Putri Raras Ayu Kusumadewi, putri tunggal dari salah satu bangsawan Keraton Yogyakarta, selalu hidup dalam aturan dan tata krama yang ketat. Dunia luar hanyalah dongeng yang ia dengar dari pengawal dan dayang-dayangnya.
Hingga suatu hari, atas nama kerja sama budaya, Keraton Yogyakarta menerima kunjungan kehormatan dari Pangeran William Alexander dari Inggris, pewaris kedua takhta Kerajaan Inggris.
Sebuah pertemuan resmi yang seharusnya hanya berlangsung beberapa hari berubah menjadi kisah cinta terlarang.
Raras menemukan kebebasan dan keberanian lewat tatapan sang pangeran yang hangat, sementara William melihat keindahan yang belum pernah ia temui — keanggunan Timur yang membungkus hati lembut seorang putri Jawa.
Namun cinta mereka bukan hanya jarak dan budaya yang menjadi penghalang, tapi juga takdir, tradisi, dan politik dua kerajaan.
Mereka harus memilih — cinta, atau mahkota.
.
.
Note: semua yang terkandung dalam cerita hanya fiktif belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uffahazz_2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. The Shelter of Our Hearts
Hujan salju turun perlahan di atas kabin tua di pinggiran Stockholm.
Dari cerobong asap kayu, mengepul aroma kayu terbakar dan teh hangat.
Malam menua dalam diam, hanya bunyi api yang berderak di perapian menjadi saksi dua jiwa yang akhirnya berhenti berlari.
Raras duduk di lantai, berselimut selimut wol tebal. Di tangannya ada cangkir teh yang sudah mulai dingin. Wajahnya menatap api, matanya sendu tapi damai — seolah untuk pertama kalinya, dunia yang bergolak di luar sana tak lagi mengusik jiwanya.
William berdiri di dekat jendela, memandangi hamparan salju yang menutupi halaman.
Sorot matanya tajam tapi penuh kelelahan. Di bawah cahaya temaram, siluet tubuhnya tampak rapuh — bukan pangeran, bukan buronan kerajaan, melainkan seorang pria yang sedang mencari alasan untuk tetap bertahan.
“Seharusnya aku tak menyeretmu sejauh ini,” ucapnya lirih tanpa menoleh.
Suara itu nyaris tenggelam di antara derak api.
Raras mengangkat kepala, menatap punggungnya yang tegang. “William…”
Ia berdiri, melangkah perlahan mendekat.
Langkahnya nyaris tak bersuara di atas lantai kayu, tapi William tetap bisa merasakannya — langkah yang selalu ia kenali, langkah yang kini lebih berarti daripada seluruh langkah dalam hidupnya.
“Aku memilih ikut, bukan karena bodoh,” katanya lembut, berhenti tepat di belakang William.
“Aku tahu risikonya. Tapi aku juga tahu… aku tidak ingin hidup di dunia yang memisahkan kita dengan alasan kebangsaan atau darah biru.”
William menutup matanya. Suara itu — tenang, jujur, tanpa kepura-puraan — mengguncang dinding yang selama ini ia bangun untuk melindungi hatinya.
Ia berbalik perlahan, menatap wajah Raras yang memantulkan cahaya api.
Wajah itu lelah, matanya memerah, rambutnya kusut — tapi di mata William, Raras tampak jauh lebih anggun dari semua putri yang pernah ia kenal di istana.
“Raras…”
Suara William parau. Ia mengangkat tangan, menyentuh pipinya perlahan.
Jari-jarinya dingin, tapi sentuhannya membuat jantung Raras berdegup cepat.
“Semua yang kualami sejak mengenalmu… membuatku sadar, aku bukan pangeran yang hebat. Aku hanya pria yang takut kehilanganmu.”
Raras tersenyum kecil, bibirnya gemetar menahan emosi. “Dan aku bukan putri sempurna dari keraton. Aku cuma perempuan yang bodoh jatuh cinta pada orang yang dilarang.”
