Berkisah mengenai Misha seorang istri yang baru saja melahirkan anaknya namun sayangnya anak yang baru lahir secara prematur itu tak selamat. Radit, suami Misha terlibat dalam lingkaran peredaran obat terlarang dan diburu oleh polisi. Demi pengorbanan atas nama seorang istri ia rela dipenjara menggantikan Radit. 7 tahun berlalu dan Misha bebas setelah mendapat remisi ia mencari Radit namun rupanya Radit sudah pindah ke Jakarta. Misha menyusul namun di sana ia malah menemukan sesuatu yang menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hati yang Luka
Misha sedang sibuk mengelap meja ketika ia mendengar teriakan di depan warung. Ia menoleh, dan terkejut melihat segerombolan ibu-ibu yang dipimpin oleh Bu RT dan Bu Ratmi. Wajah mereka penuh amarah. Mereka langsung masuk ke warung, mengusir semua pembeli laki-laki yang sedang makan.
"Kalian semua keluar! Ini bukan tempat makan! Ini sarang iblis!" teriak Bu RT, suaranya melengking.
Para pembeli kebingungan, namun mereka memilih untuk pergi daripada mencari masalah. Misha terpaku di tempatnya, tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
Bu RT melangkah mendekati Misha, tatapan matanya penuh kebencian. Bu Ratmi dan ibu-ibu yang lain mengikuti dari belakang, menyuarakan cacian. "Dasar wanita murahan! Beraninya kamu menggoda suami orang!"
"Bu, ada apa ini? Saya tidak mengerti," tanya Misha, suaranya bergetar.
"Jangan pura-pura tidak tahu!" Bu RT membentak. "Kamu itu wanita rendahan! Datang ke sini cuma untuk merusak rumah tangga orang lain!"
Misha menggelengkan kepala, air mata mulai mengalir. "Tidak, Bu. Saya tidak pernah menggoda siapa pun."
"Halah, bohong!" teriak Bu Ratmi. "Kalau bukan karena kamu, warung ini tidak akan seramai ini! Kamu itu pakai cara kotor untuk menarik pelanggan!"
Tiba-tiba, Bu RT melayangkan tangannya, menampar pipi Misha dengan keras. Plak! Suara tamparan itu menggema di seluruh warung. Misha jatuh terduduk, pipinya terasa panas. Air mata mengalir deras.
"Ini akibatnya karena kamu berani-beraninya menggoda suami saya!" kata Bu RT, suaranya penuh amarah.
Misha menatap Bu RT dengan tatapan tak percaya. "Suami Ibu? Saya tidak pernah menggoda suami Ibu."
"Pak RT! Foto ini bukti kamu menggoda suami orang!" bentak Bu Ratmi, sambil menunjukkan foto Pak RT yang makan bersama Misha.
Misha menyadari semuanya. Ia tahu, ini adalah ulah Bu Ratmi yang iri dan cemburu. Ia ingin membela diri, namun ia sudah terlalu lelah. Ia hanya bisa menangis, menundukkan kepalanya.
Suasana menjadi semakin gaduh. Ibu-ibu lain ikut mengompori, menuduh Misha dengan kata-kata yang tidak pantas. "Usir dia dari sini!" "Dia itu sumber masalah!" "Jangan biarkan dia merusak kampung kita!"
****
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar. Pak RT, Pak RW, dan Pak Ustad datang menengahi. Di belakang mereka, ada Bu Susi.
"Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?" tanya Pak RT, terkejut melihat istrinya dan ibu-ibu lain sedang mengamuk.
"Pak! Wanita ini! Wanita ini yang menggoda Bapak!" teriak Bu RT, sambil menunjuk Misha. "Dia yang bikin warung ini jadi tempat mesum!"
Pak RT menatap Misha, lalu menatap istrinya. "Apa-apaan ini, Bu? Misha ini tidak salah apa-apa."
"Tidak salah apa? Ini fotonya!" Bu RT menunjukkan foto itu pada suaminya.
Pak RT menghela napas panjang. "Bu, ini salah paham. Saya hanya makan di sini. Misha hanya melayani saya. Kami tidak ada hubungan apa-apa."
"Tidak! Bapak bohong!" Bu RT tidak percaya.
Pak Ustad melangkah maju, menenangkan situasi. "Sabar, Bu. Jangan asal menuduh. Misha ini wanita baik-baik. Dia bekerja keras di warung ini. Kita tidak boleh menghakimi orang lain hanya karena gosip."
Pak RW menatap Bu Ratmi dengan tajam. "Bu Ratmi, saya tahu ini ulah kamu. Kamu sengaja memfitnah Misha, kan?"
Bu Ratmi terdiam, tidak bisa membantah.
Bu Susi memeluk Misha, menenangkannya. "Sabar ya, Misha. Jangan dengarkan mereka. Mereka tidak tahu apa-apa."
Misha menangis dalam pelukan Bu Susi. Ia merasa sangat lelah. Ia tidak tahu, kapan penderitaannya akan berakhir. Ia hanya ingin hidup tenang, namun sepertinya takdir tidak pernah membiarkannya.
****
Tak lama berselang, Pak Raharjo dan Bu Lastri tiba di warung. Wajah mereka pucat melihat kerumunan orang dan kondisi Misha yang terduduk di tanah dengan pipi memerah. Pak Raharjo segera mendekati Misha, tangannya gemetar.
