Mengangkat derajat seseorang, dan menjadikanya suami, tidak menjamin Bunga akan di hargai.
Rangga, suami dari Bunga, merupakan anak dari sopir, yang bekerja di rumah orang tua angkatnya.
Dan kini, setelah hubungan rumah tangga mereka memasuki tujuh tahun, Rangga memutuskan untuk menceraikan Bunga, dengan alasan rindu akan tangisan seorang anak.
Tak hanya itu, tepat satu bulan, perceraian itu terjadi. Bunga mulai di teror dengan fitnat-fitnah kejam di balik alasan kenapa dia di ceraikan ...
Bagi kalian yang penasaran, yuk, ikuti kisah Bunga dan Rangga ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lamaran
"Maaf Arlan, hari ini aku pergi sendiri aja," ungkap Bunga, kala Arlan berdiri sambil menyandar di pintu mobilnya.
"Kenapa?" Arlan mengernyit.
"Aku gak mau terus-terusan memanfaatkan kamu, untuk kepentingan ku. Maka mulai sekarang, aku akan pergi dan pulang sendiri," putusnya.
Arlan hanya bisa menatap Bunga yang masuk ke mobilnya.
Sudah satu bulan, Bunga menghindar dari Arlan. Bahkan, dia enggan menemui Arlan, ketika lelaki itu bertamu ke rumahnya.
Sedangkan Vivi, dia sudah berulang kali menasehati anaknya itu.
Namun, alasan Bunga membuat Vivi bungkam. Karena pads kenyataannya, Bunga masih trauma dekat dengan lawan jenis.
"Boleh gak, aku ke kamarnya?" pinta Arlan pada Andrian dan Vivi.
"Ingat, jangan macam-macam, pintunya jangan di tutup. Karena aku akan memantaunya secara langsung," ujar Andrian menatap tajam ke arah Arlan.
Arlan terkekeh, salut dengan Andrian yang masih menjaga Bunga, walaupun dalam rumahnya sendiri.
"Hai Bunga," Arlan menyelonong masuk, bahkan tanpa mengetuk pintu terlebih dulu.
Bunga yang memakai celana pendek, sontak buru-buru menarik selimut, agar menutupi pahanya.
Sesaat, Arlan tertegun. Dia menelan ludahnya dengan susah payah.
"Kenapa masuk kesini? Kamu gak sopan," bentak Bunga.
"Aku udah izin sama yang empunya rumah kok," sahut Arlan acuh. "Lagian, kenapa kamu menghindar terus sih? Cepek loh, aku menghubungi mu, tapi gak pernah di balas," keluh Arlan, sekarang duduk di sofa, yang ada di kamar. Sedangkan Bunga, masih berada di ranjangnya.
"Gini kan cantik, udah lama aku gak lihat rambut kriting mu," kekeh Arlan, yang sekarang fokus pada rambut Bunga, yang dibiarkan tergerai.
Bunga buru-buru menutupi rambutnya. Kedatangan Arlan ke kamarnya, sungguh membuat emosinya meningkat.
"Keluar Arlan. Tak baik, seorang lelaki dewasa, berada di kamar seorang janda," usir Bunga.
"Ayo menikah," ajak Arlan to the point.
"Kamu gila?" hardik Bunga.
"Gak, satu bulan berpisah dari mu, sudah cukup membuktikan jika aku benaran cinta sama kamu," ungkap Arlan.
"Kamu tahu kan, kekurangan ku? Bahkan, aku yakin kamu sudah mendengarnya. Baik dari mama, atau dari siapapun itu," ujar Bunga menatap Arlan sekilas.
"Aku tahu, dan aku tidak butuh itu Bunga. Kamu tahu kan? Bahkan kedua kakak ku, memilih untuk tidak mempunyai anak, hingga akhir hayat mereka. Dan mama serta papa tidak mempermasalahkan hal itu, karena itu pilihan mereka. Dan gak ada yang bisa memaksanya," tutur Arlan menjelaskan. "Jika kamu gak percaya, maka aku akan menghubungi mama, untuk melamarmu malam ini juga," tantang Arlan.
"Kamu gila Arlan, jangan macam-macam," larang Bunga bangkit dari kasurnya, dan hendak merebut ponsel milik Arlan.
"Mama, tolong lamar Bunga untukku, malam ini juga,"
Terlambat, jawaban suara dari Febi, membuat Bunga bungkam.
"Malam ini? Kenapa? Kamu apakan Bunga?" tanya Febi shock.
Ketika Bunga hendak membuka mulut, Arlan menarik lengan Bunga, memutari tubuhnya hingga Arlan memeluk tubuh Bunga dari belakang. Tangan sebelahnya lagi, di gunakan untuk menutup mulut Bunga.
"Bunga yang menyuruhnya ma," sahut Arlan, dengan posisi ponsel di jepit pakai telinga dan bahunya.
"Baiklah,"
"Nah, dengar sendiri kan? Siap-siap ya calon istri," ujar Arlan melepaskan tangannya.
"Apa-apa sih, memang kamu pikir aku percaya?" cetus Bunga kembali ke kasurnya.
Sedangkan di depan kamar Bunga. Vivi yang sejak tadi nonton sama Andrian, terkejut kala Febi memberitahu jika ia akan kesana dalam kurun waktu dua jam lagi.
Sebab, dia harus membeli beberapa seserahan terlebih dulu.
"Arlan, apa maksud kamu? Kenapa lamaran mendadak?" beruntun Vivi terkejut.
