangat author
Cyno
Ceritanya seru
Cyno
kalau sho bisa mengubah bident sesuka hati apa nanti aria bisa mengubah bow dia juga? menarik
J. Elymorz
Huhuu shoo/Cry/
Sandra
anjay pahlawan datang tapi bapaknya Aria... :(
Sandra
aku ga tau mau komen apa tapi mau lanjut!!
Sandra
kereennn!! semangat kak!!!
J. Elymorz
sho.. hikss /Cry//Cry/
J. Elymorz
omaigatt di remake, apakah alur ceritanya lebih ke arah romance? hmmzmz/Applaud//Applaud/
J. Elymorz
lucuuuu
J. Elymorz
lucuuuu, sifat mereka berbanding terbalik
J. Elymorz
yahh hiatus/Cry/

semogaa hp nya author bisa sehat kembali, dan semoga di lancarkan kuliahnya, sehat sehat yaa author kesayangan kuu/Kiss//Kiss/
J. Elymorz
gila... hollow bener' gila
Soul Requiem
Ini Saya, Kyukasho, untuk sementara Chaotic Destiny Akan Hiatus dikaenakan HP saya rusak/Frown/
J. Elymorz: /Cry//Cry//Cry/
total 1 replies
J. Elymorz
ouh oke.. kelakuan bodoh dari krepes ternyata berguna, bagus krepes
J. Elymorz
si krepes dateng tiba-tiba banget plss, krepes jangan jadi beban yh/Grievance//Grievance/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!