Tidak cantik, tidak menarik, tidak berdandan apik, tidak dalam keadaan ekonomi yang cukup baik. Namun, hidupnya penuh polemik. Lantas, apa yang membuat kisah hidupnya cukup menarik untuk diulik?
Tini Suketi, seorang wanita yang dijuluki sebagai legenda Desa Cokro yang melarikan diri. Kabur setelah mengacaukan pesta pernikahan kekasih dan sahabatnya.
Didorong oleh rasa sakit hati, Tini berjanji tak akan menginjak kampungnya lagi sampai ia dipersunting oleh pria yang bisa memberinya sebuah bukit. Nyaris mirip legenda, tapi sayangnya bukan.
Bisakah Tini memenuhi janjinya setelah terlena dengan ritme kehidupan kota dan menemukan keluarga barunya?
Ikuti perjalanan Tini Suketi meraih mimpi.
***
Sebuah spin off dari Novel PENGAKUAN DIJAH. Yang kembali mengangkat tentang perjuangan seorang perempuan dalam menjalani hidup dengan cara pandang dan tingkah yang tidak biasa.
***
Originally Story by juskelapa
Instagram : @juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Percakapan Tini dan Boy
“Memangnya siapa nama perempuan itu, Mak?” tanya Tini sesudah dua orang wanita melewati gerbang kos-kosan menuju luar.
“Aku pun tak tau entah siapa namanya,” sahut Mak Robin.
“Aku cuma memastikan aja kalau orangnya sama. Ternyata memang bener kayak yang diomongi Mak Robin.” Dijah berbicara sambil sesekali melirik wajah anaknya. Seakan ia ingin memastikan apakah Dul menyimak atau tidak pembicaraannya.
“Ya, udahlah. Jangan dipikirkan lagi,” timpal Mak Robin.
“Iya, Mak. Aku juga nggak mau kok. Liat nanti aja,” ujar Dijah. Sedetik tadi ia sudah merasakan emosinya sudah di ubun-ubun. Rasanya, membunuh pun ia sanggup. Namun, setelah diam beberapa detik, perasaan emosi itu perlahan surut.
“Beneran, Jah? Mau kamu biarin aja?” tanya Tini. “Aku bukannya mau jadi kompor, Jah. Tapi, aku rasa mulutnya kelewatan. Padahal kamu diem aja. Di depan anak-anak mau ngomong kayak gitu “ Tini mengamati raut wajah Dijah. Wajah yang bundar, hidung yang tidak begitu mancung, tapi menjadi perpaduan sempurna wajahnya yang manis.
Tini belum terlalu banyak tahu soal Dijah. Namun, di antara sekian banyak teman yang ia kenal, kehidupan Dijah membuatnya tertarik. Ada sesuatu dalam diri perempuan itu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak.
“Anakmu sekolah kelas berapa, Jah?” tanya Tini.
“Baru TK A, Tin,” jawab Dijah, mengusap wajah Dul seraya memandangi wajah bocah itu.
“Si Robin udah tua, kok, nggak sekolah Mak? Jangan sampai waktu masuk TK malah lebih pintar dia ketimbang gurunya,” cetus Tini pada Mak Robin.
“Iya, Tini. Memang rencananya mau kukuliahkan dulu si Robin, baru masuk TK.” Mbak Robin menjawab sambil matanya mengawasi boy yang terlihat kesulitan membuka pintu kamar.
“Asti, Asti!” panggil Mak Robin. “Kau tengokkan dulu si boy itu. Kok, payah kali dia buka pintu kamar itu kutengok,” tukas Mak Robin, menunjuk Boy yang menunduk memandang lubang kunci.
Asti yang dimintai tolong langsung berdiri dari kursinya dan berjalan mendekati boy. Dari kejauhan terlihat Asti mengambil kunci dari tangan boy dan membantu pria itu membuka pintu kamar. Semua orang yang sedang memandang ikut bernapas lega.
“Sebayanya si Robin dan si Dul ini, kan, Jah?” tanya Mak Robin.
“Iya. Bener, Mak. Robin dan Dul seumuran. Aku sekolahin empat tahun karena dia di rumah enggak ada temennya. Ketimbang bapakku tidur aja, mendingan anter anakku sekolah,” kata Dijah.
Menjelang sore, Dijah pamit mengantarkan Dul pulang ke rumah orang tuanya. Asti pamit untuk mandi. Mak Robin masuk ke kamar dan bertelepon dengan suaminya.
Tini tak beranjak dari kursi plastiknya. Ia mengatakan tidak akan mandi, karena tidak akan ada yang datang. Sedang ia asyik menyulut sebatang rokoknya, Boy yang sudah segar keluar dari kamar. Penghuni baru itu menempati sebuah kursi plastik di sebelah Tini.
“Menurut Mbak Tini, mencari pekerjaan di kota susah nggak?” Boy membuka percakapan bersama Tini.
