Sejak bayi, Eleanor Cromwel diculik dan akhirnya diasuh oleh salah satu keluarga ternama di Kota Olympus. Hidupnya tampak sempurna dengan dua kakak tiri kembar yang selalu menjaganya… sampai tragedi datang.
Ayah tirinya meninggal karena serangan jantung, dan sejak itu, Eleanor tak lagi merasakan kasih sayang dari ibu tiri yang kejam. Namun, di balik dinginnya rumah itu, dua kakak tirinya justru menaruh perhatian yang berbeda.
Perhatian yang bukan sekadar kakak pada adik.
Perasaan yang seharusnya tak pernah tumbuh.
Di antara kasih, luka, dan rahasia, Eleanor harus memilih…
Apakah dia akan tetap menjadi “adik kesayangan” atau menerima cinta terlarang yang ditawarkan oleh salah satu si kembar?
silahkan membaca, dan jangan lupa untuk Like, serta komen pendapat kalian, dan vote kalau kalian suka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Asap tipis keluar dari kap mesin SUV yang ringsek menabrak tiang reklame. Dominic berhasil mendorong pintu dengan bahunya, tubuhnya goyah saat jatuh ke aspal. Darah menetes dari pelipis, tapi rasa sakit itu nggak ada apa-apanya dibanding paniknya.
“Daniel! Bella!” teriaknya serak, setengah gila.
Ia berlari ke sisi depan. Daniel masih terjepit di balik dasbor penyok, napasnya berat, wajah pucat, tapi matanya terbuka.
Daniel lemah, menahan sakit. “Dom, kau harus tetap tenang.”
“Tenang apaan!” Dominic hampir menangis sambil berusaha tarik pintu. “Kau kejepit, kak! Gue harus tarik lo keluar!”
Daniel meringis, keringat dingin mengalir. “Jangan… kakiku… kakiku nggak bisa digerakkan.”
Dominic maksa, tapi tangannya berdarah kena logam bengkok. Napasnya memburu, paniknya makin menjadi. Ia buru-buru lari ke kursi belakang.
“Bella!”
Gadis itu pingsan, kepalanya bersandar dengan darah tipis di pelipis. Dominic mengguncang tubuhnya, suara pecah.
“Bella, bangun! Bangun Begoo! Astaga Bella, bangun!”
Sementara itu, dari kejauhan, Rafael berdiri di balik bayangan. Helm hitam masih menutupi wajah, pistol di tangannya mantap. Tatapannya lurus ke mobil penculik yang makin menjauh. Rahangnya mengeras. Ia tahu bisa ngejar, tapi sekilas pandang ke SUV yang hancur bikin dilema.
Dengan helaan napas panjang, ia memilih kabur. Tubuhnya lenyap masuk ke gang kecil tepat saat sirene polisi makin mendekat.
Dominic mendengar bunyi itu, matanya liar, teriak ke arah lampu merah-biru yang muncul.
“Cepet tolong mereka! Cepet! Kenapa lo semua baru dateng sekarang, hah?!”
Tim medis segera bergerak. Bella diangkat hati-hati ke tandu, Daniel digotong setelah berhasil dilepaskan dari jeratan dasbor. Daniel meringis keras, napas terputus-putus.
“Kaki kanan Tuan Muda patah,” kata salah satu paramedis. “Harus segera ke rumah sakit.”
Dominic hanya bisa berdiri kaku, tubuhnya penuh luka tapi nggak peduli. Pandangannya kosong, dadanya naik-turun cepat. Dunia seperti runtuh di depannya.
---
Ruang tunggu rumah sakit penuh aroma obat-obatan dan cahaya lampu putih yang menusuk. Dominic mondar-mandir, tangannya berulang kali meremas rambutnya sendiri.
“Gue bego! Kenapa gue biarin ini semua kejadian?! Gue harusnya bisa jaga dia, tangannya gue genggam loh dan!” suaranya pecah, penuh marah.
Daniel berbaring di ranjang dengan kaki kanan diperban dan penopang sementara. Meski wajahnya pucat, ia masih berusaha tenang.
“Dom, berhenti menyalahkan dirimu sendiri,” ujarnya pelan. “Ini bukan salahmu. Mereka sudah merencanakan ini sejak awal, Kita saja yang tidak mengetahuinya sejak awal.”
Dominic menoleh dengan mata merah. “Gampang buat lo ngomong gitu, Dan! Lo nggak liat gimana Ela menghilang ketika lampu di ballroom itu mati! Gue… gue biarin dia keambil gitu aja!”
Daniel menarik napas dalam. “Aku juga gagal. Kita berdua gagal.”
