ADRIAN PRATAMA. Itu nama guru di sekolah gue yang paling gue benci. Karena apa? Karena dia udah membuka aib yang hampir tiga tahun ini gue tutup mati-matian.
“Dewi Mantili. Mulai sekarang kamu saya panggil Tili.”
Nyebelin banget kan tuh orang😠 Aaarrrrggghhh.. Rasanya pengen gue sumpel mulutnya pake popok bekas. Dan yang lebih nyebelin lagi, ternyata sekarang dia dosen di kampus gue😭
ADITYA BRAMASTA. Cowok ganteng, tetangga depan rumah gue yang bikin gue klepek-klepek lewat wajah ganteng plus suara merdunya.
“Wi.. kita nikah yuk.”
Akhirnya kebahagiaan mampir juga di kehidupan gue. Tapi lagi-lagi gue mendapati kenyataan yang membagongkan. Ternyata guru plus dosen nyebelin itu calon kakak ipar gue😱
Gue mesti gimana gaaeeesss???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bujukan Adrian
Motor yang dikendarai Adrian berhenti di depan kediaman Dewi. Nenden yang tengah melayani pembeli tidak menyadari kalau yang datang adalah wali kelas anaknya. Wanita itu baru mengenali ketika Adrian melepas helm kemudian mendekatinya.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam. Eh pak Adrian, mari silahkan duduk,” Nenden mempersilahkan pria itu duduk di teras. Dia pun ikut menyusul di sana setelah pelanggannya pergi.
“Mau minum apa pak?”
“Tidak usah repot-repot bu.”
“Ngga repot kok. Teh manis atau kopi?” tawar Dewi.
“Teh manis saja, terima kasih.”
Nenden bergegas masuk ke dalam rumah lalu membuatkan minuman untuk tamunya itu. Dia sengaja belum memberitahu kedatangan Adrian pada Dewi karena ada yang ingin dibicarakan pada wali kelas anaknya itu. Tak butuh waktu lama, Nenden kembali ke teras dengan secangkir teh manis dan beberapa iris bolu panggang buatannya. Setelah meletakkan hidangan di meja, dia duduk di kursi sebelah.
“Silahkan diminum, pak.”
“Terima kasih,” Adrian mengambil cangkir teh kemudian menyeruputnya pelan.
“Bagaimana kabar ibu dan Dewi?” tanya Adrian seraya meletakkan cangkir teh di meja.
“Kabar saya, Alhamdulillah baik. Walau berat, saya mencoba ikhlas atas kepergian ayah Dewi. Tapi Dewi…”
Nenden mengesah panjang, mengingat bagaimana keadaan anaknya setelah ditinggal pergi oleh suaminya. Dewi terlihat kehilangan semangat hidup, sehari-hari hanya mengurung diri di kamar dan menangis saja.
“Teman-teman Dewi sudah sering sekali ke sini, termasuk Roxas. Anak itu tiap hari datang untuk menghibur dan membujuknya kembali ke sekolah. Tapi Dewi masih belum mau. Saya berharap bapak bisa membujuknya. Tolong bantu saya kembalikan semangat hidup Dewi,” lanjut Nenden.
Netra wanita itu menatap penuh harap pada Adrian. Di tengah kerapuhannya, dia mencoba tegar demi anak semata wayangnya. Namun tetap dirinya membutuhkan tangan lain untuk membantunya menghidupkan semangat sang anak yang memudar akhir-akhir ini. Berharap kehadiran Adrian mampu mengurangi kesedihan sang anak yang masih menggunung.
“Jujur saja, saat ini saya menanggung amanat besar dari bapaknya Dewi. Bapaknya menginginkan Dewi melanjutkan studinya sampai kuliah, mendapatkan lelaki yang baik sebagai pasangannya. Tapi melihat kondisi Dewi saat ini, saya… takut kalau tidak bisa menjalankan amanat suami saya..”
Nenden menepuk pelan dadanya, berusaha melepaskan rasa sesak yang melanda akhir-akhir ini. Ketegarannya seolah runtuh begitu berhadapan dengan Adrian. Beberapa kali wanita itu mengusap airmata yang membasahi pipinya.
“In Syaa Allah, bu. Saya akan berusaha semampunya untuk membantu Dewi. Saya percaya Dewi anak yang kuat. Hanya saja dia masih membutuhkan waktu untuk menerima ini semua. Kita lakukan secara perlahan saja, bu. Saya akan berusaha semampu saya untuk membantu ibu menjalankan amanat bapak.”
