Cerita ini untuk pembaca dewasa. Baca dengan bijak❗
Cherry Gabriella mengambil satu keputusan nekat yang mengubah seluruh hidupnya, menjadi ibu pengganti bagi pewaris berhati dingin, Trevor Spencer.
Namun, ketika bayi mungilnya lahir, Cherry tak sanggup menyerahkan darah dagingnya, meski harus diburu oleh pria yang bisa membeli segalanya… bahkan nyawanya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
"Halo semuanya!" teriak Edwin sambil masuk ke rumah.
"Paman Edwin!" seru Arnold girang, berlari memeluk baptisnya. Edwin langsung mengangkat bocah itu.
"Kangen sama Paman?" tanya Edwin.
"Iya dong, Paman."
"Paman datang buat rayain kelulusan Mama kamu nih. Bawa bahan buat bikin sate juga," ujar Edwin.
"Beneran? Wow!" Arnold makin senang.
"Selamat ya, Cherry," ucap Edwin pada Cherry.
"Makasih, Paman. Wah, pas banget Paman datang, makan siangnya udah siap. Ikut makan yuk," ajak Cherry.
"Oke deh. Eh, Trevor mana?" tanya Edwin sambil menurunkan Arnold. Bocah itu langsung duduk di kursinya.
"Lagi di bawah, olahraga. Bentar lagi juga naik kok," jawab Cherry.
"Hah? Olahraga sekarang? Padahal ini bukan jadwalnya," ujar Edwin heran.
"Eh, mungkin dia lupa kasih tahu. Sekarang kami olahraga setiap hari, soalnya dia lagi ngajarin aku teknik bertarung," jelas Cherry.
"Terus kenapa dia sendirian? Bukannya kalian harus latihan bareng?" tanya Edwin lagi.
"Entah, aku juga enggak tahu," Cherry mengangkat bahu.
"Ah, pasti boner tuh. Hahaha. Dia lagi nahan, pasti kamu bikin sesuatu deh," goda Edwin.
Cherry mengernyit. "Hah? Aku enggak ngapa-ngapain kok."
Kecuali… kecelakaan tadi pagi yang memalukan itu. Astaga, benar-benar malu.
"Beneran? Kamu enggak ngapa-ngapain yang… menggoda? Atau yang bikin si anu bangun?" goda Edwin lagi sambil nyengir.
"Maksudnya apa sih?" Cherry makin bingung.
"Yang, aduh!" Edwin menjerit saat Trevor tiba-tiba melempar handuk padanya.
Cherry melirik Trevor yang basah kuyup karena keringat. Apa dia latihan keras banget sampai keringetan begitu?
"Diam kamu," ujar Trevor dingin pada Edwin, lalu duduk di kursinya.
"Papa, kok Papa keringetan banget sih?" tanya Arnold.
Mereka semua mulai makan. Cherry menyendokkan nasi dan lauk untuk Arnold, lalu menyuapinya.
"Tadi Papa olahraga di gym, makanya keringetan," jawab Trevor.
"Anak pintar, Papa kamu lagi ngilepin libido di gym," celetuk Edwin.
"Libido? Itu apa, Paman?" tanya Arnold polos.
"Kamu mau aku tendang keluar sekarang?" ancam Trevor dingin pada Edwin, yang langsung angkat tangan tanda menyerah.
"Enggak ada apa-apa kok, sayang. Makan yang banyak ya," Cherry mengalihkan perhatian Arnold.
"Papa, jangan usir Paman keluar dong. Paman bawa bahan sate, mau bikin sate buat kita nanti," bela Arnold.
"Anak pintar, Paman sayang banget sama kamu," ujar Edwin dengan nada dramatis.
"Papa cuma bercanda kok, sayang. Papa enggak bakal usir Paman kamu," ujar Cherry sambil melirik Trevor, yang membalas tatapannya dengan pandangan tajam.
"Aku kira Papa beneran, soalnya mukanya serius banget," gumam Arnold.
"Papa cuma lagi enggak mood aja hari ini, nak," jawab Trevor sambil mengusap kepala Arnold dan mengacak rambutnya.
