NovelToon NovelToon
Penebusan Ratu Malam

Penebusan Ratu Malam

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Keluarga / Diam-Diam Cinta / Cinta Terlarang / Cinta pada Pandangan Pertama / Cintapertama
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Miss Ra

Di tengah gelapnya dunia malam, seorang Gus menemukan cahaya yang tak pernah ia duga dalam diri seorang pelacur termahal bernama Ayesha.

Arsha, lelaki saleh yang tak pernah bersentuhan dengan wanita, justru jatuh cinta pada perempuan yang hidup dari dosa dan luka. Ia rela mengorbankan ratusan juta demi menebus Ayesha dari dunia kelam itu. Bukan untuk memilikinya, tetapi untuk menyelamatkannya.

Keputusannya memicu amarah orang tua dan mengguncang nama besar keluarga sang Kiyai ternama di kota itu. Seorang Gus yang ingin menikahi pelacur? Itu adalah aib yang tak termaafkan.

Namun cinta Arsha bukan cinta biasa. Cintanya yang untuk menuntun, merawat, dan membimbing. Cinta yang membuat Ayesha menemukan Tuhan kembali, dan dirinya sendiri.

Sebuah kisah tentang dua jiwa yang dipertemukan di tempat paling gelap, namun justru belajar menemukan cahaya yang tak pernah mereka bayangkan.

Gimana kisah kelanjutannya, kita simak kisah mereka di cerita Novel => Penebusan Ratu Malam.
By: Miss Ra.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4

Setelah salat Isya, Gus Arsha, bersama Kiyai Hafidz dan Ustadzah Halimah, berangkat menuju Pondok Pesantren Al-Hikmah, milik Kiai Mustofa. Arsha mengenakan baju koko terbaiknya, tetapi aura kegelisahan terselubung di balik sikap tenangnya.

​Sesampainya di sana, mereka disambut hangat oleh Kiai Mustofa dan istrinya, Nyai Khodijah. Setelah berbasa-basi mengenai perkembangan Pesantren, Kiai Mustofa mempersilakan putrinya, Ning Zulaikha, untuk menemui mereka.

​Zulaikha masuk dengan langkah yang anggun, menundukkan pandangan. Wajahnya teduh, ditutupi kerudung syar'i berwarna maroon. Ia menyampaikan salam dengan suara yang lembut dan sopan, benar-benar mencerminkan kesalehan yang selalu dibanggakan oleh keluarganya.

​"Inilah Zulaikha, Nak Arsha. Putri kami," kata Kiai Mustofa bangga.

​Arsha mengangkat pandangannya sedikit, sekilas memandang Zulaikha. Ia melihat keanggunan, kesopanan, dan ilmu yang terpancar dari wanita itu. Ia adalah gambaran sempurna dari calon istri seorang Gus. Calon Istri yang Pantas.

​"Assalamu'alaikum, Gus Arsha," sapa Zulaikha, menjaga jarak pandang.

​"Wa'alaikumussalam, Ning Zulaikha," jawab Arsha, berusaha terdengar tulus.

​Namun, saat ia memandang Zulaikha, yang muncul dalam benaknya justru adalah Ayesha. Ia teringat bagaimana Ayesha menatapnya pagi itu dengan mata yang sayu, rambut acak-acakan, dan kemeja kebesaran miliknya. Kontras antara keduanya begitu menyakitkan. Zulaikha adalah cahaya yang murni, Ayesha adalah kegelapan yang memikat.

​Kiai Hafidz memulai pembicaraan intinya. "Kiai Mustofa, tujuan kami kemari, seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, adalah untuk mengajukan lamaran resmi. Kami berharap Rafka bisa menjadi pendamping yang baik bagi Zulaikha, dan bersama-sama memimpin umat."

​Kiai Mustofa tersenyum. "Tentu saja, Hafidz. Kami menyambut baik niat suci ini. Rafka adalah putra terbaik, lulusan Kairo yang berilmu tinggi. Kami tidak meragukan Rafka sama sekali."

​Pembicaraan kemudian berlanjut ke masalah teknis. Arsha hanya bisa mengangguk dan merespons seperlunya, sementara pikirannya jauh melayang.

​Ia merasa bersalah. Ia duduk di sana, menyetujui sebuah perjodohan suci, sementara hatinya sudah terisi oleh wanita lain. Ia tahu, ia menggunakan Zulaikha sebagai perisai dan penyamaran. Ya Allah, maafkan aku karena memanfaatkan kesucian ini.