“Terima kasih, pak. Terima kasih atas perhatiannya.”
“Sudah kewajiban saya, bu. Dewi adalah anak didik saya, sudah seharusnya saya membantunya melewati masa sulit ini.”
“Terima kasih sekali lagi.”
“Kalau ibu tidak keberatan, saya ingin mengajak Dewi keluar. Sepertinya berbicara di luar rumah atau di alam terbuka akan lebih baik untuknya.”
“Boleh, pak. Sebentar saya panggilkan dulu anaknya.”
Nenden segera beranjak dari duduknya. Dia segera menuju kamar sang anak yang pintunya tertutup. Setelah mengetuk pintu, wanita itu masuk ke dalam. Terlihat Dewi tengah duduk di atas kasur sambil memeluk foto sang ayah.
“Wi..”
“Itu di depan ada pak Adrian. Kamu temui dulu,” lanjut Nenden karena sang anak yang menyahuti panggilannya.
“Suruh pulang aja, bu.”
“Ngga boleh begitu, sayang. Pak Adrian menyempatkan diri datang ke sini karena peduli padamu. Kamu sudah beberapa hari tidak masuk sekolah, wajar kalau dia mencarimu,” Nenden duduk di sisi Dewi seraya mengusap puncak kepala anaknya.
“Sampai kapan kamu bersedih seperti ini? Apa kamu tega melihat ibu bertambah sedih karena melihatmu seperti ini? Ibu juga sedih, nak kehilangan bapakmu. Dan ibu tambah sedih kalau melihatmu begini.”
Buliran bening membasahi pipi Nenden saat mengungkapkan kesedihannya pada sang anak. Dewi menolehkan kepalanya kemudian memeluk Nenden. Melihat keadaan ibunya, seketika dia dilanda perasaan bersalah.
“Maafin Dewi, bu.”
“Cepat temui pak Adrian.”
Nenden mengurai pelukan seraya menghapus airmatanya. Dewi menganggukkan kepalanya kemudian berdiri. Diusapnya lebih dulu airmata yang tadi sempat mengalir. Kemudian gadis itu melangkahkan kakinya menuju teras. Sejenak dia melihat pada Adrian yang tengah sibuk berselancar dengan ponselnya, kemudian mendudukkan diri di kursi sebelahnya. Menyadari kehadiran Dewi, Adrian mematikan ponselnya.
“Bagaimana keadaanmu?”
“Baik, pak.”
“Kalau sudah baik, kenapa tidak ke sekolah?”
Tak ada jawaban dari Dewi. Gadis itu hanya menundukkan kepalanya saja seraya memainkan jari tangannya.
“Kapan kamu kembali ke sekolah?”
“Bapak kangen sama saya?”
“Teman-temanmu merindukanmu. Setiap hari mereka menunggu kehadiranmu. Dan ya, saya juga merindukanmu, merindukan aksi konyolmu dan rindu untuk menghukummu. Sekedar mengingatkan, kamu masih punya hutang hukuman.”
“Ish.. soal hukuman aja inget.”
Dewi berdecak kesal. Baru saja dia terharu melihat kedatangan sang wali kelas yang menanyakan ketidakhadiran dirinya. Namun ucapan selanjutnya malah membuat sisi dongkolnya kembali terbit.
“Ayo kita keluar.”
“Kemana pak?” Dewi mengangkat kepalanya. Nenden yang baru keluar langsung menuju tempatnya berjualan, tak ingin mengganggu perbincangan anaknya dengan sang guru.
“Kemana saja. Refreshing biar otakmu segar dan ngga komar (kolot di kamar – tua di kamar).”
“Ish..”
Dewi kembali mendesis kesal. Belum ada lima menit dia duduk bersama pria itu, namun sikap menyebalkannya sudah mulai terasa. Nenden yang mencuri dengar perbincangan hanya mengulum senyum saja.
“Lebih baik kita pergi sekarang, mumpung masih pagi,” Adrian melihat jam di pergelangan tangannya yang menunjukkan pukul setengah delapan pagi.
“Tapi kamu mandi dulu. Saya ngga mau ya bonceng orang yang bau asem, belum mandi dan masih ileran.”
