Satu kesalahan di lantai lima puluh memaksa Kirana menyerahkan kebebasannya. Demi menyelamatkan pekerjaan ayahnya, gadis berseragam putih-abu-abu itu harus tunduk pada perintah Arkan, sang pemimpin perusahaan yang sangat angkuh.
"Mulai malam ini, kamu adalah milik saya," bisik Arkan dengan nada yang dingin.
Terjebak dalam kontrak pelayan pribadi, Kirana perlahan menemukan rahasia gelap tentang utang nyawa yang mengikat keluarga mereka. Di balik kemewahan menara tinggi, sebuah permainan takdir yang berbahaya baru saja dimulai. Antara benci yang mendalam dan getaran yang tak terduga, Kirana harus memilih antara harga diri atau mengikuti kata hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Labirin Kegelapan
Cairan dingin yang sangat menusuk meresap melalui pembuluh darah di leher Kirana, menciptakan sensasi mati rasa yang menjalar dengan sangat cepat ke seluruh ujung sarafnya. Dunianya seketika miring dan berputar-putar seperti gasing yang kehilangan keseimbangan di atas lantai marmer yang licin. Ia mencoba berteriak memanggil nama Arkananta, namun lidahnya terasa kelu dan berat seolah telah berubah menjadi sebongkah batu yang dingin.
"Diamlah, Gadis Kecil, atau dosis berikutnya akan membuat jantungmu berhenti berdetak selamanya," bisik suara parau yang sangat asing tepat di lubang telinganya.
Kirana merasakan tubuhnya diseret dengan sangat kasar melintasi lantai terowongan yang dipenuhi oleh genangan air payau dan lumpur hitam yang berbau busuk. Cahaya senter yang remang-remang sesekali memantul pada dinding batu yang dipenuhi oleh lumut tebal, menciptakan bayangan-bayangan raksasa yang tampak sangat mengerikan. Ia ingin meronta, namun otot-ototnya sama sekali tidak mau menuruti perintah otaknya akibat pengaruh obat bius yang sangat kuat tersebut.
"Tuan Arkan... tolong... saya..." rintih Kirana dengan suara yang nyaris hilang tertelan oleh keheningan lorong bawah tanah yang panjang.
Pria yang menculiknya tidak memedulikan rintihan tersebut, ia justru mempercepat langkah kakinya sambil terus menarik kerah baju Kirana tanpa rasa belas kasihan. Mereka sampai di sebuah persimpangan labirin yang memiliki tiga jalur berbeda, masing-masing jalur tampak sangat gelap dan menyimpan misteri yang sangat mencekam. Pria itu berhenti sejenak, ia mengeluarkan sebuah peta kain yang sudah sangat usang dan mulai mencocokkan arah dengan kompas kecil di tangannya.
Di sisi lain terowongan, Arkananta tersentak bangun saat merasakan hawa dingin yang luar biasa menusuk hingga ke sumsum tulangnya yang paling dalam. Ia menyadari bahwa genggaman tangan Kirana telah menghilang, menyisakan kekosongan yang sangat menyakitkan di telapak tangannya yang masih bersimbah darah. Arkananta segera menyalakan pemantik api miliknya, menerangi sekelilingnya yang hanya dipenuhi oleh reruntuhan batu besar yang menutup jalur kembali ke gua.
"Kirana! Di mana kamu? Indra, apakah kamu melihat Kirana?" teriak Arkananta dengan suara yang sangat parau dan penuh dengan kecemasan yang mendalam.
Indra muncul dari balik kegelapan dengan luka baru di dahi yang tampak masih mengeluarkan darah segar yang merembes pelan ke arah matanya. Ia menggelengkan kepala dengan ekspresi wajah yang sangat kaku, menyadari bahwa mereka baru saja dijebak oleh kelompok pengintai yang ahli dalam pertempuran bawah tanah. Indra segera memeriksa jejak kaki di atas tanah lumpur dan menemukan bekas seretan yang mengarah ke jalur terowongan bagian timur yang sangat sempit.
"Dia dibawa oleh kelompok naga hitam, Arkananta, mereka adalah pembunuh bayaran yang sudah lama mengincar buku catatan ibu Kirana," ujar Indra sambil mengokang senjatanya.
Arkananta tidak menunggu penjelasan lebih lanjut, ia segera berlari menembus kegelapan terowongan meskipun kakinya terasa sangat lemas dan kepalanya masih berdenyut kencang. Amarah yang sangat besar kini berkumpul di dadanya, membakar segala rasa sakit yang tadi sempat melumpuhkan keberaniannya sebagai seorang pemimpin muda. Ia bersumpah akan menghancurkan siapa pun yang berani menyentuh sehelai rambut pun dari kepala gadis magangnya tersebut.
"Jika mereka menyakiti Kirana, saya akan memastikan tidak ada satu pun dari mereka yang bisa melihat cahaya matahari lagi!" tegas Arkananta dengan rahang yang mengeras kaku.