​"Bagaimana jika kalian berdua berbincang sebentar di taman belakang? Lebih baik mengenal calon pasangan sebelum keputusan besar diambil," usul Kiai Mustofa ramah.

​Arsha dan Zulaikha saling pandang sesaat, sebelum akhirnya setuju. Mereka berdua berjalan menuju taman belakang yang dipenuhi bunga melati dan dihiasi lampu temaram. Tempat itu terpisah cukup jauh dari ruang tamu, menawarkan privasi yang dibutuhkan.

​Zulaikha duduk di bangku batu, sementara Arsha memilih berdiri menghadapnya, menjaga batas yang sopan.

​"Silakan duduk, Gus," ujar Zulaikha lembut, kepalanya sedikit menunduk.

​"Terima kasih, Ning," jawab Arsha, tetap berdiri. Ia tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia harus segera bicara. "Ning Zulaikha, saya ingin jujur, dan saya mohon Anda mendengarkan dengan hati terbuka."

​Zulaikha mengangkat pandangannya sedikit, merasa ada nada serius yang berbeda dari Gus Arsha. "Ada apa, Gus? Jika ada keraguan, sampaikanlah. Saya pun tidak ingin pernikahan ini didasari ketidaknyamanan."

​Arsha menarik napas dalam-dalam. "Saya sangat menghormati Anda, Ning. Anda adalah wanita yang salehah, cerdas, dan sempurna untuk memimpin Pesantren. Namun, hati saya sudah terisi oleh wanita lain."

​Zulaikha terdiam. Ekspresi wajahnya yang teduh tidak berubah, tetapi Arsha melihat sedikit kerutan di alisnya.

​"Wanita lain? Siapa dia, Gus?" tanyanya, suaranya tetap terkontrol.

​Arsha merasakan rasa malu yang luar biasa, namun ia harus berani. "Dia... dia adalah seorang wanita yang harus saya selamatkan, Ning. Saya bertemu dengannya dalam sebuah kecelakaan, dan sejak itu, saya merasa Allah menugaskan saya untuk membimbingnya ke jalan yang benar. Saya berniat menikahinya,"

​Zulaikha menghela napas panjang, mencerna kata-kata Arsha. "Jadi, Anda menggunakan lamaran ini untuk membeli waktu dan menenangkan Abah dan Ummi?"

​Arsha mengangguk, merasa bersalah. "Ya. Saya tahu ini pengecut. Tapi jika saya menolak sekarang, Abah akan marah besar dan akan melarang saya pergi mencari wanita itu selamanya. Saya harus punya kendali untuk pergi ke kota dan mencarinya."

​"Lalu, Anda meminta bantuan saya?" tanya Zulaikha, menatap Arsha lurus-lurus. Tatapan itu terasa menghakimi, namun juga penuh pengertian.

​"Saya mohon, Ning. Saya memohon kepada Anda, setelah kami pulang nanti, tolaklah lamaran ini. Katakan kepada Abah dan Ummi Anda bahwa Anda merasa kita tidak memiliki kecocokan visi atau hati. Katakan alasan apa pun, asalkan bukan karena saya yang meminta."

​Arsha membungkuk sedikit, menunjukkan kesungguhan. "Dengan penolakan dari pihak Anda, Kiai Hafidz tidak akan kehilangan muka di hadapan Kiai Mustofa, dan saya akan mendapatkan waktu yang saya butuhkan. Saya bisa beralasan bahwa saya harus introspeksi diri atas penolakan Anda."

​Zulaikha terdiam lama, memandang bunga melati di sekitarnya. Lalu, ia kembali menatap Arsha. "Anda rela merusak nama baik Anda di hadapan saya dan Abah, hanya untuk seorang wanita yang Anda sebut butuh diselamatkan?"

​"Saya tidak ingin wanita mana pun terluka, Ning. Termasuk Anda. Saya tidak ingin menikahi Anda, sementara hati saya memikirkan orang lain. Itu adalah kezaliman terbesar dalam rumah tangga," jawab Arsha tulus.

​Zulaikha tersenyum tipis, senyum yang menunjukkan kebijaksanaan di luar usianya. "Baiklah, Gus Arsha. Saya mengerti. Anda adalah pria yang jujur. Mungkin Anda memang ditakdirkan untuk menjadi penyelamat, bukan sekadar pemimpin pesantren. Saya setuju."

​Arsha merasa sangat lega. "Terima kasih, Ning. Anda telah menyelamatkan hidup saya, dan mungkin juga jiwa wanita itu."

​"Ada satu syarat, Gus," kata Zulaikha, suaranya kembali serius. "Anda harus berjanji, apa pun yang terjadi, Anda akan merahasiakan pembicaraan ini dari siapa pun. Apalagi dari Abah dan Ummi Anda. Saya akan menanggung sendiri risiko penolakan itu."

