NovelToon NovelToon
Kepincut Ustadz Muda: Drama & Chill

Kepincut Ustadz Muda: Drama & Chill

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Enemy to Lovers
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Ayusekarrahayu

Maya, anak sulung yang doyan dugem, nongkrong, dan bikin drama, nggak pernah nyangka hidupnya bakal “dipaksa” masuk dunia yang lebih tertib—katanya sih biar lebih bermanfaat.

Di tengah semua aturan baru dan rutinitas yang bikin pusing, Maya ketemu Azzam. Kalem, dan selalu bikin Maya kesal… tapi entah kenapa juga bikin penasaran.

Satu anak pembangkang, satu calon ustadz muda. Awalnya kayak clash TikTok hits vs playlist tilawah, tapi justru momen receh dan salah paham kocak bikin hari-hari Maya nggak pernah boring.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayusekarrahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 22 Peran baru

Sore mulai beranjak menuju malam. Di langit, warna jingga memudar menjadi ungu kebiruan. Angin pesantren Nurul Hikmah berembus lembut membawa aroma sejuk dan wangi bunga mawar dari taman kecil di samping masjid.

Azzam baru saja selesai melipat kain sarungnya, lalu menaruhnya di atas rak. Ia duduk di dekat sang ayah yang kini juga tengah duduk sembari menyesap secangkir teh hangat.

Lalu Ustadzah Uhaira datang dengan membawa nampan berisikan beberapa potong roti. Ia lalu ikut duduk sembari memijat bahu sang suami.

Sesaat suasana kembali sunyi, semua terdiam menikmati kudapan sore. Hingga suara dering handphone berbunyi,memecah keheningan yang sempat terasa.

Azzam segera mengambil benda pipih miliknya itu,"Bah, pak Arman yang menelepon, mungkin ada hal penting."

Kiai Bahar mengambil alih handphone itu lalu mengangkat telponnya,"Assalamualaikum Arman, ini dengan saya Bahar."

"Waalaikumsalam Bahar, maaf apa aku mengganggu waktumu," Suara pak Arman terdengar jelas dari balik sana.

"Ah tentu saja tidak Arman, ada apa? tumben menghubungi di akhir bulan begini," Kiai Bahar kembali berbicara.

"Ah iya, sebelumnya dana sudah aku kirimkan ke rekening pesantren Nurul Hikmah, bisa di cek sudah ada atau belum," Tambah pak Arman.

"Terima kasih banyak Arman," Kiai Bahar tersenyum kecil.

"Ah iya tak apa, begini minggu depan aku berencana untuk melakukan sosialisasi program bisnis baru ku di pesantren Nurul Hikmah, bagaimana menurutmu?," Nada suaranya terdengar tegas.

"Tentu saja, itu sangat bagus datang saja, seperti biasa nanti kita buat acara kecil-kecilan disini, kami pasti mendukung," Ujar Kiai Bahar.

"Oh ya satu lagi, sekaligus aku akan menjenguk Maya, bagaimana perkembangan putriku itu," Tanya pak Arman.

Kiai Bahar menatap Azzam, Azzam yang mengerti langsung membuka suaranya,""Alhamdulillah, Pak Arman. Putri Bapak menunjukkan banyak perubahan. Maya memang agak berbeda dari santri lain, tapi dia punya semangat dan rasa ingin tahu yang tinggi," ujar Azzam dengan nada tenang dan sopan.

Kiai Bahar mengangguk pelan, menatap putranya dengan senyum tipis.

“Betul kata Azzam, Arman. Maya punya karakter kuat. Hanya saja, butuh sedikit bimbingan agar energinya bisa tersalurkan ke arah yang tepat,” tambahnya lembut.

Dari seberang telepon, terdengar suara tawa kecil Pak Arman, “Haha, iya… anak itu memang keras kepala. Sama seperti waktu kecil, kalau sudah maunya satu hal, susah sekali dialihkan. Tapi jujur, aku senang mendengar kabar baik ini.”

