Demi menikahi wanita yang dicintainya, Arhan Sanjaya mengorbankan segalanya, bahkan rela berhutang banyak dan memenuhi semua keinginan calon mertuanya. Terbelenggu hutang, Arhan nekat bekerja di negeri seberang. Namun, setelah dua tahun pengorbanan, ia justru dikhianati oleh istri dengan pria yang tak pernah dia sangka.
Kenyataan pahit itu membuat Arhan gelap mata. Amarah yang meledak justru membuatnya mendekam di balik jeruji besi, merenggut kebebasannya dan semua yang ia miliki.
Terperangkap dalam kegelapan, akankah Arhan menjadi pecundang yang hanya bisa menangisi nasib? Atau ia akan bangkit dari keterpurukan, membalaskan rasa sakitnya, dan menunjukkan kepada dunia bahwa orang yang terbuang pun bisa menjadi pemenang?
Karya ini berkolaborasi spesial dengan author Moms TZ.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Pulang ke rumah Ibu
.
Setelah mendapatkan uang dari hasil penjualan tanah dan rumah, Arhan merasa lebih tenang. Ia sudah memiliki modal untuk memulai usaha kulinernya. Namun, ada satu hal yang masih mengganjal di hatinya. Ia belum bertemu ibu dan saudaranya yang lain semenjak keluar dari penjara. Bahkan ia juga belum mengabari mereka.
"Bud, sebelum aku membuka usaha, aku ingin pulang dulu ke rumah orang tuaku," ucap Arhan, memecah keheningan sore.
"Ya Allah, aku juga lupa. Kamu juga belum memberitahukan mereka bahwa kamu sudah keluar dari penjara, ya?" tanya Budi, merasa ikut bersalah..
"Iya. Aku belum memberitahu ibu dan adik-adikku, bahwa aku sudah bebas. Niatnya aku mau langsung pulang aja biar jadi kejutan untuk mereka," jawab Arhan.
"Kamu ini!” Budi melempar kulit kacang yang ada di tangannya hingga mengenai hidung Arhan.
Arhan tidak menghindar malah tertawa dan membalas perbuatan Budi.
"Mereka akan senang melihatmu," ucap Budi.
"Aku merindukan Mereka. Aku ingin meminta maaf karena apa yang terjadi padaku pasti membuat mereka khawatir," ucap Arhan dengan nada menyesal.
"Lalu, kapan kamu akan berangkat, Han?" tanya Budi.
"Besok pagi. Aku ingin berangkat pagi-pagi sekali, agar aku bisa sampai di sana sebelum siang," jawab Arhan.
"Baiklah. Aku akan mengantarmu ke terminal," kata Budi.
"Tidak perlu, Bud. Kamu kan juga harus kerja. Maaf aku pasti merepotkanmu," ucap Arhan.
"Repot apaan, sih? Nganterin kamu ke terminal kan gak butuh waktu lama juga. Setengah jam sampai. Lagian mau kerja apa? Kamu lupa, kalau besok itu hari Minggu?”
Arhan tersenyum. "Ya Allah, aku sampai lupa hari." Arhan menepuk keningnya sendiri. “BTW, makasih, ya, Bud. Kamu memang sahabat terbaikku," ucap Arhan, merasa terharu dengan perhatian Budi.
Malam itu, Arhan tidak bisa tidur nyenyak. Ia terus memikirkan ibunya dan adiknya. Berguling ke sana ke sini, tersenyum sendiri membayangkan terkejutnya sang ibu, Kak Arum, dan Rina.
.
Keesokan paginya, Arhan bersiap untuk berangkat ke rumah orang tuanya diantar oleh Budi.
“Oh, iya, Bud. Aku pergi ke suatu tempat dulu sebelum ke terminal, kamu keberatan, gak?" tanya Arhan yang sudah mencangklong tas ranselnya. Kopernya ia tinggal di rumah Budi, karena beberapa hari lagi dia juga akan kembali.
Budi yang baru saja mencolokkan kontak mobilnya menoleh dengan kening berkerut. "Mau ke mana dulu, kamu? Searah dengan terminal, gak?"
“Mau ke showroom yang ada di jalan Pemuda.” Arhan menjelaskan tujuannya.
"Kamu mau beli mobil? Uangmu kan mau buat modal usaha dulu, Han. Kamu bisa pakai mobilku yang satunya saja kalau mau ke mana-mana."
Budi tampak keberatan dengan niat Arhan. Uang arhan saat ini memang banyak. Tapi arhan juga butuh modal banyak buat beli lahan yang akan digunakan untuk tempat usaha, dan juga untuk segala keperluan lainnya.
“Yang mau beli mobil siapa?”
"Lantas?”
"Sudah, jalan aja! Nanti kamu juga bakalan tahu,” ucap Arhan sambil memasang sabuk pengaman.
Mendengus kesal, akhirnya Budi melajukan mobilnya menahan rasa penasaran. Toh nanti juga akan tahu.
*
Sesampai di showroom, Budi mengekor di belakang Arhan.