“Panggil Tini aja,” sahut Tini. “Mungkin nggak susah buat yang mau nyari. Contohnya Dijah itu. Keliatannya nggak pernah nganggur. Padahal dia bukan orang kantoran. Setiap hari yang dikerjain ada aja. Kerjaanku memang lebih menghasilkan banyak uang. Tapi, ya, itu. Ngeliatin tingkah orang aneh-aneh. Kenapa? Kamu lagi nyari kerjaan?” tanya Tini.
“Aku mau mengundurkan diri. Udah nggak cocok di tempat kerjaanku yang sekarang. Mulut manusianya, ya, kayak perempuan itu tadi.” Boy duduk menyilangkan kakinya.
“Kerjain apa aja, Boy. Yang penting kamu enggak nyusahin orang. Soalnya, laki-laki itu memang ditakdirkan untuk bekerja. Aku paling benci liat laki-laki siang bolong habis makan tidur. Aku pernah diusir bapakku, karena masalah itu.” Tini mengatakan hal itu dengan tatapan menerawang. Asap rokoknya mengepul di atas kepala.
“Kok, aneh? Bapakmu yang tidur, tapi kamu yang diusir?” tanya Boy, penasaran.
“Iya, bapakku habis makan tidur siang. Aku tutupin pake kain panjang. Adikku yang bungsu pulang sekolah, nangis jerit-jerit. Dia kira bapak kami udah mati.” Tini meringis memandang Boy.
“Oooh,” gumam Boy. Seketika ia tak tahu harus bereaksi apa. Sejak awal ia sudah mengelompokkan Tini ke bagian manusia tak biasa.
“Gayamu beda. Sebelumnya kamu tinggal di mana? Pasti di kos-kosan mahal,” ucap Tini, memandang Boy yang duduk di sebelahnya. Tetangganya itu menggenggam segelas kopi kekinian yang harganya mungkin setara dengan dua kilo beras.
“Iya. Kos-kosan mahal yang semakin hari, biaya hidupnya semakin mencekik buatku. Gali lubang tutup lubang. Uang yang dicari sebulan, habis cuma untuk nongkrong ke sana kemari. Malah akhir bulan kadang masih suka pinjam. Aku mau hidup enak, tapi kayaknya mustahil kalau cuma dari makan gaji. Jadi ... untuk melakukan perubahan, salah satunya aku harus pindah kos cari yang lebih murah.” Boy membalas tatapan Tini.
Boy menyeruput kopinya. Dua tangannya tersilang di depan dada. Setelah sekian lama bergaul dengan orang-orang yang fokus menikmati hidup. Kini Boy seperti diajak untuk me-review dirinya sendiri. Membicarakan kekurangan tanpa takut mendapat penghakiman. Entah kenapa gaya Tini yang apa adanya membuat Boy lebih nyaman mengeluarkan unek-unek.
“Sampai ngutang, ya?” gumam Tini, melirik kopi Boy. Ia melihat Boy sedikit meringis saat menyeruput kopi hitam dari gelas cantik bermerek mahal.
“Pokoknya aku sekarang sedang menjalankan mode hemat,” tukas Boy bersemangat. “Nonton ke bioskop sebulan sekali aja,” sambung Boy.
“Lebih hemat lagi, kalau kamu ke bioskop dan duduk di luar aja. Tanyain orang-orang yang baru selesai nonton filmnya gimana. Aku rasa itu lebih hemat,” ujar Tini.
Boy melengos. “Pokoknya suatu saat nanti aku harus jadi pengusaha,” ucap Boy.
“Bagus,” sahut Tini acuh tak acuh.
“Aku bosen dibanding-bandingkan sama kakak laki-lakiku yang udah nikah. Sedikit-sedikit semuanya untuk dia. Sementang aku nggak ada apa-apanya. Anak tanpa prestasi. Prestasiku satu-satunya cuma berhasil ranking satu di jaman SD,” ucap Boy.
Tini menoleh pada Boy. Ia kembali menunduk mengambil kotak rokoknya. “Entah jadi apa pun kamu sekarang, setidaknya pada saat SD, kamu udah pernah bikin bangga orang tua kamu. Jangankan ranking sekolah. Anak tetanggaku di kampung, bisa masukin belut ke botol aja, seminggu penuh ibunya ngomongin itu terus. Yang penting dia bangga,” sahut Tini.
Boy menoleh takjub pada Tini. Ia tak menyangka akan mendapat begitu banyak hal-hal berarti dan berisi saat berbicara dengan perempuan berambut api di sebelahnya.
“Kamu ini luar biasa, Tin. Perkataanmu semua mengandung hal positif. Ngomong-ngomong ... aku heran kenapa orang suka rasa kopi ini. Rasanya biasa aja. Harganya mahal,” tukas Boy, mengangkat gelas kopinya dan memandang cairan hitam encer di dalamnya.
“Oh, kalau itu karena mulutmu biasa minum yang sachetan,” sahut Tini santai.
To Be Continued
Jangan lupa di-like, langsung scroll ke bawah untuk part selanjutnya.
no 1 ga ada yg nmanya bosen..masih tetep ketawa, seperti pertama baca..
no 2, baru kang pirza