Asa terkejut saat membuka matanya semua orang justru memanggilnya dengan nama Zia Anggelina, sosok tokoh jahat dalam sebuah novel best seller yang menjadi trending topik paling di benci seluruh pembaca novel.
Zia kehilangan kasih sayang orang tua serta kekasihnya, semua terjadi setelah adiknya lahir. Zia bukanlah anak kandung, melainkan anak angkat keluarga Leander.
Asa yang menempati raga Zia tidak ingin hal menyedihkan itu terjadi padanya. Dia bertekad untuk melawan alur cerita aslinya, agar bisa mendapat akhir yang bahagia.
Akankah Asa mampu memerankan karakter Zia dan menghindari kematian tragisnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 06
Gaby hanya diam ketika ditanya oleh Arza, seolah-olah memberitahukan ada yang sengaja mencelakainya dan bukan karena kesalahannya sendiri.
"Tindakan lo ini bener-bener ngerugiin gue. Lo bisa gue gugat dengan pencemaran nama baik." Zia melipat tangannya di dada. "Tapi berhubung gue gak mau ribet, sekarang lo ganti aja tuh makanan yang udah lo lempar sama dua mangkuk bakso gue," nego Zia pada pemuda itu.
Jika orang memperhatikan dengan jelas, mungkin bisa melihat sinar kejut di mata Arza. Pemuda itu diam dengan alis yang menyatu memperhatikan Zia yang tiba-tiba berani melawannya.
Arza pikir keanehan Zia hanya terjadi tadi pagi ketika ia tidak seperti biasanya yang akan selalu menempel padanya, tapi sekarang ia cukup terkejut dengan keberanian gadis itu membantah ucapannya.
Padahal sebelumnya gadis itu tidak pernah sekalipun melawan, atau bahkan menjaga jarak dengannya. Semua kejadian ini terasa baru bagi Arza, dan membuatnya bertanya-tanya apakah Zia baru saja salah makan?
"Mana?" Zia mengulurkan satu tangannya meminta uang ganti rugi baksonya. "Satu mangkuk empat puluh ribu, kalau dua berarti delapan puluh ribu. Cepet serahin uangnya!"
Zia menggerak-gerakkan telapak tangannya tidak sabaran di hadapan Arza. Semua orang kehilangan suara menyaksikan tingkah tidak masuk akal Zia.
"Lo malak gue?!" Tanya Arza tak percaya.
"Iya, kenapa? Gak punya duit? Pinjem dulu sama temen lo," Zia sambil melirik tiga teman Arza.
Arza mendengus dingin, merogoh saku celananya, mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah, dan melemparkannya. Setelah melakukan itu, Arza pergi sambil menarik lengan Gaby untuk mengikutinya.
Zia tersenyum lebar melihat uang yang ada di atas meja. Lumayan, untuk membeli camilan. "Wah, rejeki nomplok."
Tidak lama setelah itu, bunyi bel masuk terdengar. Zia dan Maddy kembali ke kelas.
"Ngelihat lo berani ngelawan Arza tadi, gue jadi yakin sama ucapan lo yang mau move on dari cowok itu," ucap Maddy saat mereka sudah berada di dalam kelas.
"Jadi dari tadi lo gak yakin sama ucapan gue?"
"Bukan gitu, maksud gue, gue kira lo gak seserius itu," bantah Maddy.
Melihat betapa gigihnya Zia mengejar Arza, siapa yang akan langsung percaya ketika gadis itu mengatakan ingin melupakan perasaannya terhadap Arza. Walaupun tadi Maddy bahagia mendengar Zia ingin mencoba move on, tapi ia tidak bisa mengelak ada setitik keraguan tentang niatan Zia yang terdengar seperti omong kosong.
Zia menatap sahabatnya dengan mata jernihnya. "Gue gak pernah se-serius ini buat melupakan Arza. Lo yang paling tau gue gak pernah main-main sama apa pun yang menyangkut Arza, bahkan ketololan gue udah di fase paling goblog cuma buat ngejar dia. Begitu pun dengan ucapan gue sekarang yang bakal ngelupain dia, semua itu bakal gue lakuin tanpa terpaksa."
Sementara Maddy diam membisu. Entahlah, meski ia mulai percaya tapi tetap saja masih ada setitik rasa ragu dengan tekad sahabatnya itu.
***
Aroma asap rokok menguar dari dalam sebuah apartemen berukuran luas. Arza mengisap rokoknya perlahan dengan mata yang menatap lurus ke depan. Wajah Arza terlihat dingin tanpa ekspresi apa pun, tidak terpengaruh dengan suara berisik di sekelilingnya yang disebabkan oleh teman-temannya.
"Bagi, Za." Bayu melirik rokok Arza.
Arza melempar sebungkus rokok dengan asal hingga mengenai kepala Bayu. "Sial!" umpat Bayu.
Tak ayal tangannya mengambil bungkus itu lalu menyalakan satu batang rokok, kepulan asap menguar di udara bersama hembusan angin yang menerbangkannya.
"Gak modal banget lo, Yu. Rokok doang masih ngemis sama orang lain," ledek Brian.
Pemuda berambut pirang itu menggulingkan badannya ke samping ketika melihat Bayu hendak melempar remot TV ke arahnya.