Sontak Dewi memegang sudut bibirnya, takut kalau apa yang dikatakan wali kelas durjananya itu betul adanya. Nenden hampir saja tertawa mendengarnya, namun sebisa mungkin ditahannya.
“Bapak bisa ngga sih sekali aja ngomongnya ngga nyinyir?” kesal Dewi.
“Duh.. mulutmu bau. Sana mandi, jangan lupa gosok gigi.”
Adrian menutup hidung dengan tangannya. Karuan membuat Dewi semakin kesal. Sambil menghentakkan kakinya, gadis itu masuk ke dalam rumah. Sepeninggal Dewi, Adrian mengulum senyumnya dan itu tertangkap oleh Nenden. Sebagai yang sudah berpengalaman, wanita itu tahu kalau sang wali kelas menaruh hati pada anak didiknya.
“Bu, beli nasi uduknya dua bungkus, nasi kuningnya sebungkus.”
Perhatian Nenden langsung teralihkan begitu mendengar suara tetangganya yang hendak membeli dagangannya. Dengan cepat wanita itu menyiapkan pesanan sang langganan tetap.
“Bu.. itu siapa?” tanya bu Lia, tetangga sekaligus pelanggan tetap nasi uduk Nenden.
“Itu wali kelasnya Dewi.”
“Euleuh meni kasep kitu. Abi ge hoyong jadi muridna (Aduh cakep bener. Saya juga mau jadi muridnya),” Lia terkikik geli mendengar ucapannya sendiri.
“Apa lagi bu?” tanya Nenden seraya menyerahkan bungkusan berisi pesanan Lia.
“Udah, bu. Kalau nanti siang jualan lotek ngga?”
“Ngga, bu. Saya harus nyiapin buat tahlinan nanti malam. Kan tujuh harinya kang Herman.”
“Oh iya. Nanti saya nyumbang makanan ya, bu.”
“Alhamdulillah, makasih bu Lia.”
“Jadi berapa?”
“Biasa bu, lima belas ribu.”
Lia mengeluarkan uang dua puluh ribu rupiah dari saku dasternya. Setelah menyerahkan uang pada Nenden, wanita itu mengambil dua bungkus kerupuk lagi.
“Kembalinya ambil aja, bu. Hitung-hitung bayar kerupuk.”
“Ya Allah, hatur nuhun, bu. Sing lancar rejekina (semoga lancar rejekinya).”
“Aamiin.. ayo, bu.”
Sebelum pergi, Lia menyempatkan diri melihat pada Adrian. Lumayan juga pagi-pagi sudah disuguhi pemandangan indah. Hitung-hitung vitamin mata, karena setiap harinya dia selalu disuguhkan dengan penampilan suaminya yang wajahnya pas-pasan dan lebih senang bersarung dan mengurus burungnya setiap pagi dan sore.
Setelah dua puluh menit berlalu, Dewi akhirnya siap juga. Gadis itu keluar dengan mengenakan celana jeans dan kaos lengan panjang longgar berwarna peach. Rambutnya tertutup hijab berwarna senada dengan celana jeansnya dan sebuah tas selempang tersampir di bahunya. Hidung Adrian langsung menghidu aroma parfum lembut yang menguar dari tubuh Dewi.
“Nah kalau seperti ini, saya ngga akan malu bonceng kamu.”
“Bomat,” Dewi mendengus kesal. Melihat sang anak sudah siap untuk pergi, Nenden segera menghampiri.
“Aduh anak ibu udah cantik gini. Titip ya, pak. Makasih udah mau ngajak jalan-jalan, jadinya ngga komar.”
“Ibu…” nada Dewi terdengar sedikit merajuk, namun hanya dibalas kekehan saja dari Nenden.
“Benar bu. Kalau kelamaan di kamar takutnya bulukan,” tambah Adrian yang membuat Dewi membulatkan matanya. Nenden sampai tak bisa menahan tawanya, rupanya Adrian tak terlalu serius seperti penampilannya.
“Assalamu’alaikum.”
“Waaliakumsalam.”
Nenden menolehkan wajahnya saat mendengar suara salam seraya menjawabnya. Nampak sepasang suami istri dan seorang gadis yang umurnya tak terlalu jauh dari Dewi berdiri di depan rumahnya. Dia adalah gadis yang diselamatkan oleh Herman tempo hari.
“Maaf, apa benar ini kediaman pak Herman Suherman?” tanya pria bertubuh agak gemuk itu.