Ucapan itu malah bikin Dominic ngamuk. Ia nendang kursi di dekatnya sampai mental ke dinding. Perawat menoleh, tapi nggak ada yang berani campur tangan.
Di ruang rawat lain, Bella mulai sadar. Kepala diperban, wajah pucat. Matanya terbuka samar, mencari sosok yang dikenalnya.
“Kak Daniel… kak Dominic…” suaranya serak.
Daniel menoleh, berusaha tersenyum meski hatinya remuk. Dominic mendekat cepat.
“Bella, lo jangan banyak gerak dulu bego.”
Bella menggigit bibirnya, lalu suara kecil keluar, bergetar, “Lala… di mana Lala, kak?”
Dominic terdiam. Bibirnya terbuka, tapi nggak ada suara. Daniel memejamkan mata, memilih diam.
Begitu hening itu jatuh, Bella langsung nangis, air matanya mengalir deras di pipi pucat. “Tolong… tolong cari dia, kak… dia sahabat gue…”
Di luar gedung, kilatan kamera wartawan berulang kali menyala. Puluhan media sudah berkumpul, headline besar mulai bertebaran: “Putri Cromwell Hilang Diculik di Tengah Pesta”.
Sementara itu, di sebuah tempat jauh dari kota…
Elanor tersadar perlahan. Kepala terasa berat, denyutnya menusuk seperti habis dihantam benda keras. Pandangannya kabur sesaat, tapi begitu sedikit fokus, jantungnya langsung berdegup kencang.
Tangan dan kakinya terikat erat ke kursi besi berkarat, tali kasar menggesek kulit pergelangan sampai perih. Mulutnya dibekap selotip abu-abu, menyisakan rasa getir lem yang menusuk lidah.
Ia menarik napas dalam-dalam lewat hidung, berusaha menenangkan diri. Suara di sekitarnya pelan tapi jelas, yaitu tetesan air dari pipa bocor yang menghantam lantai beton, dengung lampu neon tua di langit-langit, bau karat bercampur lembap yang menusuk hidung.
Elanor memaksa matanya meneliti ruangan. Dinding beton kusam, catnya mengelupas. Beberapa kotak kayu tua menumpuk di sudut. Tepat di depan, samar terlihat sosok berdiri, setengah tubuhnya tertelan bayangan. Ia tidak bergerak, hanya diam, seperti menunggu.
Dekat pintu besi, dua pria berbadan besar berjaga. Lengan mereka berotot, wajah dingin tanpa ekspresi. Senjata tersemat di pinggang mereka.
Elanor mencoba meronta, menegangkan tubuhnya, berharap ada simpul tali yang longgar. Tapi semakin keras ia berusaha, tali itu justru makin menancap ke kulitnya. Salah satu penjaga mendekat, bibirnya menyeringai miring.
“Percuma, Putri kecil,” ujarnya kasar, suaranya berat penuh ejekan. “Semua yang masuk ke sini nggak pernah keluar lagi dengan selamat.”
Elanor menatapnya balik. Mata hijaunya menajam, dingin, menusuk. Walaupun jantungnya berdegup kencang oleh rasa takut, wajahnya tidak menunjukkan gentar. Tatapan itu membuat penjaga itu mendengus kesal, bahkan hampir terpancing untuk menampar, sebelum sebuah suara tua berderak dari pengeras suara di sudut ruangan menghentikan langkahnya.
Suara itu parau, penuh wibawa, bercampur nada permainan berbahaya.
“Akhirnya kau di sini, Elanor Cromwell…”
Suara itu membuat bulu kuduk Elanor meremang. Lampu neon berkelap-kelip, bayangan di ruangan menari.
Elanor mengangkat wajahnya, menatap arah suara dengan amarah yang mendidih, meski di dalam hatinya ada ketakutan luar biasa. Tangannya mengepal di balik ikatan, tubuhnya tegang, seakan siap melawan meski tahu dirinya tak berdaya.
Langkah sepatu kulit terdengar mantap di lantai beton. Sosok itu bergerak perlahan mendekat, melewati cahaya lampu neon yang berkelap-kelip. Elanor memicingkan mata, berusaha melihat lebih jelas. Tubuhnya tinggi, atletis, bahunya bidang, gerakannya tenang tapi mengintimidasi.
Ketika akhirnya wajahnya masuk ke dalam cahaya, Elanor menahan napas. Separuh wajahnya tertutup topeng hitam pekat yang menutupi hidung hingga ke atas dahi, hanya menyisakan rahang tegas dan bibir tipis yang tertekuk datar.
Tanpa sepatah kata pun, pria itu menjangkau wajah Elanor. Tangannya kasar, dingin, dan penuh tekanan saat merobek selotip di mulutnya. Elanor meringis, kulitnya perih. Napasnya terengah, akhirnya bisa bernapas lega meski sakit masih terasa.
