Seorang pria modern yang gugur dalam kecelakaan misterius terbangun kembali di tubuh seorang prajurit muda pada zaman perang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
"Jangan tembak!" teriak Surya lantang: "Itu orang kita sendiri!"
Sebenarnya, Surya sendiri tidak yakin apakah benar orang itu bagian dari pasukannya. Namun di tengah gelap dan hujan gerimis malam itu, hanya ada satu sosok berlari tergesa menuju parit pertahanan. Mustahil tentara Belanda sebodoh itu, menyerbu sendirian ke garis pertahanan pasukan republik.
Refleks Surya bisa dibilang menyelamatkan nyawa orang itu. Sebab kebanyakan pejuang di pos pertahanan hanyalah pemuda baru yang gugup, tangan mereka kaku mencengkeram senapan, siap melepaskan peluru kapan saja. Sedikit saja ada yang panik, bisa-bisa rentetan tembakan liar memutus nyawa siapa pun yang mendekat.
Namun karena peringatan Surya datang tepat waktu, para pejuang menahan diri dan tidak menembak.
"Siapa itu?!" teriak Pak Purwanto, salah satu komandan lapangan, dari balik lubang perlindungan.
Sosok itu tidak menjawab. Atau mungkin suaranya terlalu lemah tertelan hujan deras. Ia berlari beberapa langkah lagi, lalu terhuyung dan jatuh tersungkur ke tanah yang becek.
Pak Purwanto segera memberi aba-aba, dua pejuang merangkak cepat keluar parit, menarik tubuh itu ke dalam perlindungan. Terdengar beberapa kali letusan senapan dari arah lawan, namun peluru meleset, tertahan kabut dan derasnya hujan.
Begitu sampai di dalam, terlihat jelas: itu seorang anak muda, berseragam pejuang republik, wajahnya pucat, hampir pingsan karena kelelahan.
"Siapa kamu?" tanya Pak Purwanto cepat.
"Aku… dari peleton militer Resimen Infantri 3," jawab anak itu terengah. "Namaku Putra, aku membawa pesan dari Komandan Zulfan di markas pusat!"
"Pesan dari Komandan Zulfan?" Surya tercengang mendengarnya. Ia pikir inilah kabar yang ditunggu-tunggu semua orang.
Namun dugaannya ternyata keliru…
Dengan suara lemah, Putra menyampaikan pesan itu kepada Mayor Wiratmaja:
"Jam tujuh malam ini, begitu suar merah ditembakkan tiga kali, seluruh pasukan harus keluar ke arah utara secara serentak!"
Mayor Wiratmaja seketika berdiri tegap, wajahnya penuh semangat. Tanpa pikir panjang ia langsung memerintahkan,
"Semua bersiap! Kita keluar malam ini juga!"
Suara perintah itu menggema di sepanjang parit. Para pejuang terkejut, tapi mereka mengikuti aba-aba. Surya hanya bisa terdiam. Meskipun ini yang diharapkannya sejak lama, ia juga menyadari betapa berbahayanya keputusan itu.
"Bagaimana kalau bala bantuan tidak datang?" bisik seorang pejuang dengan nada ragu.
"Kemarin katanya, asal kita bertahan sampai pagi, pasukan bantuan pasti tiba…"
"Benar! Bahkan belum tentu malam ini ada yang datang menolong kita!"
Keresahan menyebar cepat di antara pasukan. Hal yang paling ditakutkan tentara adalah ketidakpastian. Janji-janji kosong hanya akan mengguncang semangat juang.
Surya sadar, inilah akibat dari perkataan Mayor Wiratmaja semalam. Ia terlalu dini menjanjikan bala bantuan yang belum pasti. Seperti kata pepatah: semakin besar harapan, semakin dalam pula kekecewaan ketika tak terpenuhi.
Benar saja, bisik-bisik mulai beredar di kalangan para pejuang:
"Jangan percaya lagi, tak akan ada bantuan datang! Apa yang Belanda teriakkan lewat pengeras suara itu ada benarnya. Mereka sudah mengepung Yogya, kita tak punya harapan! Mayor hanya menghibur kita dengan kebohongan agar mau bertahan!"
"Ini gila… Belanda ada di mana-mana. Keluar berarti mati konyol!"
Jika hanya ada satu atau dua orang yang berbisik menyebarkan keraguan, tentu masalah itu mudah diatasi. Instruktur bisa mendekati mereka, memberi penjelasan, atau menegur dengan keras sampai mereka diam.
Masalahnya, kali ini bukan hanya satu dua orang. Ada sekelompok pejuang yang mengeluh, mempertanyakan, bahkan terang-terangan meragukan janji bala bantuan. Jika semuanya ditangkap atau dipaksa diam, itu sama saja dengan merusak kekuatan sendiri seperti menusuk perut sendiri dengan senjata.
Menyadari situasi itu, Mayor Wiratmaja bergegas keluar dari lubang perlindungan menuju garis depan, berdiri di tengah pasukan yang gelisah. Hujan masih turun deras, suara tetesan air bercampur dengan detak jantung orang-orang yang dicekam rasa cemas.