“Iya, benar. Maaf, bapak siapa?”
“Perkenalkan, saya Rusdi. Ini istri saya, Wina dan anak saya, Riska. Apa boleh kami berbicara sebentar bu? Ini soal almarhum pak Herman.”
“Oh iya. Silahkan masuk, pak.”
Mendengar nama almarhum suaminya disebut, membuat Nenden bertanya-tanya, perihal apa yang ingin dibicarakan. Wanita itu mengajak tamunya untuk masuk ke dalam rumah. Dia juga mempersilahkan Adrian untuk ikut masuk. Dewi yang penasaran juga ingin mendengar apa yang ingin disampaikan tamunya itu.
Semuanya duduk di lantai beralaskan karpet plastik. Nenden terus memperhatikan Riska yang sejak datang hanya menundukkan pandangan, seakan tak berani menatapnya atau Dewi.
“Apa bapak kenal dengan suami saya?” tanya Nenden membuka percakapan.
“Begini bu, kedatangan kami ke sini untuk mengucapkan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya bapak Herman. Selain itu, kami juga ingin mengantarkan anak kami yang ingin mengatakan sesuatu pada ibu juga anak ibu.”
“Soal apa?”
“Riska.. ayo, nak.”
Mendengar sang ayah memanggil namanya, Riska mengangkat kepalanya. Matanya langsung beradu pandang dengan Nenden juga Dewi.
“I.. ibu.. ma.. maafkan.. sa.. saya..”
“Maaf kenapa?” Nenden semakin bingung melihat sikap Riska.
“Ka.. rena sa.. saya.. ba.. bapak ce.. laka..”
Dengan suara terbata, Riska menceritakan semua yang terjadi malam itu. Airmata gadis itu mengalir saat mengingat bagaimana perjuangan Herman menyelamatkan dirinya dan berakhir dengan tusukan di perut. Wina langsung memeluk anaknya yang menangis setelah menceritakan peristiwa kelam tersebut.
“Sebagai orang tua Riska, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada pak Herman sekeluarga. Karena beliau, anak saya terhindar dari malapetaka. Maaf kalau kami baru bisa datang sekarang, karena anak saya sempat shock dan stress. Dia sakit karena merasa bersalah atas meninggalnya pak Herman.”
Rusdi menuturkan kondisi putrinya panjang lebar. Nenden hanya bisa menatap haru pada gadis yang masih menangis dalam pelukan ibunya. Adrian melirik sekilas pada Dewi yang sedari tadi tak bereaksi apapun. Hanya kedua tangannya saja yang terlihat mengepal kencang.
“Ya Allah, neng. Jangan merasa bersalah seperti itu. Ini sudah suratan takdir Gusti Allah. Umur bapak memang hanya sampai malam itu. Kalau pun peristiwa kemarin tidak terjadi, Allah akan tetap memerintahkan malaikat maut-Nya untuk menjemput bapak. Tapi ibu bersyukur, di sisa umurnya, bapak masih bisa melakukan kebaikan. Semoga saja pengorbanan bapak bisa menjadi pahala dan penggugur dosanya. Neng Riska juga harus hidup lebih baik lagi mulai sekarang. Jangan bersedih, jangan sampai pengorbanan suami saya sia-sia.”
“Terima kasih, bu. Terima kasih…”
Airmata Riska kembali bercucuran dengan derasnya. Ketakutannya berhadapan dengan Nenden mulai menghilang begitu mendengar kata-kata bijak wanita tersebut. Kelegaan juga nampak di wajah Rusdi dan Wina. Pelan-pelan Rusdi mengeluarkan sebuah amplop coklat yang lumayan tebal lalu menaruhnya di atas karpet.
“Ibu.. maaf sebelumnya kalau apa yang saya lakukan menyinggung perasaan ibu. Tidak ada maksud apapun saya memberikan ini. Nyawa pak Herman tidak akan bisa tergantikan oleh apapun, walau pun dengan semua harta yang saya miliki. Tapi secara pribadi, saya tahu kalau pak Herman adalah seorang suami, seorang ayah sekaligus kepala keluarga yang bertanggung jawab pada keluarga ini. Maka dari itu, saya berharap ibu mau menerima sedikit pemberian kami untuk meringankan beban ibu,” Rusdi menyorongkan amplop ke dekat Nenden.