Pria itu menunduk sedikit, menatapnya tajam dari balik topeng. Suaranya dalam, bergemuruh, dengan nada menghina.
“Cepat atau lambat… kau akan berakhir sama seperti ayahmu yang bodoh itu.”
Jantung Elanor mencelos. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada ikatan di tubuhnya. Tapi bukannya tunduk, api dalam dirinya malah menyala. Dengan tatapan penuh amarah, ia mencondongkan tubuhnya sejauh yang bisa, lalu cuih~, Dia meludah tepat ke wajah pria bertopeng itu.
Tetesan liur menetes di pipinya.
Pria itu terdiam sejenak, lalu… terkekeh. Tawa rendah, dingin, dan justru semakin membuat Elanor muak. Ia mengusap wajahnya dengan punggung tangan, lalu berbalik tanpa emosi.
“Semoga betah,” katanya datar, seakan ancaman itu hanya sapaan ringan.
Dengan satu gerakan tangannya, dua penjaga yang tadi berdiri di pintu ikut bergerak. Pintu besi berderit saat terbuka, langkah-langkah berat bergema keluar ruangan.
Brak!
Pintu itu tertutup kembali.
Kini Elanor sendirian. Terikat, tubuhnya sakit, tapi matanya tetap menyalakan api perlawanan. Sunyi ruangan hanya diisi tetesan air dan dengung lampu neon.
Namun di balik sunyi itu, pikirannya berputar cepat. Siapa orang itu? Apa hubungannya dengan ayahnya? Dan… apa sebenarnya yang akan mereka lakukan padanya?
Di sisi lain kota, Rafael sudah mengganti pakaian. Kemeja formal dan jas rapinya berganti dengan kaus hitam lengan panjang, celana taktis, dan sepatu tempur ringan. Tubuhnya yang tegap bergerak tenang, penuh disiplin.
Apartemen sederhananya tampak biasa saja dari luar. Namun di dalam, tepat di balik lemari pakaian kayu tua, terdapat pintu rahasia. Rafael menekannya perlahan, pintu itu bergeser, membuka jalan menuju sebuah ruangan tersembunyi.
Lampu otomatis menyala. Ruangan itu penuh dengan rak senjata, kotak-kotak logam, dan meja kerja yang rapi. Aroma khas oli senjata langsung menusuk hidung. Rafael berjalan mantap menuju laci besi, membuka salah satunya, dan menarik keluar sebuah laptop hitam tipis dengan logo khusus di punggungnya.
Sambil menyalakan laptop itu, ia mengambil telepon satelit dari sisi meja. Jarinya menekan nomor yang jelas sudah dihafalnya di luar kepala.
“Perintahkan semuanya untuk bergerak,” katanya datar namun penuh tekanan. “Dan berikan aku info tentang plat nomor mobil sedan yang kabur tadi. Gunakan semua cara—kamera jalan, CCTV toko, satelit kalau perlu. Tangkap plat nomor itu.”
Di seberang, suara laki-laki terdengar cepat, profesional.
“Siap, Tuan. Segera saya laksanakan.”
“Berikan aku semua info itu dalam waktu kurang dari lima belas menit,” Rafael menutup kalimatnya dengan dingin. Lalu klik, ia memutus sambungan.
Sejenak, ia hanya berdiri di sana. Nafasnya dalam, matanya tajam penuh kalkulasi. Kemudian pandangannya terhenti pada sebuah lemari kaca besar di sisi ruangan.
Rafael melangkah mendekat. Begitu pintu lemari terbuka, aroma baja dingin dan minyak senjata menyergap. Deretan senjata dari berbagai jenis tersusun rapi di dalamnya, seperti koleksi mahal namun juga mematikan.
Tanpa ragu, ia mengenakan rompi tipis anti-peluru, lalu menarik jas hitam anti-balistik yang dirancang khusus menempel di tubuhnya. Setelah itu, tangannya menyambar sebuah kacamata berteknologi tinggi, lensa transparan dengan HUD yang bisa memindai data dalam hitungan detik.
Lalu matanya tertuju pada dua benda yang seolah bersinar di bawah lampu ruangan. sepasang pistol SIG Sauer P226 hasil modifikasi pribadinya. Magazine diperbesar, grip diperhalus dengan ukiran kecil, dan slide dimodifikasi agar lebih senyap namun mematikan. Senjata itu bukan sekadar alat, tapi bagian dari dirinya.
Dengan gerakan otomatis yang sudah menjadi kebiasaan, Rafael mengokang keduanya, lalu memasukkannya ke dalam holster di pinggang dan paha.
