Hidup Arabella hancur ketika pamannya tega menjualnya pada Edward Frederick, seorang mafia berkedok Ceo yang terkenal kejam, dingin, dan arogan, hanya demi melunasi hutang akibat kebangkrutan perusahaan.
Dengan kaki kanan yang cacat karena kecelakaan di masa lalu, Arabella tak punya banyak pilihan selain pasrah menerima perlakuan sang suami yang lebih mirip penjara ketimbang pelindung.
Perlahan, keduanya terseret dalam permainan hati, di mana benci dan cinta tipis perbedaannya.
Mampukah Arabella bertahan dalam pernikahan tanpa cinta ini? Ataukah justru dia yang akan meluluhkan hati seorang Edward Frederick yang sekeras batu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22
Edward berdiri di depan jendela kamar cukup lama, menatap malam yang mulai gelap menelan seluruh kota.
Kepalanya dipenuhi berbagai pikiran tentang Ara. Ia masih tidak percaya dengan senyum aneh istrinya tadi. Senyum yang seolah menyembunyikan sesuatu.
Setelah hampir sepuluh menit menunggu, Ara tak kunjung menyusulnya ke kamar. Biasanya, gadis itu akan segera naik, menawarkan teh hangat atau sekadar menanyakan apakah ia lelah.
Tapi malam ini? Sunyi. Tak ada langkah, tak ada suara dari bawah.
Rasa kesal perlahan tumbuh di dada Edward. Ia memutar gelasnya, meneguk sisa whisky, lalu berjalan menuruni tangga dengan langkah berat. Setiap anak tangga yang diinjak seolah menambah kadar amarah dalam dirinya.
Begitu tiba di ruang tamu, Edward mendapati Ara masih duduk di sofa. Tubuhnya tampak lemah, kepala sedikit tertunduk, dan wajahnya pucat pasi.
Edward menghentikan langkahnya, menatap wanita itu dalam diam. Sekilas, ada sesuatu di matanya, bukan hanya kesal, tapi juga cemas.
“Kenapa kau belum ke kamar juga?” ketus Edward.
Ara menoleh perlahan, kaget melihat Edward yang sudah berdiri di depannya.
“Aku hanya… sedikit pusing. Sebentar lagi aku akan naik.”
Edward berdecak pelan, lalu berjongkok di hadapannya. Gerakan itu membuat Ara makin terkejut. Tatapan mata tajam pria itu turun ke arah kaki Ara, yang terbungkus perban rapi.
Dingin dan cepat, tangannya meraih ujung kain itu.
“Apa ini?” tanyanya tajam.
Ara spontan menarik kakinya pelan, namun Edward menahannya. “Kakimu terluka lagi?”
Ara menelan ludah, kebingungan. Haruskah ia menceritakan yang sebenarnya? Tentang rasa sakit yang sudah lama ia tahan, tentang rumah sakit, tentang dokter yang menolongnya?
Tapi… bukankah itu hanya akan membuat Edward marah? Ia pasti akan menganggapnya lemah, atau lebih buruk lagi, merepotkan.
“Aku jatuh dari tangga semalam,” ucapnya pelan, menunduk, berbohong dengan raut gugup. “Hanya luka kecil, tidak perlu dikhawatirkan.”
Edward terdiam, menatapnya lama, seolah menimbang kebenaran dari setiap kata yang keluar dari bibir Ara.
Lalu, dengan lirikan dingin, ia berucap, “Jatuh dari tangga? Menarik. Karena bentuk lukanya bukan seperti orang yang jatuh, tapi seperti seseorang yang sudah lama terluka dan memaksakan diri.”
Ara menahan napas. Ia tak berani menatap balik. Haruskah ia mengatakan yang sebenarnya kalau dulu, Ara dan keluarganya mengalami kecelakan karena ditabrak seseorang?
Edward menghela napas kasar, lalu berdiri tegak.
“Kau selalu pandai membuatku kehilangan sabar.”
Sebelum Ara sempat bicara, Edward menunduk, membungkuk sedikit, dan tanpa peringatan membopong tubuhnya dengan satu gerakan cepat.
“Ed–edward! Apa yang kau lakukan?” seru Ara refleks sambil memegang dada Edward agar tidak jatuh.
“Diam,” jawab Edward dingin. “Kau pikir aku tega membiarkanmu duduk di bawah dengan kaki seperti ini?”
Ara terpaku. Dalam dinginnya suara Edward, ada nada peduli yang samar. Ia hanya bisa menatap wajah suaminya dari jarak begitu dekat.
Rahang tegasnya, bulu mata panjang yang jatuh di bawah sorotan lampu, dan bibir yang sedikit terkatup rapat seakan menahan sesuatu.
Detak jantung Ara terasa aneh, cepat dan kacau. Ia berusaha mengalihkan pandangan, tapi Edward justru menatapnya balik.
“Apa kau tidak bisa diam?” gumam Edward datar, di sudut bibirnya terlukis senyum tipis yang nyaris tak terlihat.
“Aku bisa berjalan sendiri,” balas Ara dengan suara pelan.
Edward menaikkan alis, menatap wajahnya tajam. “Kau terlalu keras kepala untuk tubuh selemah itu.”
Ara ingin membantah, tapi lidahnya kelu. Entah kenapa, cara Edward mengatakannya bukan sekadar sindiran, tapi terdengar seperti kekhawatiran yang disamarkan.
Begitu tiba di kamar, Edward menurunkan Ara perlahan di tepi ranjang. Ia berjongkok sekali lagi, menyentuh perban di kaki Ara dengan ujung jarinya.
“Ini harus diperiksa oleh dokter yang benar, bukan dengan alasan konyol seperti jatuh tangga.”
Ara menatapnya tanpa suara. Pandangan Edward memang dingin, tapi jemarinya menyentuh kulit kakinya dengan hati-hati, seolah takut menyakitinya.
“Kenapa kau tidak memberitahuku kalau kakimu kambuh lagi? Apa ini alasanmu pergi ke rumah sakit?” tanya Edward akhirnya.
Ara menunduk. “Aku tidak ingin merepotkanmu. Kau sudah cukup sibuk.”
Edward menghela napas dalam, lalu berdiri. “Kau memang pandai menyembunyikan luka, Ara.” Ia berbalik, berjalan ke arah meja, lalu menambahkan, “Tapi ingat, tidak semua luka bisa kau sembunyikan dariku.”
Ara menatap punggung Edward yang tegap, tapi entah mengapa terasa begitu jauh.
Sementara Edward berdiri membelakangi, rahangnya mengeras. Ia menggenggam tangan di saku celananya, mencoba menahan rasa bersalah yang tak mau ia akui.
“Jatuh dari tangga, huh?” gumamnya pelan, bibirnya melengkung sinis. “Kau memang buruk dalam berbohong, istriku.”
Dalam hatinya, Edward berjanji mulai besok, ia sendiri yang akan memastikan Ara tidak lagi kesakitan. Entah dengan cara lembut atau dengan caranya sendiri yang dingin dan keras.
“Argh! Sampai kapan aku bisa menahannya! Sialnya di saat seperti ini dia lagi-lagi bereaksi!” omel Edward pada si otong.
si detektif kecil kayak Conan 😄😄😄..
badannya aja yg pitik ga sama isi kepala nya,,
dari pada uncle mu yg 1/2 ons
aihhh mau ngapain merek apa Edward mau ngetes lolipop nya Sam Jul Jul