NovelToon NovelToon
Manuver Cinta

Manuver Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Balas Dendam / CEO / Dark Romance
Popularitas:393
Nilai: 5
Nama Author: _Luvv

Pernikahan tanpa Cinta?

Pernikahan hanyalah strategi, dendam menjadi alasan, cinta datang tanpa di undang. Dalam permainan yang rumit dan siapa yang sebenernya terjebak?

Cinta yang menyelinap di antara luka, apakah mereka masih bisa membedakan antara strategi, luka, dendam dan perasaan yang tulus?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Luvv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 22

“Lagi apa?” suara itu membuat Diandra menoleh cepat.

Lingga berdiri di belakangnya, sudah berganti pakaian santai. Kaos hitam polos dipadukan dengan celana panjang warna senada, membuatnya terlihat jauh lebih rileks dibanding biasanya yang selalu mengenakan jas rapi dan formal.

“Sedang menyesali keputusanku menikah denganmu,” balas Diandra asal, tanpa menatapnya.

Harusnya malam ini ia sudah tidur lebih awal. Tapi keberadaan pria asing yang ada di ruangan yang sama membuatnya canggung. Untuk mengalihkan rasa tidak nyaman, ia sibuk menekuni jurnal dan buku kesehatan di hadapannya.

Lingga terkekeh pelan. “Sudah terjadi, jadi terima saja,” ujarnya santai, lalu duduk di sebelah Diandra.

“Lo pikir gampang?” Diandra mendesah.

“Jangan pakai lo–gue, Diandra,” tegurnya cepat.

Padahal Diandra jarang sekali menggunakan bahasa itu. Sebagai dokter, ia terbiasa dengan tutur kata yang formal dan tertata. Mengubah gaya bicara bukanlah hal sulit baginya. Yang sulit adalah menghadapi sifat Lingga, selalu menyebalkan di matanya.

“Daripada kamu ganggu aku, mending tidur sana,” usirnya malas.

“Saya belum ngantuk.”

“Lingga! Please deh, aku lagi pengen sendiri.”

Lingga menoleh padanya, wajahnya tenang, tatapannya seperti tak tergoyahkan. “Saya tidak mengganggu kamu, Diandra. Lanjutkan saja aktivitas kamu itu.”

Diandra menghela napas panjang. Rasanya, untuk menghadapi pria ini ia harus menyimpan stok kesabaran dalam jumlah tak terbatas.

“Kalau begitu, kenapa nggak nonton film di kamar? Atau ngapain kek, gitu…”

Lingga malah terkekeh. Istrinya ini terlalu banyak cara untuk mengusirnya.

“Saya tidak suka menonton film. Saya lebih suka menonton kamu.”

Diandra mendengus kesal, pipinya tanpa sadar memanas. “Terserah.”

Diandra memilih mengabaikan keberadaan Lingga. Ia kembali menunduk, menekuri jurnal-jurnal yang menumpuk di hadapannya. Sebentar lagi ia akan mengambil spesialis, jadi ia harus belajar ekstra. Lagi pula, bagi Diandra belajar bukan sekadar kewajiban, itu sudah jadi hobinya.

Satu jam berlalu. Sunyi. Tak ada lagi suara gangguan dari Lingga. Hingga akhirnya, Diandra menoleh sekilas… dan hampir tersedak napasnya sendiri. Lingga duduk bersandar dengan tenang, matanya tak lepas menatapnya sejak tadi.

“Kenapa?” sergah Diandra sewot.

Lingga tersenyum tipis. “Saya suka lihat kamu kalau lagi serius belajar.”

Diandra mendengus, lalu menutup salah satu bukunya dengan keras. “Dan aku baru tahu, seorang Lingga Aditya Wijaya ternyata bisa buang-buang waktu hanya untuk menatap hal yang nggak penting.”

Siapa yang menyangka? Seorang Lingga yang dikenal gila kerja, yang hidupnya selalu diatur dengan jadwal ketat malam ini memilih ‘membuang waktu’ hanya untuk menatap istrinya yang sibuk belajar.

“Hal yang nggak penting?” ulang Lingga, mencondongkan tubuh sedikit.

Diandra mengangguk mantap.

Lingga menatapnya dalam, lalu berkata pelan, “Buat saya, kamu penting.”

Mata Diandra refleks berputar. Ucapan itu jelas mengganggu, tapi ia tidak bisa menyangkal ada sesuatu yang bergetar tipis di dadanya. Untuk pertama kalinya, Diandra merasa kalah dalam perdebatan kecil ini.

“Kamu beneran nggak ada kerjaan?” tanya Diandra lagi, berusaha menutupi rasa kikuk yang mulai menguasainya.

Lingga mengangkat sebelah alis, menatapnya dalam. “Kamu pengen banget saya kerja?”

Diandra buru-buru mengangguk, seolah itu jawaban paling masuk akal untuk membuat pria itu tidak ada di dekatnya.

Tiba-tiba Lingga bersandar sedikit ke depan, suaranya terdengar lebih rendah namun mantap. “Kita ini pengantin baru, harusnya kita menghabiskan waktu bersama, Diandra.” Tatapannya menusuk, seolah sengaja menelanjangi pikirannya.

Diandra justru terkekeh, menepis tatapan itu dengan sikap tak percaya. “Menghabiskan waktu bersama?” ia mengulang dengan nada mengejek. “Jangan harap!”