“Saya berniat menghentikan angsuran mobil saya atas nama Nurmala," ucap Arhan pada pegawai showroom. Tangannya menyodorkan berkas-berkas perjanjian kredit mobil dua tahun yang ia ambil dua tahun lalu.
Budi yang berada di sampingnya terbelalak dengan mulut terbuka lebar. Kini ia tahu apa yang direncanakan oleh sahabatnya.
"Lho, Mas. Apa tidak sayang? Angsuran sudah berjalan dua tahun? Bagaimana kalau saya akan memberi keringanan untuk pembayarannya." Pegawai tersebut mencoba membujuknya
"Tidak perlu, Mas. Lagi pula, saya sudah menunggak angsuran selama dua bulan. Jadi, silakan ambil kembali mobil itu," kata Arhan dengan tegas. Ia benar-benar mantap dengan apa yang dilakukannya.
"Baiklah, nanti saya akan segera mengirim orang ke lokasi untuk mengambilnya," ucap pegawai tersebut.
Arhan menuliskan alamat Nurmala dan memberikannya kepada petugas tersebut. “Kalau begitu, kami permisi, Mas," pamit Arhan.
"Tunggu, Mas!” cegah petugas sebelum Arhan beranjak.
"Ya…?" Farhan yang hendak membalikkan punggungnya, urung, mendengar seruan petugas tersebut.
“Eng… begini. Maaf sebelumnya kalau pemikiran saya ini lancang. Jika misalnya, mobil itu nanti sudah kembali ke tangan kami, apakah anda bersedia melanjutkan angsurannya?”
“Maksudnya?" Arhan mengeryit tidak mengerti.
"Melanjutkan angsuran dengan mengubah kepemilikan mobil menjadi atas nama Mas sendiri. Mengingat ketertiban Anda dalam membayar angsuran selama dua tahun ini, kami bisa melakukan itu untuk Anda. Kami juga bisa memberikan perpanjangan waktu masa angsuran.”
Arhan menoleh ke arah Budi meminta pertimbangan, tetapi Budi hanya mengangkat kedua barunya menyerahkan segala keputusan kepada Arhan.
“Untuk saat ini saya belum berpikir ke arah sana. Tapi akan saya pikirkan nanti tapi akan saya pikirkan nanti. Karena untuk saat ini ada yang lebih penting untuk saya urus," putus Arhan.
"Baiklah,” jawa petugas. "Saya akan menunggu kedatangan Mas.”
Arhan mengangguk lalu kembali berpamitan diiringi oleh Budi yang berjalan di sampingnya.
"Selamat menikmati hari-harimu yang menyenangkan, Mantan," gumam Arhan lirih.
"Wahhh, Han. Kamu benar-benar daebak,” seru Budi ketika mereka telah kembali berada di dalam mobil dan tengah melaju.
"Enggg… ?" Arhan tidak mengerti apa yang dimaksud oleh sahabatnya itu.
“Aku bahkan tidak bisa membayangkan Bagaimana wajahmu Nurmala ketika mobilnya ditarik oleh dealer." Budi tertawa terbahak-bahak.
Arahan hanya tersenyum mendengar tawa Budi yang seolah ikut merayakan penderitaan Nurmala.
Mobil yang dikendarai oleh Budi sampai juga di terminal. Dengan mantap, Arhan menjejakkan kakinya di atas undakan setelah berpelukan sebentar dengan Budi. Budi melambaikan tangan hingga bus itu menghilang dari pandangan.
Selama perjalanan, jantung Arhan berdebar kencang. Ia sudah tidak sabar untuk bertemu denan keluarganya dan memeluk mereka erat-erat.
*
*
*
Sementara itu, di tempat lain, Fadil dan Nurmala sedang dilanda kebingungan. Mereka tidak tahu harus berbuat apa setelah kehilangan rumah. Apalagi dengan situasi restoran yang sedikit kacau pagi itu.
Restoran mereka mulai mengalami penurunan omzet yang signifikan. Banyak pelanggan yang beralih ke restoran lain. Gara-gara isu yang beredar di media.
"Apa mungkin ini ulah Mas Arhan?" gumam Nurmala.
Fadil berdecak kesal mendengar asumsi Nurmala. “Kamu menganggap dia terlalu tinggi. Memangnya dia bisa melakukan hal-hal seperti ini? Apa yang terjadi pada kita hanya bisa dilakukan oleh seorang hacker profesional.”
Nurmala mengangguk, “Iya juga ya? Tapi Siapa yang melakukan ini? Kenapa dia begitu tega melakukan ini pada kita?"
"Mungkin orang yang sirik dengan kesuksesan kita,” ucap Fadil.
Keduanya terus bergulat dengan asumsi masing-masing, tanpa mengetahui sesaat lagi mereka akan mendapatkan kejutan yang lebih besar.
Gusti mboten sare...
orang tua macam apa seperti itu...
membiarkan anaknya melakukan dosa...🤦♀️🤦♀️🤦♀️🤦♀️
bukan malah menyalahkan org lain..
wah..minta dipecat dg tidak hormat nih istri...