“Kawan-kawan seperjuangan!” suara Mayor Wiratmaja lantang, meski sedikit bergetar. “Kalian semua tahu, rencana kita berubah. Malam ini kita akan keluar serentak menuju utara…”
Namun belum sempat ia melanjutkan, suara-suara keras memotong ucapannya.
“Kami ingin tahu yang sebenarnya, Mayor!” teriak seseorang dari barisan.
“Benarkah Belanda sudah mengepung kota ini?”
“Tidak ada bala bantuan, ya?”
“Apakah pasukan kita di luar Yogya sudah dikalahkan Belanda?!”
Wiratmaja terdiam sepersekian detik. Ia tidak menyangka para pejuang berani menyela perintahnya dengan pertanyaan penuh tuduhan. Tapi sebenarnya, ini hal yang wajar.
Di masa damai, para prajurit akan lebih patuh pada aturan, jarang ada yang berani menentang perwira langsung. Tapi di medan perang, apalagi ketika nyawa dipertaruhkan, semua orang berada di perahu yang sama. Mereka tidak lagi peduli dengan aturan atau tata tertib. Apa gunanya diam jika akhirnya mati? Lebih baik bicara, meski harus berhadapan dengan atasan.
Melihat situasi semakin panas, instruktur Joko yang berdiri di samping Mayor Wiratmaja tak bisa menahan diri. Ia meraih pistol di pinggang, lalu berteriak marah:
“Siapa yang memberi izin kalian bicara seperti itu?! Itu semua bohong yang disebarkan Belanda! Jangan mau dipecah-belah! Orang-orang yang menyebarkan keraguan itu adalah pengkhianat, antek Belanda! Dan kalian tahu itu!”
Suasana parit mendadak tegang. Para pejuang terdiam, tapi bukan karena yakin, melainkan karena marah. Beberapa dari mereka menggenggam senjata lebih erat, seakan siap meledakkan perasaan mereka kapan saja.
Surya, yang memperhatikan dari samping, sadar bahwa keadaan bisa meledak dalam hitungan detik jika salah satu pihak terpancing.
Setelah berteriak dengan pistol teracung, sang instruktur akhirnya bungkam. Tatapan puluhan pasang mata pejuang menyalak ke arahnya dengan marah. Di antara para pejuang, tak ada yang lebih dibenci selain instruktur politik yang kerjanya hanya menyuruh tanpa ikut menanggung risiko. Melihat sikapnya yang masih arogan di tengah suasana genting, wajar bila mereka tak tahan lagi.
Keadaan seperti ini bukan hal baru dalam perang. Di banyak front perlawanan, prajurit yang kehilangan harapan bisa saja berbalik arah, memberontak pada komandannya sendiri. Di pihak republik, rumor sering terdengar pasukan yang putus asa meninggalkan pos, ada pula yang menyerah lalu diperlakukan kejam oleh Belanda.
Kini di hadapan Surya, dua kubu seperti sedang saling berhadapan. Jika salah langkah, pemberontakan bisa pecah malam itu juga.
Surya menggeram dalam hati. Ia tahu, jika perpecahan benar-benar terjadi, itu sama saja dengan kiamat. Entah mati sia-sia di parit ini, atau ikut digiring Belanda sebagai tawanan. Dan nasib tawanan bukanlah sesuatu yang layak diharapkan: kelaparan, sakit, kerja paksa tanpa akhir.
Tanpa pikir panjang, Surya berdiri tegak di tengah ketegangan.
“Kawan-kawan!” suaranya keras menembus riuh. “Aku tahu situasinya!”
Seketika, semua mata beralih kepadanya.
Surya memang hanya seorang prajurit biasa. Namun statusnya istimewa. Ia dikenal sebagai orang yang berhasil menjatuhkan kendaraan lapis baja Belanda dengan granat rakitan beberapa waktu lalu. Namanya mulai disegani, dianggap pahlawan di kalangan anak muda Yogya.
Selain itu, ia pula yang sebelumnya menemukan dan membagi perlengkapan medis serta makanan hasil rampasan gudang Belanda, sehingga banyak pejuang berhutang budi padanya. Karena itulah, meski suasana mencekam, mereka masih mau mendengarkan kata-kata Surya.
“Kau tahu situasinya, Surya?” tanya salah seorang dengan nada penuh harap.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” desak yang lain.
Surya menatap Mayor Wiratmaja. Sang Mayor terdiam sesaat, lalu mengangguk kecil. Tidak ada pilihan lain, biarlah Surya yang bicara.
“Baik,” kata Surya lantang. “Kalian benar. Kita sudah terkepung. Pasukan Belanda berhasil masuk jauh ke jantung Yogya. Jangan harap ada bala bantuan malam ini!”
Kata-kata itu meledak bagaikan bom di tengah parit. Suara gaduh dan keluh kesah langsung pecah, sebagian besar tidak percaya telinganya.
Bahkan Mayor Wiratmaja pun sempat terperanjat. Ia tak menyangka Surya akan mengakuinya begitu terus terang, tanpa menutup-nutupi.