bercerita tentang seorang gadis buruk rupa bernama Nadia, ia seorang mahasiswi semester 4 berusia 20 tahun yang terlibat cinta satu malam dengan dosennya sendiri bernama Jonathan adhitama yang merupakan kekasih dari sang sahabat, karna kejadian itu Nadia dan Jonathan pun terpaksa melakukan pernikahan rahasia di karenakan Nadia yang tengah berbadan dua, bagaimana kelanjutan hidup Nadia, apakah ia akan berbahagia dengan pernikahan rahasia itu atau justru hidupnya akan semakin menderita,,??? jangan lupa membaca 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
Nadia menggigit bibirnya, hatinya berkecamuk hebat. Rasa takut, cemas, rindu, dan cinta bercampur menjadi satu. Pandangan matanya bertaut dengan mata Jonathan yang kini terlihat begitu gelap, penuh amarah yang terpendam dan rasa kehilangan yang tak sempat tersampaikan.
Namun sebelum Jonathan sempat melanjutkan gerakannya, Nadia menahan dadanya dengan satu tangan.
"Pak Nathan..." bisiknya lirih.
"Aku… aku ingin memastikan sesuatu dulu."
Jonathan menghentikan gerakannya, menatap Nadia dengan kening berkerut. Nafasnya masih berat, tetapi ia mencoba menahan diri.
"Apa yang ingin kau pastikan?" tanyanya, suaranya dalam, namun ada kesabaran yang ditanam di sana.
Nadia menarik napas panjang. Ia memalingkan wajah, lalu berkata pelan,
“Apakah bapak akan tetap seperti ini… saat anak kita lahir nanti?”
Jonathan terdiam. Tatapannya meredup. Ia tahu maksud dari pertanyaan itu, dan ia tahu Nadia berusaha menahan luka yang jauh lebih dalam daripada yang bisa dilihat.
"Aku tak tahu jawabannya sekarang," jawabnya jujur, tak ingin memberi harapan semu.
"Tapi aku tahu satu hal... Aku akan selalu melindungi kalian. Tidak peduli bagaimana akhirnya nanti."
Nadia menatapnya dalam. Tak ada janji manis. Hanya ketulusan dan kejujuran yang terkadang jauh lebih menyakitkan.
Tangannya yang masih menahan dada Jonathan kini bergerak ke pipinya, mengusap lembut.
“Kalau begitu… untuk malam ini, bolehkah aku merasa... seolah semua ini nyata?”
Jonathan hanya mengangguk pelan, dan kembali mendekap tubuh mungil Nadia dalam pelukannya. Kali ini tidak terburu, tidak tergesa. Mereka menyatu dalam keheningan malam, di tengah badai yang belum reda. Saling mencari kehangatan di antara retakan
yang tak kasat mata.
...
Pagi itu datang perlahan, disambut dengan keheningan yang terasa lebih berat dari biasanya. Cahaya matahari menyusup masuk melalui celah tirai, menyinari wajah Nadia yang masih tertidur dalam pelukan Jonathan. Lelaki itu belum memejamkan mata semalaman. Matanya terus menatap langit-langit, seolah mencari jawaban di balik bayangan masa lalunya.
Ia menyadari satu hal: dirinya mulai melemah. Bukan secara fisik, tapi secara emosional. Dinding yang ia bangun selama bertahun-tahun kini mulai retak, dan retakan itu bernama Nadia. Lalu. Bagaimana dengan Dewi?? Kekasih hati nya yang sesungguhnya.
Pertanyaan itu menyelinap masuk ke benak Jonathan saat ia berdiri mematung di depan jendela, menyaksikan matahari pagi yang terasa asing. Angin sejuk menerpa wajahnya, tapi hati dan pikirannya terasa pengap.
Dewi.
Nama itu menggema pelan dalam pikirannya. Kekasih hatinya. Seseorang yang ia jaga selama bertahun-tahun, seseorang yang ia lindungi bukan hanya dengan kekuatan, tapi juga dengan cintanya yang tulus. Dewi adalah bagian dari masa lalunya, masa kini, dan, seharusnya—masa depannya.
Namun kini, ada Nadia. Istri sahnya. Perempuan yang awalnya ia anggap hanya sebagai bagian dari tanggung jawab. Tapi malam tadi mengubah segalanya. Sentuhan, tatapan, air mata... dan rasa. Ada kehangatan yang tumbuh diam-diam. Perlahan tapi pasti, menggerogoti semua keyakinannya.
Jonathan menghela napas panjang. Ini bukan tentang siapa yang lebih ia cintai. Ini tentang kenyataan yang tak bisa ia elakkan. Nadia sedang mengandung anaknya. Dan dalam proses melindunginya, hatinya mulai terguncang.
“Dewi…” gumamnya pelan. Nama itu terasa getir di lidahnya kini.
Ia tahu, cepat atau lambat ia harus memilih. Bukan hanya siapa yang akan ia jaga, tapi juga siapa yang akan ia tinggalkan. Dan dalam dunia seperti ini, dunia gelap, penuh ancaman dan dendam, tidak ada pilihan yang tidak menyakitkan.
Tapi satu hal yang ia tahu dengan pasti: siapapun yang menyakiti salah satu dari mereka, akan berhadapan langsung dengannya.
Jonathan mengepalkan tangan. Tatapannya kembali tajam.
"Cinta… bisa menunggu. Tapi perlindungan tidak."