Mereka terdiam beberapa detik — hanya tatapan yang bicara.
Lalu William menariknya ke dalam pelukan, kuat dan lama, seolah waktu berhenti di antara mereka.
Pelukan itu bukan sekadar kehangatan. Itu adalah janji.
Janji dua orang yang tahu bahwa dunia bisa melawan, tapi hati mereka tetap saling memilih.
---
Di Bawah Langit yang Beku
Beberapa jam kemudian, badai mereda.
William membuka pintu kabin, mengizinkan angin malam masuk. Di luar, langit terbuka, menampakkan taburan bintang yang seperti serpihan cahaya kecil di atas putihnya salju.
“Indah sekali…” bisik Raras dari balik bahunya.
William menoleh, menatapnya dengan senyum lembut. “Tapi tidak seindah matamu waktu pertama kali menatapku di Jogja.”
Raras tertawa kecil. “Kau masih ingat itu?”
“Bagaimana mungkin aku lupa?”
William mendekat, menatapnya dalam-dalam. “Aku datang ke keraton dengan pakaian formal, penuh tata krama. Tapi yang kulihat saat itu bukan kemegahan adatmu… melainkan perempuan yang tertawa saat menatap langit, seolah tak peduli siapa yang sedang melihatnya.”
Raras menunduk, pipinya memerah. “Kau benar-benar mengingatnya sedetail itu?”
William menunduk, suaranya rendah, hangat. “Setiap kali aku kehilangan arah, aku hanya perlu memikirkan wajahmu di sore itu.”
Ia memegang tangan Raras, menggenggamnya di antara jemarinya yang besar dan dingin.
“Kau tahu kenapa aku menolak menyerah, bahkan ketika seluruh kerajaan memburuku?”
Raras menggeleng pelan.
“Karena aku sudah berjanji pada diriku sendiri,” katanya dengan nada dalam, “aku tidak akan membiarkan takhta menjadi alasan untuk kehilangan satu-satunya hal yang membuatku manusia.”
---
Satu Ciuman, Satu Dunia
Raras terdiam.
Matanya berair, bukan karena sedih — tapi karena hatinya penuh sesak oleh rasa yang tak bisa lagi ia sembunyikan.
Ia menatap William, lalu tanpa pikir panjang, ia menutup jarak di antara mereka.
Ciuman mereka terjadi begitu saja — lembut, lama, dan penuh rasa takut akan kehilangan.
Bukan ciuman penuh gairah, melainkan pengakuan dua jiwa yang selama ini terikat oleh nasib dan perbedaan.
Di luar, salju masih turun.
Di dalam, dunia mereka hangat oleh api cinta dan janji yang tak perlu diucapkan.
Ketika akhirnya mereka saling melepaskan, William menyandarkan keningnya di kening Raras.
“Suatu hari nanti,” ucapnya lirih, “aku akan membawamu ke istana. Tapi bukan sebagai tamu, bukan pula sebagai bayangan… melainkan sebagai seseorang yang berdiri di sisiku.”
Raras menatapnya, suaranya bergetar. “Dan kalau dunia menolak kita?”
William tersenyum kecil. “Maka kita akan menciptakan dunia baru.”
---
Malam itu mereka tertidur berdua di depan perapian.
Raras bersandar di dada William, mendengar degup jantungnya yang stabil.
Untuk pertama kalinya, tak ada suara sirene, tak ada teriakan perintah, tak ada kebohongan istana — hanya keheningan, hanya mereka.
Di luar, bintang-bintang berkerlip di atas langit Skandinavia.
Dan di antara sinar itu, seolah semesta ikut berdoa agar cinta mereka bertahan hingga fajar berikutnya.
nah,,, buat sebagian org, cinta nya kok bisa diobral sana sini,, heran deh,,
aku suka,,,aku suka,,,
mommy komen nih ya,,,🥰
kalo sempet blz komen kita" ya
senang banget mommy atuh neng,,,
bisa baca karya mu di sini lg🥰