“Apa dengan itu masalah bisa selesai? Lalu bagaimana dengan bapakku?!! Dari sekian banyak angkot kenapa kamu harus naik angkot bapakku?!! Kamu bisa menolaknya kan?? Kenapa kamu harus naik?!!!”
Semua terkejut dengan respon Dewi. Gadis itu yang awalnya hanya diam menyimak pembicaraan, tiba-tiba meledak emosinya. Nenden berusaha menenangkan putrinya, namun emosi Dewi sudah tak terbendung.
“Gara-gara kamu!! Aku kehilangan bapakku!!” Dewi menunjuk pada Riska dengan mata menatap tajam.
“Dewi.. jangan begitu, nak.”
“Dewi, ayo ikut saya.”
Adrian segera menarik lengan Dewi dan membawanya keluar. Sebisa mungkin Dewi melepaskan diri, namun tenaga Adrian jauh lebih kuat. Pria itu berhasil membawa Dewi ke teras.
“Lepas!! Bapak ngga berhak ikut campur!!"
“Saya tidak ikut campur. Saya hanya ingin mengingatkanmu kalau apa yang kamu lakukan itu tidak benar. Ayo kita pergi, kamu perlu menenangkan diri.”
“Ngga mau!! Bapak aja yang pergi!!”
“DEWI!!”
Dewi langsung terdiam ketika mendengar suara kencang Adrian, ditambah dengan tatapan tajam pria itu. Seketika mulutnya terbungkam.
“Ayo kita pergi.”
Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Dewi manut begitu saja saat Adrian menariknya pergi. Sesampainya di dekat motor, baru pria itu melepaskan pegangannya. Dibukanya bagasi motor lalu mengeluarkan helm berwarna hijau botol. Tak ada penolakan dari Dewi ketika pria itu memakaikan helm ke kepalanya.
“Ayo naik,” ujar Adrian setelah dia menaiki tunggangannya, namun Dewi masih bergeming.
“Apa perlu saya pangku kamu supaya naik?”
Mendengar ancaman Adrian, Dewi akhirnya naik di belakangnya. Setelah memastikan Dewi sudah duduk dengan benar, pria itu segera melajukan kendaraannya.
Sementara itu, kondisi di dalam rumah menjadi sedikit canggung akibat ulah Dewi. Suasana hening kembali tercipta, hanya suara isak Riska saja yang masih terdengar. Nenden menarik nafas dalam-dalam sebelum memecah kebisuan di antara mereka.
“Tolong maafkan anak saya. Dewi memang masih belum bisa sepenuhnya menerima kepergian bapaknya. Tapi In Syaa Allah kami, khususnya saya sudah ikhlas melepaskan suami saya. Dan Riska, jangan diambil hati omongan Dewi tadi. Kamu harus hidup dengan baik, supaya suami saya bisa tersenyum melihat orang yang diselamatkannya hidup baik dan bahagia.”
“Terima kasih bu,” jawab Riska di tengah-tengah isaknya.
“Ibu Nenden, terima kasih atas semua kebesaran hati ibu. Kalau ibu butuh sesuatu, jangan segan untuk menghubungi saya, istri saya atau Riska.”
Rusdi menaruh secarik kertas berisikan nomor ponsel dirinya, istri dan anaknya. Nenden mengambil kertas tersebut.
“Terima kasih, pak.”
“Kalau begitu, saya dan keluarga pamit. Sekali lagi kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Dan mohon terimalah pemberian kami. Mudah-mudah dapat bermanfaat untuk ibu dan Dewi.”
Rusdi berdiri dari duduknya disusul oleh anak dan istrinya. Setelah bersalaman, ketiganya meninggalkan kediaman Herman tersebut. Nenden kembali terduduk di tempatnya semula. Tangannya bergerak membuka amplop coklat yang ditinggalkan Rusdi. Satu gepok lembaran berwarna merah dikeluarkannya. Diperkirakan uang tersebut berjumlah seratus juta rupiah. Nenden hanya menghela nafas melihat uang sebanyak itu seumur hidupnya.
🌸🌸🌸
Kira² pak Adrian ngajak Dewi kemana ya🤔
kanebo nya masih gak thor.. aku mau 1 aja...😞
kanebo nya masih gak thor.. aku mau 1 aja...😞
dari bab awal dak comed...
krn mengulang baca dan gak ada bosen nya yang ada malah bikin kangen😍😍
lagu "bring me to life" teringat karya mu thor🙈