Belum selesai. Tangannya bergerak lagi, kali ini mengambil sebuah senapan panjang, yaitu Barrett M82. Sniper raksasa itu dibongkarnya dengan cepat, setiap bagian dimasukkan ke dalam koper hitam kecil yang tampak ringkas tapi padat.
Klik. Koper itu pun terkunci rapat.
Rafael menutup lemari kaca, memutar tubuh, dan melangkah keluar dari ruangan tersembunyi itu. Pintu rahasia menutup kembali, menyamarkan keberadaannya seolah ruangan itu tak pernah ada.
Sesaat sebelum keluar dari apartemen, ia berhenti sejenak di depan pintu. Tatapannya tajam, dingin, penuh amarah yang disembunyikan.
“Bertahanlah, Elanor,” gumamnya lirih.
Lalu pintu terbuka. Rafael melangkah keluar, koper hitam di tangan, siap menyalakan perburuan.
Kembali Ke rumah saki., rumah sakit pada malam itu penuh dengan cahaya lampu neon putih yang dingin. Dominic berdiri gelisah di sudut ruang rawat, tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Daniel terbaring di ranjang dengan kaki kanan terikat penopang sementara, berusaha tetap tenang meski dalam hati pun ia sedang terbakar. Bella duduk di kursi plastik, wajah pucatnya penuh bekas air mata, tapi matanya tak bisa berhenti menatap ke arah pintu, seolah berharap Elanor akan masuk kapan saja.
Tiba-tiba, televisi kecil di pojok ruangan menyala. Tayangan berita darurat langsung memenuhi layar
“Putri dari keluarga Cromwell, Elanor Cromwell, dilaporkan hilang setelah serangan mengejutkan di Hotel Eden malam ini. Sang ibu, Cassandra Cromwell, muncul di depan media, menyampaikan kesedihannya yang mendalam…”
Layar berganti. Cassandra tampak anggun dengan gaun hitam, wajahnya penuh air mata yang terlihat begitu meyakinkan. Dengan suara bergetar, ia berkata di depan kamera,
“Anakku… Elanor… tolong kembalilah… Ibumu ini sangat khawatir… siapa pun yang membawa putriku, tolong lepaskan dia… jangan sakiti dia…”
Air mata Cassandra jatuh, tangannya menutupi wajahnya seolah-olah ia benar-benar hancur. Kamera menyorotinya lama, membuat setiap orang yang menonton bisa merasakan penderitaannya.
Namun, bagi Dominic, itu bukan air mata seorang ibu. Itu topeng. Itu sandiwara.
“Drama lo semua,” gumamnya lirih, penuh racun.
Tubuhnya menegang. Dan sebelum Daniel sempat bicara,
BRAK
!Dominic meraih vas bunga di meja samping dan melemparkannya ke arah televisi. Kaca pecah berantakan, suara tayangan terputus. Shard pecahan jatuh berserakan di lantai.
“Cukup! Gue muak sama semua kepalsuan itu!” Dominic berteriak, dadanya naik turun.
Suasana hening sejenak. Hanya suara napas berat Dominic yang terdengar. Daniel ingin menegur, tapi justru rasa sakit di dadanya ikut naik. Ia tahu kalau Dominic benar.
Tiba-tiba ding!, suara notifikasi ponsel. Dominic menoleh ke meja. Ponselnya bergetar, layar menyala. Nomor tak dikenal.
Dengan alis berkerut, dia membuka pesan itu.
Sebuah peta digital muncul. Titik merah berkedip di sebuah lokasi terpencil di pinggiran kota. Namun yang membuat darahnya mendidih adalah ikon kecil di atas titik itu, ada stiker wajah Elanor, tersenyum, seolah sedang mengejek.
Dominic membeku sesaat. Lalu amarahnya meledak.
“ELANOR!!” teriaknya, dan tanpa pikir panjang, dia berlari keluar ruangan.
“Dominic! Tunggu!” Daniel mencoba bangkit, tapi kakinya menjerit sakit. Dia menunduk, frustasi.
Belum sempat dia mencari cara, ding!, ponselnya juga bergetar. Pesan sama. Lokasi. Stiker wajah Elanor.
Daniel menatap layar itu lama. Tubuhnya bergetar.
Tak jauh dari situ, Bella yang masih lemah juga mendengar bunyi ponselnya. Dengan tangan gemetar, dia mengambilnya dari saku jas medisnya. Layar menampilkan pesan identik. Lokasi. Stiker wajah Elanor.
Mata Bella membesar. Bibirnya bergetar. “Kak… ini… ini apa maksudnya…”
Daniel hanya bisa menatap layar ponselnya, matanya penuh amarah dan ketidakpastian. Dominic sudah menghilang entah ke mana.
mirip kisah seseorang teman ku
air mata ku 😭