"Misha, apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara parau.
Namun, sebelum Misha sempat menjawab, Bu RT menuding Pak Raharjo. "Pak Raharjo! Lihat sendiri kelakuan wanita ini!" bentaknya. "Suami saya makan di sini karena wanita ini!"
Bu Lastri terkejut. "Wanita apa? Misha itu karyawan kita, Bu RT!"
"Karyawan?!" Bu RT tertawa sinis. "Saya tahu, Pak! Bapak sengaja mempekerjakan wanita ini sebagai wanita penghibur, kan?! Warung Bapak ini hanya kedok untuk prostitusi terselubung!"
Mata Pak Raharjo membulat. Ia menatap Bu RT dengan tatapan tak percaya. "Astaghfirullah, Bu RT! Fitnah macam apa ini?! Saya tidak pernah melakukan hal keji itu!"
Bu Ratmi yang sedari tadi diam, kembali ikut campur. "Betul, Bu RT! Warung ini sekarang jadi tempat mesum! Pak Raharjo dan Misha itu sudah merusak nama baik kampung kita!"
"Diam, Bu Ratmi!" bentak Pak RW. "Kamu sudah keterlaluan! Jangan ikut campur dan membuat fitnah lagi!"
Bu Ratmi terkejut. Ia tidak menyangka Pak RW akan membentaknya. Namun, ia tidak menyerah. "Tapi, Pak RW! Saya hanya ingin meluruskan! Misha itu wanita tidak benar! Dia datang ke sini untuk menggoda suami-suami kita!"
Pak Ustadz menggelengkan kepala. Ia dan Bu Susi hanya bisa menghela napas. Mereka sudah lelah dengan kelakuan Bu Ratmi. "Bu Ratmi, sudahlah. Hentikan fitnahmu," kata Pak Ustadz dengan suara tenang. "Semua orang di sini tahu, Pak Raharjo dan Misha adalah orang-orang baik. Jangan sampai fitnahmu membuat kamu menyesal di kemudian hari."
Namun, Bu Ratmi tidak peduli. Ia tetap gencar menuding Misha dan Pak Raharjo. "Saya tidak akan berhenti sampai wanita itu diusir dari kampung ini! Dia itu sumber masalah!"
Misha bangkit, dengan bantuan Pak Raharjo dan Bu Susi. Ia menatap Bu Ratmi, hatinya terasa sangat sakit. Ia sudah kehilangan segalanya, dan kini ia harus menghadapi fitnah yang menyakitkan ini. "Kenapa, Bu Ratmi? Kenapa Ibu begitu membenci saya? Saya tidak pernah melakukan hal buruk kepada Ibu."
Bu Ratmi terdiam. Ia menatap Misha, matanya menampakkan sedikit keraguan. Namun, rasa cemburu dan iri sudah membutakan hatinya. Ia tidak bisa lagi mundur. "Karena kamu itu sumber masalah! Sejak kamu datang, kampung ini tidak tenang!"
****
Mediasi di Balai RW akhirnya selesai, namun ketegangan masih terasa. Pak RW sudah mengambil keputusan, warung Pak Raharjo tidak akan ditutup. Putusan itu sontak membuat Bu RT semakin mengamuk. Wajahnya merah padam, matanya melotot menatap Pak RT dengan tatapan penuh kebencian.
"Kenapa, Pak?! Kenapa Bapak membelanya?! Apa Bapak sudah tergoda sama wanita itu?!" teriak Bu RT, suaranya melengking.
Pak RT menghela napas panjang. Ia sudah lelah dengan drama ini. "Bu, sudah saya bilang! Saya tidak ada hubungan apa-apa dengan Misha! Misha hanya karyawan Pak Raharjo! Jangan termakan fitnah Bu Ratmi!"
"Bohong!" Bu RT tidak percaya. Ia menatap Bu Ratmi, meminta dukungan. "Kan, Bu Ratmi? Kita harus tutup warung itu!"
Bu Ratmi yang sedari tadi diam, kini kembali mengompori. "Betul, Bu RT! Warung itu harus ditutup! Dia itu sumber masalah!"
Namun, sebelum Bu Ratmi sempat melanjutkan, Pak RT membentaknya. "Diam, Bu Ratmi! Keluar dari sini!"
"Tapi, Pak!" Bu Ratmi tidak terima.
Pak RT tidak memberinya kesempatan lagi. Ia memberi isyarat kepada hansip yang berjaga. "Tolong bawa mereka keluar!"
Dua orang hansip maju, lalu dengan halus menggiring Bu RT dan Bu Ratmi keluar dari Balai RW. Bu RT terus berteriak, mencaci maki suaminya, Pak Raharjo, dan Misha. Bu Ratmi juga tidak mau kalah, ia terus menyuarakan caciannya, menyebut Misha dengan kata-kata yang tidak pantas.
Misha menyaksikan semua itu dengan hati hancur. Ia tidak mengerti mengapa ia harus melalui semua penderitaan ini. Ia tidak mengerti mengapa ada orang yang begitu jahat kepadanya. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. Ia hanya bisa menangis, merasakan sakit yang luar biasa di dadanya.