"Bunga yang maksa tante," sahut Arlan mengedik bahunya.
Muka Bunga merah padam, akibat menahan emosi. Dia langsung melempari Arlan dengan bantal yang ada di sekitarannya.
Arlan pun menjelaskan semuanya. Dia memberitahu tentang bagaimana perasaannya saat berjauhan dengan Bunga. Tak hanya itu, dia juga mengatakan kalau dia tahu, alasan utama di balik perceraian Bunga.
Dan Arlan percaya, alasan utamanya bukan lah, anak. Melainkan perselingkuhan.
"Bagaimana menurut mu Bunga?" tanya Andrian yang juga masuk ke kamar Bunga.
"A-aku takut, kejadian yang sama terulang lagi," gumam Bunga.
"Nak, kami percaya Arlan memang yang terbaik untukmu, jadi mama merestui kalian," ungkap Vivi, menatap Andrian, meminta persetujuan dari suaminya.
Andrian pun mengangguk, di bandingkan dengan Rangga. Dia lebih yakin terhadap Arlan.
Benar saja, tak sampai dua jam Febi tiba di kediaman keluarga Andrian. Disana, Arlan sudah menunggu, seperti sang empunya rumah. Sedangkan Bunga, dia sedang make-up tipis-tipis, untuk menyambut tamu.
Vivi, Andrian dan Arlan menyambut rombongan yang hanya di hadiri oleh keluarga saja. Kedua kakak dari Arlan langsung memelototi adiknya, karena telah mengganggu waktu mereka sama sang suami masing-masing.
Bagaimana tidak, saat di hubungi kakak pertama Arlan sedang berhubungan dengan suami. Dan sedikit lagi, hampir mencapai puncak. Akan tetapi, Febi menghubunginya seperti sedang terjadi bencana alam yang sangat besar.
Dan yang lebih parahnya lagi, bukan hanya Febi yang menghubunginya. Papa mereka juga menghubungi suaminya.
Sedangkan kakak kedua Arlan, sedang melakukan diner di restoran. Namun, kabar mengejutkan dari mamanya cukup membuat diner romantis mereka kacau.
"Maaf," Arlan menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Sadar, telah melakukan kesalahan.
Semua orang masuk ke ruang keluarga. Karena ini sudah jam sepuluh malam, tamu-tamu hanya di suguhkan makanan dan minuman. Tidak ada makan malam, seperti lamaran-lamaran lainnya.
"Maafkan Arlan, kami tahu ini bukan paksaan Bunga. Tapi, memang belakangan ini, sikapnya selalu saja uring-uringan. Bahkan, beberapa proyek gagal di dapatkannya, akibat cinta putus sebelum di ikat," ujar pak Dirgantara membuka suara.
"Pa, kenapa harus membicarakan kegagalan ku sih?" protes Arlan tak terima.
"Memang begitu bukan? Bahkan, kamu ..." ucapannya terhenti, kala Febi memegangi tangannya, dan menggeleng.
"Kami datang kesini, bermaksud meminta anak kalian, sebagai istri dari Arlan, dan anak untuk kami, serta adik untuk kedua kakaknya Arlan," Febi buka suara.
"Sebelumnya, kalian tahu kan? Anak kami seorang janda?" tanya Andrian memastikan.
"Kami tahu, dan itu bukan masalah bagi kami. Dan aku pastikan, tidak ada seorang pun, yang menghina tentang statusnya itu. Karena kenyataanya aku juga seorang janda, yang menikah dengan suamiku," terang Febi.
Tak lama, Bunga turun dengan menggenakan dress berwana maroon. Rambutnya di biarkan tergerai, dan make-up tipis semakin membuat wajahnya segar.
"Ini dia calon pengantin, cantik sekali," puji Febi, sembari menutup mulut Arlan yang terbuka.
Bunga memilih duduk di tengah-tengah, antara Vivi dan Andrian. Dia sempat melirik ke arah Arlan yang mengedipkan sebelah matanya. Serta memujinya cantik.
"Sebelumnya, aku juga ingin mengatakan pada kalian. Jika aku bukan anak kandung dari mama dan papa. Dan saat hari pernikahan nanti, aku ingin mengadakan acaranya di kampung halaman orang tua kandungku," pinta Bunga.
Vivi dan Andrian mengangguk setuju.
Bukan tanpa alasan Bunga meminta hal itu. Karena belakangan ini dia tahu, jika keadaan Bambang, tidak memungkinkan, untuk berpergian jarak jauh.
"Setuju, apapun alasannya asalkan dengan mu, aku tidak keberatan sama sekali," sahut Arlan, percaya diri.
𝑺𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒎𝒂𝒘𝒂𝒓 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒌𝒂𝒓 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒅𝒂𝒏 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒎, 𝒔𝒆𝒎𝒐𝒈𝒂 𝒔𝒆𝒕𝒊𝒂𝒑 𝒌𝒂𝒓𝒚𝒂𝒎𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒋𝒆𝒋𝒂𝒌 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒌𝒆𝒏𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒂𝒏 𝒕𝒂𝒏𝒈𝒈𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏𝒕𝒂𝒓𝒌𝒂𝒏𝒎𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒋𝒖 𝒑𝒖𝒏𝒄𝒂𝒌 𝒌𝒆𝒔𝒖𝒌𝒔𝒆𝒔𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒋𝒂𝒕𝒊.✿⚈‿‿⚈✿