Ayla tumbuh sebagai gadis yang terasingkan di rumahnya sendiri. Sejak kecil, kasih sayang kedua orang tuanya lebih banyak tercurah pada sang kakak, Aluna gadis cantik yang selalu dipuja dan dimanjakan. Ayla hanya menjadi bayangan, tak pernah dianggap penting. Luka itu semakin dalam ketika ia harus merelakan cinta pertamanya, Arga, demi kebahagiaan sang kakak.
Tidak tahan dengan rasa sakit yang menjerat, Ayla memilih pergi dari rumah dan meninggalkan segalanya. Lima tahun kemudian, ia kembali ke ibu kota bukan sebagai gadis lemah yang dulu, melainkan sebagai wanita matang dan cerdas. Atas kepercayaan atasannya, Ayla dipercaya mengelola sebuah perusahaan besar.
Pertemuannya kembali dengan masa lalu keluarga yang pernah menyingkirkannya, kakak yang selalu menjadi pusat segalanya, dan lelaki yang dulu ia tinggalkan membuka kembali luka lama. Namun kali ini, Ayla datang bukan untuk menyerah. Ia datang untuk berdiri tegak, membuktikan bahwa dirinya pantas mendapatkan cinta dan kebahagiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4 KEMBALINYA SANG BAYANGAN.
Lima tahun telah berlalu.
Waktu yang panjang itu mengubah banyak hal terutama seorang gadis bernama Alya.
Dulu, ia hanyalah bayangan di rumahnya sendiri. Gadis yang tak dianggap, yang harus menelan pahit karena cintanya direbut, yang memilih pergi demi menenangkan luka di dada. Tapi hari ini, ketika langkahnya menapaki lantai marmer bandara internasional ibu kota, ia bukan lagi Alya yang sama.
Rambut hitam panjangnya tergerai rapi, wajahnya lebih dewasa dengan riasan tipis yang menonjolkan sorot matanya yang tegas. Tubuhnya tegap, langkahnya mantap, dan setiap gerakan mencerminkan kepercayaan diri. Setelan jas berwarna biru tua membungkus tubuhnya dengan elegan, membuatnya tampak berwibawa.
Ia menarik napas panjang, menatap kota yang dulu ia tinggalkan dengan perasaan campur aduk. Ada rindu, ada luka, tapi juga ada tekad.
“Aku kembali. Bukan sebagai Alya yang dulu, tapi sebagai Alya yang baru. Kali ini, aku akan berdiri di tempatku sendiri.”
Alya tinggal di sebuah Apartemen yang sudah ia beli sebelumnya, di pusat ibu kota. Menghilang beberapa tahun membuat Alya menjadi Alya yang pintar dan juga cerdas dalam bekerja. Alya benar-benar membuktikan jika dirinya mampu berdiri di atas kakinya sendiri.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sebuah mobil hitam mengantarnya menuju gedung perkantoran tinggi yang menjulang di pusat kota. Di lobi yang megah, beberapa pegawai menyapanya penuh hormat.
“Selamat pagi, Bu Alya.”
“Selamat datang, Bu.”
Alya hanya membalas dengan senyum tipis dan anggukan. Ia melangkah menuju lift kaca yang langsung membawanya ke lantai paling atas. Ruang kerja barunya menanti sebuah ruangan luas dengan jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota.
Tak lama, pintu terbuka. Seorang pria berusia lima puluhan dengan jas abu-abu menyambutnya hangat. Dialah Tuan Surya, direktur utama sekaligus atasan yang selama ini mempercayai Alya.
“Selamat datang kembali, Alya,” ucapnya sambil menyalami. “Mulai hari ini, perusahaan cabang terbesar ini resmi berada di bawah kendalimu. Aku percaya, kamu mampu membawa perubahan besar.”
Alya tersenyum tulus, meski dalam sorot matanya ada ketegasan yang sulit terbantahkan. “Terima kasih atas kepercayaannya, Pak. Saya janji tidak akan mengecewakan.”
Tuan Surya menepuk bahunya pelan, lalu meninggalkannya untuk mulai bekerja.
Alya berdiri di depan kaca besar, menatap gedung-gedung tinggi yang berbaris rapat. Lima tahun lalu, kota ini menjadi saksi luka terdalam dalam hidupnya. Kini, kota yang sama akan menjadi tempat ia membuktikan diri.
Hari pertama Alya dipenuhi rapat penting, strategi bisnis, dan pertemuan dengan klien besar. Para staf kagum melihat caranya memimpin tenang, tegas, dan penuh perhitungan. Tidak ada lagi sisa-sisa gadis yang dulu hanya menunduk dan menerima perlakuan semena-mena.
Bahkan, beberapa rekan kerjanya mulai berbisik-bisik, “Direktur muda itu benar-benar luar biasa. Wibawanya tidak kalah dengan para senior.”
Di balik kesibukan itu, Alya sesekali termenung. Ia tahu cepat atau lambat, ia akan bertemu lagi dengan orang-orang dari masa lalunya. Orang tua yang menyingkirkannya, kakak yang merebut segalanya, dan Arga… lelaki yang pernah ia cintai dengan sepenuh hati.
Namun kali ini, ia tidak gentar.
Ia sudah menyiapkan dirinya.
Sore itu, setelah menyelesaikan rapat panjang, Alya duduk sendirian di ruang kerjanya. Cahaya senja masuk melalui kaca, membalutnya dengan semburat oranye keemasan.
Ia menatap pantulan dirinya di jendela seorang wanita yang tidak lagi rapuh.
Seorang wanita yang sudah berdamai dengan masa lalunya, meski bayangannya masih menunggu di tikungan jalan.
“Aku kembali, bukan untuk mengemis cinta… bukan untuk mencari pengakuan. Aku kembali untuk berdiri tegak, untuk diriku sendiri.”
Dan tanpa ia sadari, di suatu sudut kota, nama Alya mulai kembali bergaung.
Nama yang dulu dianggap tidak berarti, kini menjadi sosok yang diperhitungkan.
Perjalanan baru dimulai.