Melati berubah pendiam saat dia menemukan struk pembelian susu ibu hamil dari saku jas Revan, suaminya.
Saat itu juga dunia Melati seolah berhenti berputar, hatinya hancur tak berbentuk. Akankah Melati sanggup bertahan? Atau mahligai rumah tangganya bersama Revan akan berakhir. Dan fakta apa yang di sembunyikan Revan?
Bagi teman-teman pembaca baru, kalau belum tahu awal kisah cinta Revan Melati bisa ke aplikasi sebelah seru, bikin candu dan bikin gagal move on..🙏🏻🙏🏻
IG : raina.syifa32
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raina Syifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
Melati berdiri di depan pintu ruang penanganan, jari-jarinya menggenggam erat ponsel yang layarnya penuh dengan rekaman dan foto-foto suaminya, Revan, yang tak lepas dari pengawasannya. Matanya merah dan penuh amarah sekaligus luka, menyaksikan Revan yang dengan sabar memegangi tangan wanita lain—wanita yang ia anggap sebagai perusak rumah tangganya—terbaring di atas brankar rumah sakit, tubuhnya tampak lemah dan rapuh.
Dada Melati sesak, napasnya tersengal saat bayangan masa lalu muncul—Revan yang dulu begitu setia dan penuh perhatian saat mendampinginya melewati sakit dan perjuangan melahirkan anak mereka. Kini, perhatian itu dialihkan pada wanita asing itu, menggores luka lebih dalam di hati Melati. Wajahnya menegang, rahangnya mengeras, dan sekujur tubuhnya bergetar menahan perasaan terkhianati.
Dengan suara bergetar namun penuh tekad, Melati menatap tajam suaminya yang sibuk mengusap keringat di dahi wanita itu, kemudian berkata, “Kamu benar-benar keterlaluan, Mas. Semua sudah ada di sini—semua bukti ini—akan aku gunakan untuk mengajukan gugatan cerai.”
Kata-kata itu menggantung di udara, berat dan penuh amarah, sementara mata Melati tak lepas dari Revan yang tampak terdiam, seolah menyadari bahwa langkah yang diambilnya kini telah melukai ikatan yang dulu mereka anggap tak tergoyahkan.
Melati menghela napas berat, dadanya berdebar kedua matanya kembali basah. "Aku nggak boleh berlarut-larut dalam kesedihan," gumamnya pelan, tapi suaranya penuh tekad. "Anak-anak pasti sudah menunggu. Aku harus pulang, nggak peduli kamu mau pulang atau nggak, Mas."
Langkahnya berat, setiap detik berjalan menusuk luka yang suaminya torehkan, luka batinnya kembali terkoyak. Air mata jatuh tanpa bisa ditahan, menetes di pipi yang tertunduk dalam diam.
Melati duduk terpaku di balik kemudi, jemarinya mencengkeram setir hingga putih, berusaha meredam gelora amarah yang berkobar dalam dadanya. Matanya menatap kosong ke depan, tapi pikirannya menerawang jauh ke malam yang sunyi. “Ya Allah, aku harus gimana sekarang?” bisiknya serak, suara seolah tercekat menahan luka. Bayangan rumah tangga yang dulu hangat berubah jadi kelabu. “Ya Allah kalau memang rumah tanggaku harus berakhir sampai di sini, apa aku sanggup?” gumamnya sambil menunduk.
Pikirannya kacau memikirkan anak-anaknya. “Apa anak-anak mampu berpisah dari ayahnya, atau justru aku yang terpisah dari mereka, apa aku kuat melepas mereka? Dan bagaimana kalau mereka lebih memilih tinggal sama Mas Revan dan istri barunya?”
Tangannya menggenggam setir lebih erat, dadanya sesak menahan rasa sakit.
Sebelum menyalakan mesin mobilnya, Melati mengambil ponsel dari tasnya. Tangannya bergerak lincah di atas layar, tiba-tiba terbersit di dalam otaknya. Berpura-pura menanyakan kabar suaminya.
Cukup lama Melati menunggu ponselnya diangkat. "Bahkan telponku nggak kamu angkat mas."
Sekali lagi Melati menekan nomor ponsel suaminya dengan jari gemetar. Kali ini, telepon berdering dan Revan mengangkat. “Halo, assalamualaikum, sayang. Ada apa?” suara Revan terdengar hangat, seperti biasa.
Melati menelan ludah, suaranya lirih dan tanpa semangat. “Waalaikumsalam... Mas, kamu di mana?”
“Aku di kantor, Sayang.” Jawab Revan santai. Melati terdiam, dada sesak. Pengakuan itu seperti air panas yang disiramkan ke wajahnya. Padahal pagi tadi saat jam makan siang, Revan pamit mau ke Bandung.
Sekali lagi, kebohongan itu terasa seperti pisau yang mengiris, untuk kesekian kali Revan kembali berbohong. “Di kantor? Bukannya tadi pagi kamu bilang mau ke Bandung, Mas?” tanyanya pelan memancing.
Revan terdengar ragu-ragu, suara seraknya muncul. “Itu... emmm... Mas nggak jadi ke Bandung. Mas lembur sampai malam. Kamu mau nitip sesuatu?”
“Enggak, ya sudah lanjut kerja, Mas. Maaf ganggu. Assalamualaikum.” Melati segera menutup telepon, jari-jarinya menekan tombol dengan kasar. Dia duduk termenung, menatap kosong. Hatinya penuh luka, berat sekali menahan pernikahan yang kini terasa rapuh dan sakit.
“Pernikahan kita sudah nggak sehat, Mas. Untuk apa dipertahankan?” gumam Melati, suaranya nyaris hilang bersama tangis yang ditekan.
revan pulsa jgn sembunyikan lg msalah ini terlalu besar urusannya jika km brbohong terus walau dg dalih g mau nyakitin melati ,justru ini mlh buat melati salah pham yg ahirnya bikin km rugi van
sebgai lelaki kok g punya pendirian heran deh sm tingkahnya kmu van, harusnya tu ngobrol baik" sm melati biar g da salah paham suka sekali trjd slh pham ya.