"Berisik banget lo, Arza aja santuy, kenapa lo yang repot," ucap Bayu sensi.
"Tolong bedakan antara santuy dan pasrah. Arza itu cuman lagi pasrah punya teman mental gratisan kayak lo," Reno bersandar di sofa sambil bermain game tapi mulutnya tidak ketinggalan ikut meledek Bayu.
Brian tertawa puas. Sementara Bayu memandang kesal kedua temannya yang terlihat kompak hanya ketika meledeknya. Mereka kini sedang berada di apartemen milik Arza. Apartemen ini memang biasa menjadi tempat kumpul di waktu luang.
"Ehh bangsat! Kenapa gue tiba-tiba kepikiran Zia, ya?" celetuk Brian tiba-tiba, sedetik kemudian ia langsung tertawa.
"Naksir kali lo sama tuh Iblis," sahut Bayu sambil mengembuskan asap rokok.
"Bukan. Gila aja," sanggah Brian. "Lagian gue gak berani ngelangkahin Arza, bisa-bisa gue login akhirat lebih cepat," katanya sambil menaik-turunkan alisnya kepada Arza.
"Lo lupa, Bri, si Arza udah punya Gabriella yang polos plus nyegerin," kata Bayu.
"Dikira iklan minuman kali nyegerin," Reni melempar bantal sofa pada Bayu.
Brian menyisir rambut pirangnya menggunakan jari ke belakang. "Lo pada ngerasa aneh gak sih sama Zia yang sekarang. Sejak masuk sekolah lagi, tuh anak gak ada caper-capernya sama Arza. Kita udah kenal tuh cewek dari lama dan gue rasa kali ini pertama kalinya dia mogok ngintilin Arza."
Mereka berempat memang berteman sejak duduk di bangku SD lalu bersekolah di SMP yang sama. Nah, di SMP itulah mereka bertemu dengan Zia, gadis sombong dan galak yang menyukai Arza setengah mati.
Tidak ada hari tanpa kehadiran Zia, di mana ada Zia di situ ada Arza. Gadis itu mengejar-ngejar Arza tanpa mempedulikan harga dirinya, mengatakan cinta setiap saat tanpa malu padahal pemuda itu tidak pernah sekalipun mempertimbangkan perasaan Zia dan sering menyakiti gadis itu dengan perkataannya yang menohok.
Terkadang mereka merasa kasihan, namun perasaan muak lebih mendominasi. Kenapa Zia tidak menyerah saja, karena sampai kapan pun sepertinya Arza tidak akan pernah membalas perasaan Seyra.
Mereka sangat memahami dan tidak menyalahkan Arza atas tindakannya karena tidak mempertimbangkan Zia, bagaimanapun perasaan tidak bisa dipaksakan.
"Hmm, gue pikir juga begitu," Bayu mengusap dagunya berpikir. "Dia juga udah berani ngegas sama Arza."
"Nah, nah, lo juga ngerasa aneh, kan?" Brian menjentikkan jari telunjuk dan ibu jarinya. Lalu menoleh pada Arza. "Menurut lo gimana, Za?"
"Gue gak peduli. Gue lebih suka kalian gak bahas dia," Arza berucap cuek.
Brian berdecak. "Gak asik lo."
"Tapi Zia bisa imut juga, ya," sahut Reno.
Semuanya serempak menoleh ke arah Reno. Mereka menatap pemuda itu rumit.
"Kenapa?" Reno menaikan sebelah alisnya. "Dia memang imut. Apalagi pas minta ganti rugi baksonya yang dilempar Arza, lucu banget." Reno terkekeh kecil mengingat kejadian di kantin.
"Bangsat! Geli gue ngeliat muka lo," Brian meringis ngeri melihat wajah Reno.
Sumpah, ia tidak menyangka seorang Reno Wijaya, temannya yang cukup pendiam itu bisa berkata sedemikian rupa tentang Zia. Imut? Cuih, Brian sepertinya harus meruqyah Reno secepatnya agar terbebas dari dedemit yang di bawa oleh Zia.
"Tapi Zia memang cantik," kali ini Bayu yang berucap. "Kalau aja dia gak bucin setengah mampus sama Arz, udah gue pacarin dari dulu," lanjutnya jujur.
Tidak ada yang bisa mengelak fakta itu. Zia memang cantik jika saja sifatnya tidak sejahat itu. Brian terdiam tidak membantah. Jika Gaby lebih ke lembut, rapuh dan tampak polos, lain halnya dengan Zia yang memiliki wajah imut, jutek, dan seksi di saat bersamaan.
"Mau ke mana, Za?" tanya Reno ketika melihat sahabatnya itu beranjak memakai jaket dan mengambil kunci motornya.
"Cabut." Mereka tidak bertanya lagi, sepertinya Arza tidak dalam mood yang baik. Setelah melihat Arza keluar dari apartemen, Bayu dan Reno menatap tajam Brian.
"Lo sih segala ngomongin Zia. Udah tahu si Arza orangnya sensi tiap dengar nama tuh cewek."
Brian mendelik tidak terima. "Enak aja lo pada nyalahin gue. Siapa yang segala bilang Zia imut. Terus ada yang bilang juga mau di jadiin pacar kalau aja kelakuannya gak kayak dajjal. Siapa, siapa, hah?"