Sementara itu, Kirana mulai mendapatkan kembali sedikit kesadarannya saat pria misterius itu menghentikan langkahnya di sebuah ruangan beton yang tampak seperti bunker peninggalan zaman peperangan. Ruangan itu diterangi oleh beberapa lampu minyak yang digantung pada dinding yang sudah mulai retak-retak dimakan usia yang sangat tua. Kirana didudukkan di sebuah kursi kayu tua, tangannya diikat dengan tali tambang yang sangat kasar hingga melukai pergelangan kulitnya yang halus.
"Sekarang, serahkan buku catatan ibumu kepada saya atau saya akan mematahkan jemarimu satu demi satu," ancam pria itu sambil menunjukkan sebuah pisau lipat yang sangat tajam.
Kirana menatap pria itu dengan pandangan yang penuh dengan kebencian, meskipun di dalam hatinya ia merasa sangat ketakutan dan ingin menangis sekuat-tenaga. Ia menyembunyikan buku catatan tersebut di balik lipatan seragam sekolahnya yang sudah sangat kotor dan sobek di beberapa bagian akibat pelarian tadi. Kirana menyadari bahwa buku tersebut adalah satu-satunya harapan untuk mengungkap siapa pembunuh orang tuanya yang sebenarnya di masa lalu.
"Saya tidak akan pernah memberikan buku ini kepada pengecut seperti Anda, meskipun Anda harus membunuh saya sekarang juga!" jawab Kirana dengan nada bicara yang penuh dengan keberanian yang nekat.
Pria itu tertawa kecil, suara tawa yang terdengar sangat dingin dan tanpa emosi sedikit pun layaknya suara robot yang diprogram untuk membunuh manusia. Ia mendekatkan mata pisaunya ke arah pipi Kirana, membiarkan ujung logam yang dingin itu menyentuh kulit Kirana hingga menimbulkan rasa perih yang sangat menyengat. Tiba-tiba, suara dentuman keras terdengar dari arah pintu besi bunker tersebut, membuat seluruh ruangan bergetar hebat.
"Siapa yang berani mengganggu pekerjaan saya di tempat terpencil seperti ini?" geram pria penculik itu sambil berbalik ke arah pintu dengan wajah yang sangat merah padam.
Pintu besi itu terlempar ke depan dengan kekuatan yang sangat dahsyat hingga menghantam salah satu lemari kayu yang ada di dalam ruangan tersebut. Arkananta berdiri di ambang pintu dengan nafas yang memburu sangat kencang, memegang sebuah batang besi panjang yang ujungnya sudah sangat runcing dan tajam. Di belakangnya, Indra berdiri dengan posisi bersiaga sambil mengarahkan senjatanya ke arah setiap sudut ruangan yang gelap dan penuh dengan bayangan.
"Lepaskan Kirana sekarang juga, atau saya akan memastikan bunker ini menjadi kuburan permanen untukmu malam ini juga!" teriak Arkananta dengan suara yang sangat menggelegar.
Penculik itu tidak merasa gentar, ia justru menarik rambut Kirana dengan sangat kasar dan menempelkan pisaunya tepat di depan urat leher Kirana yang berdenyut cepat. Kirana merintih kesakitan, matanya menatap Arkananta dengan penuh harap sekaligus rasa cemas akan keselamatan pria yang sangat ia cintai tersebut. Suasana di dalam bunker menjadi sangat tegang, seolah waktu berhenti berputar dan hanya menyisakan tarikan napas mereka yang saling beradu.
"Satu langkah maju lagi, maka darah gadis ini akan membasahi lantai beton ini sebelum kamu sempat menyentuh saya, Arkananta!" ancam penculik itu dengan tatapan mata yang sangat liar.
Arkananta menjatuhkan batang besinya ke lantai, menunjukkan bahwa ia bersedia melakukan apa saja asalkan Kirana tidak terluka sedikit pun di tangan penjahat tersebut. Namun, di bawah meja kayu yang ada di samping Kirana, terlihat sebuah kabel tipis yang terhubung dengan tumpukan bahan peledak cair yang sangat sensitif. Kirana menyadari hal itu dan mencoba memberikan kode melalui kedipan matanya yang sangat cepat ke arah Indra yang masih berdiri di belakang Arkananta.
Indra memahami isyarat tersebut, ia segera melemparkan sebuah bom asap kecil ke tengah ruangan untuk mengalihkan pandangan semua orang dalam sekejap saja. Di tengah kabut asap yang sangat pekat, Arkananta melesat maju dan menarik Kirana dari kursi kayu tersebut dengan gerakan yang sangat tangkas dan bertenaga. Namun, saat mereka akan berlari keluar, suara ledakan kecil terdengar dari bawah meja kayu yang tadi dilihat oleh Kirana.