“Insya Allah, Arman. Maya sedang kami arahkan untuk lebih aktif dalam kegiatan keagamaan dan sosial. Bahkan,” Kiai Bahar menatap Azzam sejenak sebelum melanjutkan, “aku berencana menugaskan Azzam untuk melatih Maya menjadi pembaca tilawah dan pembuka acara dalam kegiatan sosialisasi yang akan kamu adakan nanti.”

Azzam sempat menoleh cepat, agak terkejut tapi tidak menolak.

“Insya Allah, Bah… saya siap membimbing Maya,” ucapnya mantap.

Pak Arman terdengar puas, “Itu ide bagus, Bahar. Aku ingin melihat sendiri sejauh mana perubahan anakku. Kalau dia bisa berdiri di depan banyak orang dan membaca dengan percaya diri, mungkin aku akan percaya… pesantrenmu memang tempat terbaik untuknya.”

Nada suaranya terdengar lebih lembut di akhir kalimat itu.

Kiai Bahar tersenyum, “Amin. Mudah-mudahan begitu. Datang saja minggu depan, Arman. Kami akan siapkan acara yang sederhana tapi berkesan.”

“Baiklah, Bahar. Terima kasih banyak. Sampaikan salamku untuk Azzam dan ustadzah Uhaira. Insya Allah, kita bertemu minggu depan.”

“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” balas Kiai Bahar sambil menutup teleponnya.

Suasana kembali tenang sejenak. Hanya suara jangkrik dari luar yang terdengar mengiringi malam yang mulai turun.

Ustadzah Uhaira menatap suaminya lembut. “Jadi, Maya akan dilatih Azzam untuk tampil di depan umum?"

Kiai Bahar mengangguk pelan, “Iya. Aku ingin Pak Arman melihat sendiri bahwa Maya bisa berubah tanpa kehilangan jati dirinya.”

Azzam menghela napas pelan, menatap secangkir teh di depannya yang kini mulai mendingin.

Dalam hatinya, ia sadar tugas itu bukan hanya sekadar pelatihan,melainkan ujian baru bagi dirinya sendiri.

Ustadzah Uhaira tersenyum samar, “Kalau begitu, semoga Allah memudahkan, Azzam. Anak itu memang berbeda, tapi aku yakin… dia punya cahaya yang hanya butuh bimbingan untuk bersinar.”

Azzam menatap ibunya, lalu tersenyum kecil.

“Insya Allah, Umi. Saya akan coba bimbing dia dengan sabar.”

Langit malam kian gelap.

Di pesantren Nurul Hikmah, udara mulai dingin, namun dalam diam itu… seseorang baru saja ditakdirkan untuk membuka babak baru dalam perjalanan mereka masing-masing.

...****************...

Keesokan harinya, selepas kegiatan pagi dan hafalan juz amma, para santriwati dikumpulkan di aula kecil pesantren Nurul Hikmah. Di depan, Azzam berdiri dengan membawa selembar kertas dan papan tulis kecil. Suasana agak ramai, sebagian santriwati tampak penasaran,terutama karena mereka tahu akan ada yang dipilih untuk tampil di acara sosialisasi pekan depan.

“Baik, anak-anak,” suara Azzam terdengar tenang tapi berwibawa. “Kiai Bahar meminta kita menyiapkan perwakilan untuk pembacaan tilawah dan pembukaan acara. Ini bukan hanya tugas biasa, tapi kesempatan untuk menunjukkan bahwa santri Nurul Hikmah bisa tampil percaya diri dan berakhlak.”

Santriwati berbisik-bisik kecil, dan sebagian menatap ke arah depan dengan antusias.

Azzam melanjutkan, “Saya akan menunjuk seseorang untuk mulai latihan sejak hari ini.”

Ia menelusuri wajah para santriwati satu per satu… hingga matanya berhenti pada satu sosok yang sedang asyik menggambar di pojok meja, Maya.

“Maya,” panggil Azzam datar tapi jelas.