"Papa, kalau Papa lagi enggak mood, jangan natap Mama kayak mau makan Mama dong. Papa enggak bakal makan Mama kan? Jangan makan Mama, nanti Mama sakit. Aku enggak mau dengar Mama teriak-teriak kesakitan," ujar Arnold khawatir.
Cherry membelalak mendengar ucapan anaknya.
"Pfft, anak pintar, tos dulu," Edwin menahan tawa sambil mengangkat tangannya, langsung disambut Arnold.
"Sayang, kan Mama udah bilang jangan ngomong kalau mulutnya penuh. Udah, jangan ngomong lagi ya?" Cherry mencoba mengalihkan.
Kenapa rasanya otak Paman dan keponakan ini nyambung banget?
Selesai makan siang, Cherry dan Arnold naik ke atas, sementara Edwin dan Trevor berada di luar mempersiapkan membakar sate.
"Kyaaa! Cherry, apa kabar? Kamu makin cantik aja nih!" sapa Erika antusias melalui layar laptop.
"Ah, Erika lebay. Kita kan baru sebulan enggak ketemu," jawab Cherry sambil tersenyum.
"Tapi beneran kok. Kan, Adrian?" Erika menoleh pada Adrian di sampingnya.
"Iya, kamu makin cantik, Cherry. Enggak ada yang nyamain kecantikan kamu," puji Adrian.
Cherry tersenyum. "Kalian nih gombal banget. Eh, selamat lagi ya."
"Selamat juga buat kamu," ucap mereka serempak.
"Oh iya, Arnold lagi sama aku nih. Sini, sayang, say hi sama Paman sama Tante," ajak Cherry. Arnold duduk di pangkuannya menghadap laptop.
"Aku tahu kok Mama cantik, Paman. Enggak usah lebay gitu," ujar Arnold.
"Sayang, kan Mama udah bilang panggil mereka Paman dan Tante?" Cherry mengingatkan.
"Maaf, Ma. Aku cuma enggak suka caranya Paman muji Mama. Papa aja enggak pernah muji Mama kayak gitu," bisik Arnold.
"Mereka teman Mama, makanya begitu. Ayo say hi," pinta Cherry.
"Halo, Paman, Tante," sapa Arnold sopan.
"Astaga, ini Arnold ya? Lucu dan gede banget! Terakhir lihat foto kamu waktu masih bayi," seru Erika.
"Terima kasih, Tante," jawab Arnold.
"Sopan banget anaknya, Cherry. Kamu hebat mendidiknya. Hai Nak, aku Paman Adrian. Kamu ganteng banget," sapa Adrian.
"Paman juga ganteng kok, tapi Papa lebih ganteng," jawab Arnold jujur.
"Arnold! Enggak sopan banget ngebandingin orang," tegur Cherry.
"Maaf, Ma," ujar Arnold.
"Minta maaf sama Paman Adrian," pinta Cherry.
"Maaf ya, Paman Adrian," ucap Arnold.
"Enggak apa-apa kok, Nak. Enggak usah minta maaf," balas Adrian baik.
"Astaga gemasnya, pengen cubit pipinya. Eh, Cherry, kamu datang ke wisuda kan?" tanya Erika.
"Aku belum tahu sih, belum yakin juga," jawab Cherry ragu.
"Ayolah, Cherry, datang dong. Kita kangen banget sama kamu. Lagian mungkin ini terakhir kalinya kita ketemu, jadi please datang ya," pinta Erika.
"Kenapa? Kamu mau ke mana, Erika?" tanya Cherry.
"Mama mau bawa aku ke Paris soalnya," jelas Erika.
"Oh gitu. Oke deh, nanti aku minta izin dulu," jawab Cherry.
"Yes!" seru Erika senang.
"Nak!" panggil Trevor saat masuk ke kamar.
"Papa!" Arnold melompat dari pangkuan Cherry.
Trevor mengangkat Arnold dan langsung keluar tanpa melirik Cherry sama sekali.
Oh iya, Cherry masih punya salah sama dia. Pantas saja dia mengacuhkannya. Nanti saja Cherry bicara dengannya.
"Itu siapa tadi? Itu Papa-nya Arnold?" tanya Adrian.
"Iya, itu Trevor," jawab Cherry.