Tangannya terulur, menyentuh perut Nadia yang kini mulai membuncit. Ada kehidupan di sana. Separuh dari dirinya, separuh dari perempuan yang seharusnya tak ia cintai... tapi ternyata menguasai jiwanya perlahan.
...
Derrtt... derttt... derttt...
Nadia terbangun perlahan. Matanya masih terasa berat, tubuhnya sedikit lemas, tapi suara getaran ponsel di atas nakas memaksanya sadar. Ia mendudukkan diri perlahan di atas ranjang, menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang yang dingin. Selimut masih membungkus tubuhnya, namun hatinya mulai terasa kosong.
Ia melirik ke sisi ranjang yang kosong. Jonathan sudah tak ada. Udara kamar terasa hening, terlalu hening untuk pagi yang seharusnya hangat. Matanya mengarah pada ponsel yang terus bergetar. Ia ragu beberapa detik sebelum akhirnya meraih benda itu.
Nama itu terpampang jelas. DEWI. Dengan emoticon hati disana.
Dada Nadia mencelos seketika.
Tangan kirinya refleks menyentuh perutnya yang kini mulai membuncit, seolah berusaha mencari kekuatan dari kehidupan kecil yang tumbuh di dalam sana. Ada perih yang tak bisa ia sembunyikan. Malam tadi terasa seperti mimpi, dan pagi ini… seperti tamparan. Walaupun ia tahu. Bahwa dirinya tidak punya hak untuk menaruh rasa cemburu pada Dewi.
Ia tak menjawab panggilan itu. Hanya menatap layar ponsel sampai dering itu berhenti dengan sendirinya. Tapi sebelum ia sempat meletakkan kembali ponsel itu, suara pintu kamar terbuka pelan.
Jonathan muncul, membawa secangkir teh hangat di tangan dan mengenakan kaus abu-abu tipis serta celana panjang hitam. Ia tampak lelah, tapi ada sesuatu dalam matanya yang berbeda. keraguan yang mulai tumbuh.
Pandangan mereka bertemu. Sekilas.
Jonathan terdiam saat melihat ponselnya berada di tangan Nadia.
Nadia segera menunduk, mengalihkan pandangannya. "Maaf... aku tak bermaksud mengganggu," ucapnya pelan.
"Ponselmu berbunyi. dewi sedang menelpon mu,".
Jonathan berjalan menghampiri Nadia, lalu meletakkan gelas berisi teh di atas nakas. Ia mengambil alih ponsel yang berada di genggaman Nadia. Tanpa mengatakan apapun.
Ia berbalik, menatap layar ponsel nya, lalu menekan salah satu kontak yang berbeda di sana. Melakukan panggilan telepon pada sang kekasih.
Tut..Tut..tutt...
" Halo, sayang." Ucapnya saat panggilan tersambung.
" Maaf, mas baru saja selesai mandi tadi," kilahnya berbohong.
" Mas. Kita jadi pergi kan hari ini," ucap Dewi dari sebrang telpon.
Jonathan terdiam sejenak. Ia melirik ke arah Nadia yang kini menunduk dalam diam.
Suara Dewi di seberang telepon terdengar riang, polos, tidak tahu apa yang terjadi di balik hubungan rumit yang perlahan menggulung mereka semua dalam badai tak kasat mata.
“Iya, sayang… kita jadi,” jawab Jonathan akhirnya, suaranya berusaha tetap stabil.
Namun ada jeda di antara kata-katanya, jeda yang terlalu lama untuk sekadar menandakan keraguan. Dan Nadia menangkap jeda itu. Meski Jonathan tak mengatakannya langsung, ia tahu: kepergian Jonathan hari ini bukan hanya soal janji dengan Dewi, tapi juga tentang sejauh mana pria itu akan berani menghadapi kenyataan.
“Mas bawa mobil sendiri atau dijemput?” tanya Dewi lagi, masih dengan nada ceria.
Jonathan kembali melirik Nadia, yang kini menggenggam erat ujung selimut. Jari-jarinya bergetar, seolah menahan sesuatu yang nyaris pecah.
“jangan. Biar mas yang datang menjemput mu. Terlalu berbahaya jika pergi seorang diri ” jawab Jonathan pelan".
“Nanti kabari kalau kamu sudah siap.”
Setelah menutup telepon, Jonathan hanya berdiri mematung. Tangannya masih menggenggam ponsel, sementara teh hangat di atas nakas mulai kehilangan uapnya. Ia menatap Nadia, tapi perempuan itu tak berani membalas tatapannya. Suasana hening, terlalu hening, hingga napas mereka terdengar seperti gema.
“Aku… minta maaf,” ujar Jonathan akhirnya, pelan tapi cukup jelas.
Nadia hanya mengangguk kecil, tak berkata sepatah kata pun. Matanya tetap menunduk, namun air matanya jatuh. diam-diam, tanpa suara.
“Tidak perlu minta maaf, Pak Nathan,” ucapnya lirih. “Aku tahu tempatku.”
mungkinn
jgn bodoh trlalu lm jo.... kekuasaan jga hrtamu slm ini tk mmpu mngendus jejak musuhmu yg trnyata org trsayangmu🙄🙄
klo nnti nadia bnyak uang.... bkalan balik lgi tuh wujud asli nadia....
krna sejatinya nadia dlunya cantik... hnya krna keadaan yg mmbuat dia tak mungkin merawat dirinya....
jdi kurang"i mncaci & merendhkn ibu dri ankmu....