​"Saya berjanji," tegas Arsha.

​Pembicaraan mereka berakhir. Keduanya kembali ke ruang tamu dengan wajah yang lebih tenang.

~~

​Arsha, Kiyai Hafidz, dan Ustadzah Halimah meninggalkan Pondok Al-Hikmah dengan perasaan yang berbeda. Kiyai Hafidz merasa lega karena lamaran telah diajukan, sementara Arsha merasa cemas menanti eksekusi rencana mereka.

​Mereka baru saja tiba di Ndalem ketika ponsel Kiyai Hafidz berdering. Kiai Mustofa yang menelepon. Kiyai Hafidz segera mengangkatnya.

​Wajah Kiyai Hafidz yang tadinya cerah, perlahan berubah menjadi tegang dan kaku.

​"Apa maksudmu, Kiai Mustofa?" tanya Kiyai Hafidz, suaranya meninggi. "Zulaikha menolak? Tapi kenapa?"

​Arsha menahan napas, menatap ibunya. Ustadzah Halimah terlihat bingung.

​Kiyai Hafidz menutup telepon dengan raut wajah marah dan kecewa yang kentara. Ia menatap Arsha dengan tajam.

​"Kita ditolak, Rafka," katanya dingin. "Zulaikha menolak lamaran kita. Kiai Mustofa mengatakan Zulaikha merasa kalian tidak memiliki kecocokan visi dalam mengelola umat."

​Ustadzah Halimah segera menghampiri suaminya. "Kenapa bisa, Abah? Zulaikha itu kan gadis baik..."

​Kiyai Hafidz menggebrak meja kecil di sampingnya. "Ini pasti ulahmu, Rafka! Kau pasti bersikap aneh saat bicara dengannya! Ini memalukan! Nama baik Pesantren kita dipertaruhkan!"

​Arsha tetap tenang, menjalankan perannya. "Maaf, Abah. Arsha sudah berusaha bersikap sopan. Mungkin ini memang bukan takdirku. Aku akan introspeksi diri. Mungkin aku harus fokus mencari donasi di kota seperti yang aku rencanakan. Mungkin dengan kesuksesan proyek itu, martabat kita bisa pulih."

​Kiyai Hafidz, yang sedang diliputi amarah dan rasa malu, tidak bisa menolak alasan Arsha yang terdengar logis. "Pergilah! Tapi kau harus membawa hasil! Dan jangan sampai kau menyentuh urusan asmara sebelum kau menyelesaikan urusan Pesantren!"

​Arsha mengangguk patuh. Rencana berhasil. Kini ia memiliki dua hari di kota, tanpa dicurigai, dengan alasan 'introspeksi' setelah penolakan. Ia bisa melanjutkan misinya mencari Ayesha.

​Keesokan harinya, Arsha kembali ke apartemennya di kota. Ia kini memiliki alasan yang kuat dan waktu yang cukup.

​Ia duduk di sofa, tempat Ayesha pernah berbaring. Ia membuat secangkir kopi hitam pahit, merenungkan pengorbanan Zulaikha. Ia tahu, Zulaikha telah menanggung malu demi kejujurannya. Ia bertekad, ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang telah diberikan oleh Ning Zulaikha.

​Arsha mengeluarkan laptop-nya dan kartu nama "The Red Rose". Ia mulai mencari informasi.

​Ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi nomor yang tertera di kartu nama Ayesha.

​Akhirnya, suara serak seorang pria terdengar dari ujung telepon.

​"Halo? Siapa ini? Mau pesan?" tanya suara itu, terkesan malas dan to the point.

​Arsha segera merubah intonasinya.

​"Ya, saya ingin memesan. Saya tertarik dengan... The Red Rose," kata Arsha.

​Pria di seberang telepon tertawa singkat. "Ah, Ayesha. Dia sedang libur, Tapi... untukmu, bisa diatur. Kau harus bayar dua kali lipat untuk menjemputnya di luar jadwal. Kau mau dia datang jam berapa, Tuan?"

...----------------...

**Next Episode**....

1
🌹Widianingsih,💐♥️
duhh .. Arsya..jangan jatuh cinta pada Ayesha, nanti akan mendatangkan masalah besar
🌹Widianingsih,💐♥️
benar-benar cobaan berat bagi seorang Gus , bagaimana nanti jika ada yang tau. ...pasti fitnah besar yang datang !
duh Gusti nu maha agung.... selamatkan keduanya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!