Gadis itu spontan mengangkat kepala, ekspresinya bingung.

“Ha? Saya, Ustadz?”

“Iya, kamu. Saya ingin kamu yang membawakan pembukaan acara minggu depan.”

Maya yang semula duduk tegak langsung terbatuk pelan. “Eh, maksudnya saya, Ustadz? Yang ngomong di depan orang banyak? Yang disorot? Diliatin semua orang?”

Azzam menahan senyum. “Iya. Kenapa, ada keberatan?”

“Bukan gitu, Ustadz…” Maya menggaruk kepala yang tidak gatal. “Saya tuh bukan tipe yang bisa ngomong anggun kayak MC. Suara saya cempreng, gestur saya heboh, belum lagi kalau gugup bisa-bisa saya malah nyengir di depan orang penting. Beneran deh, itu bukan bidang saya.”

Beberapa santriwati menahan tawa, sementara Nadia yang duduk tidak jauh dari situ tersenyum halus, tampak yakin bahwa tugas itu akan beralih padanya.

Azzam hanya mengangguk pelan. “Baik. Kalau begitu, mungkin saya akan minta Nadia saja yang membawakannya.”

Suasana langsung berubah.

Maya spontan mendongak dengan wajah terkejut, ada rasa tek rela jika seniornya itu yang menggantikkannya.“Loh?! Tunggu dulu, Ustadz!”

Azzam menatapnya datar tapi matanya menyiratkan rasa ingin tahu. “Kenapa? Bukankah kamu menolak?”

Maya berdiri cepat, tangannya mengepal kecil di depan dada.

“Bukan nolak, Ustadz! Cuma… yaa… saya tadi itu cuma lagi tes air aja! Maksudnya, saya siap kok! Siap banget malah?” katanya cepat, matanya membulat semangat sembari melirik sedikit ke arah Nadia yang tengah menatapnya tajam.

Santriwati lain langsung tertawa pelan, sementara Azzam menunduk sejenak menahan tawa sebelum kembali bersuara tenang, “Oh, begitu? Jadi kamu siap?”

“Siap, Ustadz!”

Suaranya tegas,mungkin terlalu tegas sampai-sampai Sinta yang duduk di belakang berbisik geli, “Kalau kayak gitu, aku yakin mic-nya langsung pecah sebelum acaranya mulai.”

Azzam hanya menggeleng kecil sambil tersenyum samar.

“Baiklah, kalau begitu kita mulai latihan sore ini. Saya ingin kamu belajar bagaimana berbicara dengan tenang, jelas, dan percaya diri. Tidak perlu meniru orang lain, cukup jadi dirimu sendiri, tapi dengan adab.”

Maya mengangguk mantap. “Siap, Ustadz! Diriku sendiri versi sopan dan beradab, gitu kan?”

Azzam menahan tawa lagi. “Kurang lebih begitu.”

Sementara itu, Nadia yang sejak tadi menonton dari barisan depan menunduk perlahan.

Wajahnya masih tersenyum, tapi matanya menyimpan kilatan halus, antara tersinggung dan tidak rela.

Rita yang duduk di sampingnya berbisik, “Yah, kayaknya harapan kamu pupus, Nad.”

Nadia menarik napas pelan, lalu berkata dengan nada datar, “Santai saja, Rit. Kita lihat nanti… apakah Maya benar-benar bisa tampil sebaik ucapannya.” Matanya menatap remeh ke arah Maya yang kini juga tengah menatapnya intens.

.

.

✨️ Bersambung ✨️

1
Ayusekarrahayu
Ayooo bacaa di jaminnn seruuu
Rian Ardiansyah
di tunggu kelanjutannya nyaa kak
Tachibana Daisuke
Bikin syantik baca terus, ga sabar nunggu update selanjutnya!
Ayusekarrahayu: sudah up ya kak
total 1 replies
Rian Ardiansyah
ihh keren bngtttt,di tungguu kelanjutan nyaaaa kak😍
Ayusekarrahayu: makasiii😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!