Alih-alih tersinggung, Lingga malah tersenyum penuh arti. Senyum yang membuat Diandra semakin tidak tenang. Dengan gerakan santai, ia kembali menyandarkan tubuhnya, seakan benar-benar menikmati permainan kecil ini.

“Nggak apa-apa,” ujarnya pelan namun penuh keyakinan. “Tunggu saja, pasti akan ada waktunya, Diandra.”

Dan entah kenapa, kalimat sederhana itu justru membuat dada Diandra berdebar lebih kencang daripada yang ia harapkan.

****

Pagi ini terasa berbeda. Untuk pertama kalinya sejak menikah, Diandra sibuk di dapur kecil apartemennya, menyiapkan sarapan untuk dirinya dan Lingga. Wangi nasi goreng sederhana memenuhi ruangan, bercampur dengan aroma kopi hangat yang baru saja diseduh.

Semalam mereka kembali berdebat tentang di mana mereka harus tidur. Dan seperti biasa, Diandra kalah. Meski dengan seribu alasan dan beberapa kesepakatan yang mereka buat, pada akhirnya ia tetap tidur di ranjang yang sama dengan pria itu.

Lingga keluar dari kamar, sudah rapi dengan setelan jas kerjanya. Penampilan khasnya: formal, dingin, dan terlalu sempurna. Sementara Diandra hanya mengenakan celana panjang dan blus netral, sederhana tapi tetap terlihat elegan.

“Sarapan dulu,” ucap Diandra tanpa menoleh, lalu meletakkan sepiring nasi goreng di hadapan Lingga.

“Terima kasih,” jawab Lingga singkat, lalu duduk di kursi meja makan mungil itu.

Diandra ikut duduk di depannya, mengambil piringnya sendiri. Ia makan tanpa banyak bicara.

“Masakan kamu enak juga,” puji Lingga tiba-tiba.

Diandra melirik sekilas, lalu mendengus. “Tinggal makan aja, nggak usah banyak ngomong.”

Lingga tersenyum tipis. Inilah yang diam-diam ia sukai dari Diandra, wanita itu selalu sinis padanya, tapi tetap menunjukkan kepedulian lewat hal-hal kecil. Seperti sarapan pagi ini.

Hening beberapa saat, hanya terdengar suara sendok dan garpu beradu dengan piring. Diandra terlihat lebih lelah dari biasanya. Sejak semalam, ia terus beradu mulut dengan Lingga tanpa henti. Rasanya tenaga dan kesabarannya terkuras habis.

Begitu selesai makan, Diandra bangkit dan meraih jas dokter serta tas selempangnya. “Aku berangkat dulu,” ujarnya singkat.

Lingga ikut berdiri. “Saya antar.”

Diandra menoleh, menatapnya tidak percaya. “Nggak perlu. Aku bisa berangkat sendiri.”

“Saya tidak menerima penolakan, Diandra.” Suara Lingga datar, tak memberi ruang untuk perdebatan.

Diandra menarik napas panjang, lalu akhirnya berkata, “Cepat.” Ia melangkah keluar apartemen lebih dulu, meninggalkan Lingga dengan senyum samar di wajahnya.

Mereka berangkat bersama dalam mobil Lingga. Perjalanan singkat itu berlangsung dalam diam, hanya ditemani suara mesin dan lalu lintas pagi. Tapi meski hening, ada sesuatu yang berbeda namun sulit untuk di jelaskan.

Begitu sampai di depan rumah sakit, Lingga memarkir mobil. “Pulang nanti saya jemput,” katanya datar.

Diandra membuka pintu mobil, lalu menatap Lingga dengan wajah sebal. “Sejak kapan kamu jadi supir?”

Lingga hanya mengangkat alis, wajahnya tetap tenang, suaranya datar tapi terdengar penuh keyakinan. “Sejak saya jadi suami kamu.”

Diandra mendengus. “Aku bisa pulang sendiri. Jarak apartemen ke rumah sakit cuma tinggal menyeberang, Lingga.”

“Tetap saja,” jawab Lingga santai. “Saya tidak bisa membiarkan istri saya pulang sendirian.”

Nada suaranya begitu yakin, seolah hal itu bukan sesuatu yang bisa diperdebatkan.

Diandra melipat tangan di dada, menatapnya tajam. “Kamu ini keras kepala atau memang nyebelin, sih?”

Sudut bibir Lingga terangkat tipis, senyum samar yang entah kenapa justru membuat Diandra makin kesal. “Kamu baru tahu?”

“Lingga!” seru Diandra, frustrasi.

Pria itu mencondongkan tubuh sedikit, menatap Diandra lurus tanpa berkedip. “Kamu boleh kesal, boleh marah, tapi saya tetap akan jemput kamu. Mau kamu setuju atau tidak.”

"Terserah kamu,"

Lingga menatap punggung istrinya yang berjalan menjauh. Senyum kecil kembali muncul di wajahnya.  "Kamu selalu menarik perhatian saya, Diandra."

1
Erika Solis
Duh, sakit banget hatiku. Terharu banget sama author!
Isolde
🙌 Suka banget sama buku ini, kayaknya bakal aku baca lagi deh.
Madison UwU
Gak sabar lanjut baca!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!