"Wow! Maksudnya Trevor Spencer? Multi-billionaire dan pengusaha terkenal di seluruh dunia itu? Pantesan familiar banget waktu sering lihat dia jemput kamu. Kirain cuma kebetulan nama belakangnya sama, ternyata memang dia! Kamu dapat jackpot banget, Cherry. Ganteng pula. Kamu hidup bareng dewa Yunani. Pantesan Arnold ganteng banget, ada turunannya," seru Erika kagum.
"Cherry juga cantik, makanya Arnold ganteng. Dia warisan dari Mama-nya, bukan dari Papa-nya," bela Adrian.
"Ah, kamu cuma iri. Jelas-jelas anaknya copy Papanya. Gennya kuat banget tuh," balas Erika.
"Makanya aku enggak mau cerita soal ini ke kamu, pasti reaksinya bakal kayak gini," keluh Cherry.
"Hehe, enggak percaya aja aku. Papa-nya Arnold ganteng banget, Cherry. Kalian tinggal seatap, yakin enggak ada adiknya Arnold? Sayang banget kalau gen Trevor enggak disebar, maksudku, kalau enggak punya anak lagi," ujar Erika.
"Tunggu, aku ambil pizza dulu kayaknya udah datang," pamit Adrian.
"Kamu tuh, Cherry, sayang banget gen Trevor kalau Arnold enggak punya adik. Buka kaki lebar-lebar, eh maksudku sebar gennya lebar-lebar," celetuk Erika.
"Mulutmu kurang ajar banget sih," tegur Cherry.
"Hah, kasihan Adrian," keluh Erika.
"Kenapa?" tanya Cherry bingung.
"Entah deh. Kamu itu beneran obtuse banget. Polos banget, pula. Pengen rasanya aku jedotin kamu ke tembok atau pukul pakai balok biar sadar. Buka mata, Cherry. Liat sekitar," ujar Erika kesal.
**
"Ini, Nak, udah matang. Kamu bisa makan," ujar Edwin sambil menyerahkan sate pada Arnold, yang langsung menerimanya dengan senang.
"Makasih, Paman. Enak banget," puji Arnold.
"Jadi bro, tadi kenapa? Kok mukanya masam banget terus bilang lagi enggak mood?" tanya Edwin.
"Diam kamu!" jawab Trevor kesal.
"Terserah kamu deh. Kalau enggak cerita, aku enggak bisa bantu. Padahal aku ahli soal ginian," ujar Edwin santai.
"Papa, aku enggak suka teman cowok Mama. Dia kayak terlalu deket sama Mama," adu Arnold pada ayahnya.
"Teman yang mana, Nak?" tanya Edwin.
"Paman Adrian," jawab Arnold.
"Kenapa? Dia ngapain ke Mama kamu?" tanya Edwin lagi.
"Dia muji Mama. Dia bilang Mama cantik banget dan enggak ada yang bisa nyamain. Kayaknya dia lagi gombalin Mama," jelas Arnold.
"Ooh, jadi itu alasannya? Cemburu ya? Hei, Rullen, ngaku deh, kamu cemburu sama cowok itu gara-gara Cherry?" goda Edwin.
"Diam kamu!" jawab Trevor dingin.
"Oh, jadi iya? Wah, kamu kalah duluan kalau gitu, bro," ujar Edwin.
"Papa enggak kalah kok. Papa lebih ganteng dari Paman Adrian, dan Mama lebih sayang Papa daripada Paman Adrian. Mama bilang Paman Adrian cuma teman kok," bela Arnold.
"Beneran? Mama kamu bilang gitu? Wah, Papa kamu beruntung banget kalau gitu," ujar Edwin.
"Iya, Paman. Jadi Papa, jangan marah sama Mama lagi dong," pinta Arnold.
"Iya," jawab Trevor singkat.
"Baikan sama Mama ya, Pa. Aku enggak suka lihat kalian enggak saling perhatian," ujar Arnold sedih.
"Anak pintar, kamu ke atas deh, temani Mama kamu. Jaga-jaga kalau Paman Adrian-mu lagi gombalin Mama lagi," usul Edwin.
"Oke, Paman," Arnold langsung berlari ke dalam rumah.